Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH berita acara pemeriksaannya dibacakan jaksa di persidangan, Mohammad Syahrial akhirnya mengiyakan kehadiran istri pengusaha Sjamsul Nursalim, Itjih S. Nursalim, dalam dua rapat di kantor Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada Oktober 2003. Semula, bekas Deputi Aset Manajemen BPPN itu mengelak saat ditanyai ihwal keberadaan Itjih dalam dua rapat tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut jaksa, ketika diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Syahrial mengungkapkan bahwa Itjih Nursalim hadir dalam dua rapat itu mewakili suaminya. Ia datang atas undangan Kepala BPPN saat itu, Syafruddin Arsyad Temenggung. Betul. Yang punya kewenangan (mengundang) ketua, ujar Syahrial saat bersaksi untuk Syafruddin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua rapat itu khusus membahas nasib penyelesaian utang Rp 4,8 triliun para petambak Dipasena di Lampung kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim. Aset ini diserahkan ke BPPN sebagai bagian pemenuhan kewajiban Sjamsul sebagai obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Saat meneken master settlement and acquisition agreement (MSAA) atau perjanjian penyelesaian BLBI dengan BPPN pada September 1998, Sjamsul membuat pernyataan bahwa utang petambak itu lancar. Ketika itu, ia bersama BPPN menyepakati jumlah kewajiban setelah bank ini dinyatakan sebagai bank beku operasi. Total kewajibannya Rp 47,2 triliun. Setelah dikurangi aset bank tersebut, BDNI memiliki kewajiban Rp 28,4 triliun. Sjamsul menutup sisa kewajibannya itu dengan membayar Rp 1 triliun, sementara selebihnya ditutup dengan penyerahan aset Grup Gajah Tunggal dan tambak Dipasena.
Setelah dilakukan audit keuangan dan keabsahan hukum oleh sebuah kantor akuntan publik dan satu kantor hukum, BPPN mendapat informasi bahwa Sjamsul tidak mengungkapkan kondisi sebenarnya (misrepresentasi) atas utang petambak ke BDNI yang dijamin PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wachyuni Mandira—dua perusahaan Sjamsul—yang ternyata merupakan kredit macet.
Setelah mendapat informasi tersebut, Kepala BPPN (saat itu) Glenn M.S. Yusuf menyurati Sjamsul agar menambahkan aset untuk menggantikan utang petambak Dipasena itu. Dua pekan kemudian, pada 12 November 1999, Sjamsul membalas surat Glenn, yang isinya menolak penambahan aset. Ia juga tidak mau melakukan negosiasi ulang soal temuan ini dan berkukuh utang petambak itu sudah benar. Sikap Sjamsul ini bertahan hingga Kepala BPPN dijabat Syafruddin pada April 2002.
Pada Oktober 2002, Sjamsul mulai mau membuka komunikasi dengan BPPN untuk membahas utang petambak Dipasena ini. Pada bulan itu, ia mengutus istrinya mengikuti dua rapat di kantor BPPN, yang menurut Mohammad Syahrial di persidangan atas undangan Syafruddin. Dalam dua rapat ini, Itjih menyampaikan bahwa suaminya tidak pernah memberikan pernyataan tak benar atas utang petambak itu. Belakangan diketahui bahwa dalam dua rapat ini Syafruddin memutuskan utang petani tambak Dipasena dianggap aset lancar sehingga Sjamsul tidak perlu menambah aset lagi.
Menurut notulen rapat terakhir pada 29 Oktober, Syafruddin menyimpulkan Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi atas utang tersebut sehingga ia tidak memerintahkan anak buahnya melakukan proses restrukturisasi. Setelah menganggap tidak ada masalah pada utang petambak, Syafruddin meneken surat keterangan lunas (SKL) untuk Sjamsul atas kewajibannya sebagai obligor BLBI. Karena SKL ini, Kejaksaan Agung juga menghentikan penyidikan kasus korupsi fasilitas diskonto untuk pengajuan BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim.
Pengacara Syafruddin, Hasbullah, membenarkan adanya rapat yang dihadiri istri Sjamsul tersebut. Menurut dia, rapat itu pertemuan resmi dalam rangka financial due diligence utang petani tambak. "Hasilnya disimpulkan tidak ada misrepresentasi karena sudah diungkapkan di MSAA," ujarnya.
Pengacara Sjamsul, Maqdir Ismail, mengatakan kliennya tidak mengingat lagi pertemuan tersebut karena peristiwanya sudah lama. "Karena waktunya sudah cukup lama dan banyak pertemuan, klien kami tentu tidak bisa mengingat setiap pembicaraan dan pertemuan," ujarnya. Maqdir juga mengatakan, kalaupun Itjih hadir, ia mendapat kuasa dari Sjamsul.
Keputusan Syafruddin tersebut belakangan membuatnya berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Salah satunya, dengan bukti notulen rapat itu, KPK menetapkan pria kelahiran Palembang ini sebagai tersangka pada Maret 2017. Komisi antikorupsi sudah menyelidiki dugaan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang Syafruddin ini sejak 2013.
Ia dituduh menguntungkan Sjamsul Nursalim karena menghapus kewajiban utang petani tambak yang sebenarnya merupakan kredit macet. Dari penghitungan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan atas permintaan KPK pada 2017 yang terbit setelah penetapan tersangka Syafruddin, kerugian negara dalam kasus itu mencapai Rp 4,58 triliun. Di persidangan, Syafruddin didakwa bersama-sama dengan Sjamsul, Itjih, dan Kepala Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang juga Menteri Koordinator Perekonomian saat itu, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.
Sejak awal Juni lalu, sidang Syafruddin sudah memasuki pemeriksaan saksi. Karena tuduhannya menguntungkan Sjamsul, bekas Sekretaris KKSK itu meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghadirkan orang terkaya Indonesia ke-36 versi majalah Forbes pada 2017 tersebut. Menurut Syafruddin, Sjamsul dan istrinya adalah saksi kunci bagi perkaranya. "Saya didakwa menguntungkan mereka, jadi mohon majelis menghadirkan mereka di persidangan," kata Syafruddin.
Ketua majelis hakim, Yanto, menanggapi permintaan Syafruddin itu dengan memerintahkan jaksa menghadirkan Sjamsul, yang sejak Mei 2002 tinggal di Singapura. Saat itu, status sang taipan sudah menjadi tersangka di Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi fasilitas diskonto untuk pengajuan BLBI.
SESUNGGUHNYA pengusutan perkara Syafruddin Temenggung dan Sjamsul Nursalim merupakan satu paket. Perkara ini mulai terendus KPK saat penyidik menangkap Urip Tri Gunawan, jaksa yang menangani kasus BLBI di Kejaksaan Agung, pada 2008. KPK membutuhkan waktu lima tahun untuk mengumpulkan bahan dan keterangan sampai naik ke penyelidikan.
Penyelidikan baru dimulai pada awal 2013, di era Abraham Samad memimpin KPK. Karena ini kasus lama yang terjadi sejak krisis moneter 1997-1998, penyidik sangat hati-hati menimbang masa kedaluwarsa perkara. Sesuai dengan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jangka waktu kedaluwarsa perkara pidana dengan ancaman hukuman di atas 3 tahun adalah 12 tahun, sementara pidana dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup adalah 18 tahun.
Pertimbangan itulah yang membuat KPK memilih menyelidiki perkara BLBI saat BPPN menerbitkan surat keterangan lunas pada 2004. Dengan mempertimbangkan hukuman maksimal, masa kedaluwarsa kasus ini adalah 18 tahun. Pengacara Syafruddin sempat mengajukan permohonan praperadilan terhadap pengusutan perkara ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan alasan kasusnya kedaluwarsa. Hakim menolak permohonan itu dan menyatakan kedaluwarsa kasus yang diusut pada 2004 ini masih lama, yakni pada 2022.
Penyidik berfokus mengusut perkara ini karena buktinya paling kuat dibandingkan dengan kasus BLBI lainnya. Penyidik juga setidaknya melakukan belasan penggeledahan di pelbagai tempat untuk mengumpulkan bukti pendukung. Sebanyak 74 saksi juga diperiksa dalam kasus ini. Karena kasusnya terbilang rumit, penyidik sampai 20 kali melakukan gelar perkara di depan pimpinan KPK.
Akhirnya, tim penyelidik dan penyidik mengusulkan Syafruddin dan Sjamsul dijadikan tersangka dalam gelar perkara pada Februari 2015. Pimpinan KPK, yang ketika itu diketuai Abraham Samad, kompak menolak usul penetapan tersangka ini. Mereka meminta penyidik melengkapi bukti. Tuduhannya ketika itu sama dengan yang didakwakan kepada Syafruddin saat ini. "Alasan lainnya, audit BPK 2006 menyebutkan tak ada kerugian negara," kata seorang penegak hukum.
Pengusutan kasus itu redup karena, tidak lama setelah gelar perkara, Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menjadi tersangka di kepolisian sebagai buntut penetapan calon Kepala Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, sebagai tersangka dugaan rekening gendut. Belakangan, kasus Budi dihentikan karena permohonan praperadilannya dikabulkan. Adapun kasus Abraham dan Bambang dihentikan karena Jaksa Agung mengesampingkan (deponering) perkara mereka.
Ketika ditanyai soal penanganan perkara Syafruddin di era kepemimpinannya, Abraham mengaku sudah tidak ingat. Begitu juga saat ia ditanyai ihwal keputusan pimpinan KPK saat itu yang menolak usul penyidik menetapkan Syafruddin dan Sjamsul sebagai tersangka. "Saya lupa," katanya. Adapun Bambang Widjojanto tidak menjawab lugas tentang sikap pimpinan KPK ketika itu terhadap usul penetapan tersangka Syafruddin dan Sjamsul. "Saat itu strateginya seperti makan bubur panas, dari pinggir dulu baru ke tengah," ujarnya.
Setelah kriminalisasi pimpinan KPK mereda, tim penyidik mulai bergerak mengumpulkan bukti tambahan untuk menguatkan penetapan Syafruddin dan Sjamsul sebagai tersangka. Pada pertengahan Desember 2015, dua pekan sebelum masa tugas pimpinan KPK periode ketiga berakhir, penyidik kembali mengusulkan penetapan tersangka dalam gelar perkara yang dipimpin pelaksana tugas Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki—yang menggantikan Abraham Samad, yang mundur lantaran kasus kriminalisasi.
Dari gelar perkara tersebut, menurut salah satu peserta, para pemimpin kompak menyetujui usul penyidik menetapkan Syafruddin dan Sjamsul sebagai tersangka. Pimpinan menilai kasus itu sudah jelas kerugian negaranya karena ada pihak yang diuntungkan, yakni Sjamsul Nursalim. Karena usia tugas mereka tinggal sehari, Ruki cs belum sempat meneken surat perintah penyidikan keduanya. "Saat itu tinggal administrasi saja, yakni penerbitan surat perintah penyidikan," ujar peserta rapat tersebut.
Salah satu pelaksana tugas pimpinan KPK, Johan Budi S.P., membenarkan ada gelar perkara BLBI di akhir masa tugas mereka. Tapi Johan tidak mau membuka hasil gelar perkara itu. "Kami menyelesaikan penuntasan kasus lawas dalam kesempatan itu," ujar Johan Budi.
Satu pekan setelah pimpinan baru dilantik, yang diketuai Agus Rahardjo, penyidik mengusulkan kembali penetapan Syafruddin dan Sjamsul sebagai tersangka. Tapi pimpinan saat itu meminta waktu untuk mempelajari kasus tersebut sebelum menyetujuinya. Pada akhir 2016, penyidik kembali mengusulkan penetapan dua orang itu sebagai tersangka dalam gelar perkara yang dihadiri pimpinan KPK. "Tapi lagi-lagi komisioner dan pimpinan lainnya meminta waktu untuk mempelajari kasus itu," kata seorang penegak hukum. "Mereka bilang kasusnya rumit."
Baru pada Maret 2017, pimpinan memberikan lampu hijau atas usul tersebut. Tapi hanya nama Syafruddin yang disetujui menjadi tersangka. Untuk Sjamsul, mereka meminta penyidik memeriksanya agar tidak terhambat putusan Mahkamah Konstitusi pada 2015 yang mewajibkan pemeriksaan kepada calon tersangka.
Ketika itu, penyidik setidaknya tiga-empat kali melayangkan surat panggilan ke kediaman Sjamsul di Singapura. Komisi antirasuah juga meminta bantuan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) atau KPK Singapura, tapi hasilnya tetap nihil. Ia tidak pernah memenuhi panggilan.
Duta Besar Indonesia untuk Singapura, I Gede Ngurah Swajaya, mengatakan tidak ada komunikasi resmi antara KPK dan kedutaan tentang rencana pemeriksaan Sjamsul. "Saya tidak tahu kalau ada komunikasi KPK dengan CPIB," ujarnya, Rabu pekan lalu.
Pengacara Sjamsul, Maqdir Ismail, mengatakan tidak pernah menerima surat panggilan resmi terhadap kliennya dari KPK. "Secara resmi saya tidak pernah diberi tahu ada surat panggilan buat Pak Sjamsul," tutur Maqdir.
Menjelang perkara Syafruddin maju ke pengadilan, April lalu, penyidik kembali melakukan gelar perkara untuk memutuskan nasib Sjamsul Nursalim. Dalam rapat itu terjadi perbedaan pendapat tentang bagaimana memutuskan nasib Sjamsul. Ada penyidik dan pemimpin yang ngotot bahwa Sjamsul bisa menjadi tersangka tanpa perlu diperiksa karena KPK sudah tiga kali memanggilnya. "Kelompok ini meminta penyidikan dilakukan secara in absentia," kata seorang peserta rapat.
Sebagian meminta KPK lebih berfokus pada penyitaan aset ketimbang penetapan tersangka. Sedangkan kelompok terakhir berpendapat bahwa proses penyelidikan Sjamsul harus diulang dan penyidik diberi kesempatan untuk kembali memanggil Sjamsul buat diperiksa. "Opsi penyelidikan ulang ini yang dipilih," ucapnya.
Ketua KPK Agus Rahardjo tidak menampik soal terjadinya tarik-ulur atas usul penetapan Syafruddin dan Sjamsul sebagai tersangka. Menurut dia, penetapan tersangka keduanya hanya soal waktu. Agus mengatakan Syafruddin menjadi tersangka lebih dulu karena bukti permulaannya sudah kuat. Adapun untuk Sjamsul, kata dia, KPK harus hati-hati."Kalau Syafruddin kena, yang menguntungkan juga pasti kena," ujar Agus.
Rusman Paraqbueq, Anton Aprianto, Linda Trianita, M. Rosseno Aji
Catatan 'Bon Merah' yang Raib
NAMA Lusiana Yanti Hanafiah tidak tercantum dalam daftar 74 saksi untuk terdakwa bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung. Sejak awal Juni lalu, sidang Syafruddin dalam perkara dugaan korupsi penyerahan aset untuk pemenuhan kewajiban Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ini sudah memeriksa saksi.
Lusiana sempat dimintai keterangan pada tahap penyelidikan. Tapi anggota staf keuangan Sjamsul, yang dicegah Komisi Pemberantasan Korupsi bepergian ke luar negeri enam bulan sejak 21 Desember 2014, itu mangkir saat diperiksa untuk tersangka Syafruddin pada awal 2015. Sejak itu, KPK tidak mengetahui keberadaannya. Dia saksi penting, ujar Johan Budi S.P., juru bicara KPK kala itu, menjelaskan alasan pencegahan.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan tidak hafal isi daftar saksi kasus Syafruddin sehingga tidak bisa memastikan Lusiana pernah diperiksa pada tahap penyelidikan. Juru bicara KPK, Febri Diansyah, melontarkan pernyataan serupa. Saya cek dulu, katanya, Jumat pekan lalu.
Nama Lusiana muncul setelah KPK menggeledah sejumlah tempat untuk kasus tersangka Artalyta Suryani alias Ayin, yang diduga menyuap jaksa Urip Tri Gunawan sebesar US$ 660 ribu pada awal 2008. Ayin adalah orang kepercayaan Sjamsul.
Dalam putusan hakim yang memvonis Ayin 5 tahun penjara, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan Urip disuap agar memberikan informasi seputar penyelidikan kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul di Kejaksaan Agung. Urip adalah ketua penyelidikan kasus itu, yang belakangan divonis 20 tahun penjara.
Dari keterangan sejumlah saksi, menurut seorang pegawai KPK, Lusiana disebut sebagai orang dekat Sjamsul. Berdasarkan dokumen dan keterangan saksi, kata sumber ini, perempuan kelahiran Medan 52 tahun lalu itu diduga merupakan kasir Sjamsul.
Tim KPK sebenarnya sudah mengantongi catatan keuangan Lusiana, yang menunjukkan aliran duit ratusan ribu dolar Amerika Serikat untuk sejumlah penegak hukum, pihak swasta, dan pejabat negara. Di samping aliran dana, ada catatan pemberian tanah untuk pejabat yang membantu Sjamsul. Catatan itu menjadi petunjuk penting, ujar sang pegawai.
Ia juga menuturkan, dalam catatan Lusiana itu, tertulis aliran dana kepada sejumlah orang yang diberi kode bon merah. Nilainya, kata dia, ada yang satu kali transaksi mencapai Rp 1 miliar. Sumber ini mengatakan catatan itu disimpan di salah satu komputer jinjing penyidik kasus tersebut. Pada awal 2015, menurut dia, laptop berisi catatan itu digondol pencuri yang membobol rumah sang penyidik. Ketua KPK ketika itu, Abraham Samad, mengaku tidak ingat ada nama Lusiana dalam pusaran kasus BLBI. Saya lupa, ujarnya, Kamis pekan lalu.
Dalam beberapa kesempatan, pengacara Sjamsul, Maqdir Ismail, mengatakan Lusiana merupakan pegawai administrasi di perusahaan kliennya. Namun Maqdir mengaku tidak tahu peran Lusiana yang disebut sebagai juru bayar Sjamsul. Saya tak memiliki pengetahuan soal itu, ucapnya.
Selasa pekan lalu, Tempo menyambangi rumah Lusiana yang alamatnya tercantum dalam surat konfirmasi pencegahannya pada 2014, yakni di Perumahan Permata Buana, Kembangan Utara, Jakarta Barat. Ternyata rumah itu kosong. Menurut ketua rukun tetangga setempat, Dedi, rumah itu sudah dua tahun ditinggalkan penghuninya. Namun, "Nama penghuninya saya pastikan bukan Lusiana," katanya.
Anton Aprianto, Linda Trianita
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo