Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Petai ajaib

Setiap malam ada gerimis dari pohon petai milik sudargo di balai agung, magelang. penduduk menjadi geger. ternyata ulah cenggeret yang biasa memercikkan air di malam hari. (ina)

29 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBUN petai milik Sudargo, penduduk Desa Balai Agung, di Magelang, Jawa Tengah, beberapa hari lamanya berubah menjadi pasar malam dan pasar siang. Tidak ada yang berbelanja, tetapi kerumunan orang ramai itu selalu -- anehnya -- menengadah ke atas, ke dahan-dahan sebuah pohon petai yang ajaib. Dari pohon itu, setiap malam, selalu ada gerimis kecil. Padahal, tak ada hujan, dan di bawah petai yang lain tetap saja kering kerontang. Yang menemukan petai ajaib itu Suharto, tetangga orang yang punya kebun. Ia betul-betul merasakan dapat berkah berada di bawah pohon itu di suatu malam, pertengahan Oktober lalu. Tak diceritakan berkah apa, tetapi kisah berkah ini menyebar ke seluruh kampung. Bahkan kemudian ke seluruh Magelang dan sekitarnya. Ribuan orang pun ikut-ikutan mencari berkah. "Kalau lewat persis tengah malam, percikan air dari petai itu lebih deras," kata Sudargo. Orang-orang pun percaya, air dari pohon petai itu berkasiat, bisa menyembuhkan segala penyakit, menambah rezeki, membuat awet muda. Biasa. Bahkan, seseorang datang ke sana menggendong anaknya yang lumpuh. Sembuh? "Saya tidak tahu. Tapi pulangnya masih tetap digendong. Berarti belum sembuh," kata Dargo. Sudargo sendiri tak percaya. Karena itulah, belakangan ia penasaran. Ia memanjat petai itu di siang hari. Tak ada apa-apa. Dibandingkan dengan petai-petai lain, juga tak ada istimewanya. Lalu tetangganya, Slamet, dimintai bantuan memanjat pohon setinggi 15 meter itu di malam hari. Slamet mau. Ketika ia menggoyangkan ranting-ranting petai itu, nah, beterbangan ribuan cenggeret -- itu binatang kecil kayak jangkrik. Menurut Dargo, binatang itulah yang menghisap embun, yang kemudian mereka semburkan ke bawah. "Pantas saja semakin malam semakin deras. 'Kan embun itu semakin malam semakin banyak?" Dargo beranalisa. Akhir Oktober lalu, setiap malam Slamet mengusir cenggeret itu. Akhirnya, memang, petai itu tak lagi bertuah. Orang pun tak lagi datang: tak ada rintik gerimis yang penuh berkah itu. "Saya menyesal sekali ikut-ikutan mencari berkah," kata Mukson. "Saya telanjur membasuh muka dengan air itu. Tak tahunya, cuma kencing cenggeret."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus