Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sinyal Reformasi Berhenti di TNI

Dugaan pengerahan personel TNI Angkatan Darat untuk melawan pernyataan Effendi Simbolon dinilai sebagai ancaman serius terhadap kelangsungan supremasi sipil. Menambah daftar gejala reformasi dan transformasi TNI jalan di tempat.

19 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Para pegiat demokrasi mengkritik pengerahan personel TNI Angkatan Darat, yang diduga dilakukan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman, untuk mengintimidasi anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Effendi Simbolon. Modus para personel TNI yang menyebarkan kecaman dan ancaman terhadap pengkritik lembaganya itu dinilai sebagai masalah serius yang bisa mengancam kelangsungan supremasi sipil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, menilai tindakan Jenderal Dudung dan bawahannya tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun. Pengerahan prajurit untuk menentang pernyataan Effendi Simbolon menyalahi prinsip demokrasi dan negara hukum yang semestinya ditegakkan di Indonesia. "Tindakan tersebut merupakan bentuk pembangkangan terhadap otoritas sipil. Cermin dari tentara berpolitik, tidak menghormati supremasi sipil, dan bukan tentara profesional," ujar Isnur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polemik yang melibatkan Dudung Abdurachman dan Effendi Simbolon bermula dari rapat kerja Komisi I DPR yang membidangi pertahanan dan keamanan pada 5 September lalu. Agenda rapat pagi itu adalah membahas Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Kementerian Pertahanan dan TNI. Selain itu, rapat diagendakan membahas isu aktual di sektor pertahanan dan TNI.

Wakil Menteri Pertahanan, Muhammad Herindra, datang mewakili Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Adapun Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa memenuhi undangan didampingi Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal Fadjar Prasetyo, serta Kepala Staf Angkatan Laut, Yudo Margono. Adapun KSAD Jenderal Dudung Abdurachman tak hadir, diwakili oleh Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Letnan Jenderal Agus Subiyanto.

Anggota Komisi I DPR Fraksi PDI Perjuangan, Effendi Simbolon (kanan), menyampaikan permintaan maaf atas pernyataannya terkait dengan TNI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 14 September 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Ketidakhadiran Jenderal Dudung dipertanyakan oleh Effendi Simbolon. Anggota Komisi I dari Fraksi PDI Perjuangan itu bertanya tentang kabar hubungan yang tak harmonis di antara petinggi TNI. "Kami banyak sekali ini temuan-temuan ini, yang insubordinasi, disharmoni, ketidakpatuhan. Ini TNI kayak gerombolan ini. Lebih-lebih ormas jadinya. Tidak ada kepatuhan. Kami ingin tegas ini," ujar Effendi Simbolon saat itu kepada Jenderal Andika. "Ini semua menjadi rahasia umum, Pak, rahasia umum Jenderal Andika. Di mana ada Jenderal Andika, tidak ada KSAD."

Dalam rapat, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa telah menyatakan TNI kompak. Pernyataannya diulang kepada awak media seusai rapat. Andika mengatakan, dari sudut pandangnya, tak ada permasalahan dengan Jenderal Dudung. Dia menegaskan hanya menjalankan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bagaimana dari sisi Dudung? Andika mengatakan, “Itu ditanyakan langsung saja (kepada Dudung).”

Dudung juga telah mengklarifikasi dua hari kemudian. Dia membantah TNI tak solid. "Apa pun perintah Panglima TNI saya jalankan," ujar dia di Markas Besar TNI AD. Menurut Dudung, ketidakhadirannya dalam Rapat Kerja Komisi I DPR karena ia tengah mengecek kesiapan Batalion 143 yang akan berangkat ke daerah operasi.

Masalahnya tak berhenti di situ. Sepekan setelah rapat kerja Komisi I DPR, beredar serangkaian video dan aksi sejumlah perwira tinggi, perwira menengah, dan tamtama TNI Angkatan Darat di sejumlah daerah yang kompak melontarkan amarahnya terhadap pernyataan Effendi Simbolon. Pesan mereka senada: menolak pernyataan Effendi yang dianggap memecah belah pimpinan TNI. Disertai pernyataan bernada ancaman, mereka meminta Effendi meminta maaf.

 

Di tengah maraknya pernyataan sikap TNI itu, rekaman video mencuat dan menambah kegaduhan para Rabu pekan lalu. Dalam rekaman tersebut, Jenderal Dudung didampingi Wakasad, Letnan Jenderal Agus Subiyanto. Dudung terlihat memberikan pengarahan ihwal pernyataan Effendi Simbolon yang ia anggap telah menginjak harga diri TNI.

Dia mengkritik para perwira, seperti Komandan Distrik Militer dan Komandan Resor Militer, yang diam saja. Dudung juga memerintahkan kepada lawan bicaranya agar bergerak. "Silakan kalian bergerak. Berdayakan itu FKPPI dan segala macam. Tidak menerima pernyataan Effendi Simbolon itu," kata Dudung. "Masif, lakukan. Enggak usah takut kalian akan dicopot atau segala macam. Saya yang tanggung jawab."

Tak diketahui kapan rekaman yang diduga bagian dari sebuah video conference tersebut dibuat. Tak jelas juga siapa saja lawan bicara Dudung dalam rekaman tersebut. Namun pesan Jenderal Dudung tersebut ditengarai merupakan pemantik dari aksi kecaman dari sejumlah personel TNI di daerah terhadap pernyataan Effendi yang bermunculan beberapa hari sebelumnya.

Selain video, dalam beberapa hari terakhir tersebar pesan via WhatsApp berisi arahan serupa kepada para Komandan Distrik Militer (Dandim). Pesan itu mengingatkan perintah KSAD untuk membuat video pernyataan penolakan dan tidak suka atas sikap dan kalimat Effendi Simbolon. Batas waktu yang diberikan untuk pembuatan video itu tertulis Rabu, 14 September lalu. “Catatan: Giat ini akan diabsen dari Kodam dan Mabesad,” tulis pesan tanpa keterangan penulis tersebut.

Tempo telah berupaya menghubungi Dudung untuk meminta konfirmasi soal arahannya kepada prajurit yang ditengarai merupakan upaya mobilisasi ancaman terhadap Effendi Simbolon. Tapi Dudung tidak merespons.

Adapun Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Hamim Tohari, menampik pesan via WhatsApp itu dibuat oleh Markas Besar TNI Angkatan Darat. “Silakan ditanyakan ke sumber yang menyebarkan ini,” kata Hamim, Ahad, 18 September 2022. Dia membantah ada mobilisasi terstruktur untuk menyerang Effendi. Menurut dia, reaksi para prajurit merupakan tindakan spontan.  

Namun Hamim ogah membahas beredarnya video yang memuat gambar Jenderal Dudung mengarahkan personel TNI agar melawan pernyataan Effendi. Hamim meminta kalimat yang disampaikan Jenderal Dudung tak ditafsirkan macam-macam. “Kita jaga situasi yang sudah membaik. Beliau-beliau juga sudah saling membuka diri untuk bertemu,” kata Hamim. Dia mengingatkan Jenderal Dudung telah meminta  menghentikan tindakan mengecam Effendi Simbolon.

Desakan agar TNI Segera Dievaluasi

Markas Besar TNI AD mungkin menganggap persoalan ini sudah selesai. Tapi tidak demikian bagi para pegiat demokrasi.  

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, mengingatkan bahwa sistem demokrasi menempatkan institusi militer sebagai instrumen pertahanan negara yang harus tunduk pada kebijakan ataupun pengawasan yang dilakukan oleh otoritas sipil. Sebagai alat, kata dia, tidak dimungkinkan bagi pimpinan militer melakukan protes atau kritik secara terbuka di luar sarana atau forum formal kepada pemimpin sipil. "Militer harus tunduk atas kebijakan dan pengawasan yang dilakukan oleh otoritas sipil," ujar dia.

Menurut Gufron, TNI semestinya menjadikan setiap kritik sebagai bahan refleksi dan evaluasi atas berbagai permasalahan yang melibatkan anggota TNI, bukan justru diprotes apalagi diintimidasi. “Jangan dipandang sebagai bentuk penghinaan atau merusak TNI, melainkan menjadi bagian dari upaya mendorong TNI sebagai tentara yang profesional,” kata Gufron.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menjelaskan supremasi sipil bukan berarti supremasi warga sipil atas warga militer. Supremasi sipil, kata dia, merupakan sistem otoritas pemerintahan sipil yang dihasilkan dari suatu pemilihan umum oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan. “Rakyat di sini termasuk warga sipil dan warga yang berstatus TNI,” kata Usman.

Karena itu, Usman menilai ancaman para personel TNI AD dari berbagai komando teritorial—yang mencuat belakangan ini dalam masalah yang melibatkan anggota DPR Effendi Simbolon—berlebihan. Prajurit, kata Usman, tetap perlu menahan diri dari ranah politik. “Karena itu akan mengganggu tugas pokok dan fungsinya di bidang pertahanan,” kata dia.

Begitu pula sebaliknya, Usman berharap elite sipil tidak terlalu mencampuri urusan internal TNI, apakah itu hubungan antar-pemimpin matra, pembinaan kekuatan, pengangkatan posisi, rekrutmen, ataupun hal lainnya yang bersifat internal. “Kalau terlalu mencampuri urusan internal yang ada dalam ranah otonomi kelembagaan, hal itu akan berpotensi menarik TNI ke dalam ranah politik,”ujarnya.

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 5 September 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Baik Isnur, Gufron, maupun Usman Hamid menilai TNI perlu melakukan evaluasi. TNI dinilai memang masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi, khususnya dalam reformasi dan transformasi yang masih stagnan. Tendensi tindakan kekerasan, termasuk yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, dianggap masih menjadi salah satu permasalahan utama dalam TNI sekarang ini.

Berdasarkan pemantauan sepanjang periode Oktober 2020-September 2021 saja, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat sedikitnya 54 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota TNI. Anggota TNI Angkatan Darat konsisten menjadi pelaku dominan dengan 39 kasus; pelaku dari Angkatan Laut sebanyak 14 kasus; dan pelaku dari Angkatan Udara sebanyak 1 kasus.

Bentuk kekerasan yang diduga melibatkan anggota TNI tersebut beragam. Tindakan penganiayaan menjadi yang terbanyak, yakni 31 kasus. Sisanya berupa penembakan sebanyak 9 kasus; penyiksaan dan intimidasi 9 kasus; tindakan tidak manusiawi 5 kasus; penculikan 2 kasus; dan penangkapan sewenang-wenang 1 kasus.

Seluruh temuan kasus kekerasan yang diduga melibatkan anggota TNI tersebut menyebabkan 17 orang tewas dan 65 lainnya luka-luka. Selain itu, tindakan kekerasan menyebabkan korban mengalami kerugian, intimidasi, dan perusakan benda fisik.

Kepala Divisi Hukum Kontras, Andi Rezaldy, menyebutkan, dalam berbagai macam kasus kekerasan tersebut, yang menjadi korban umumnya masyarakat sipil. "Peristiwa kekerasan ini menunjukkan adanya kuasa yang sangat besar yang dimiliki institusi TNI sehingga anggotanya berlaku arogan kepada masyarakat sipil,” kata Andi. “Arogansi masih mengakar dalam tubuh institusi TNI.”

Kasus terbaru, enam personel TNI Angkatan Darat terlibat dalam kasus dugaan pembunuhan dan mutilasi terhadap empat warga sipil di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah. Keluarga korban, juga sejumlah kalangan, mendesak agar kasus ini diusut dalam dugaan pelanggaran HAM berat. Kasus ini juga menambah panjang daftar kekerasan oleh anggota TNI di Papua, wilayah yang dalam catatan Kontras selalu menjadi daerah dengan kekerasan melibatkan militer paling tinggi.

Peneliti hak asasi manusia dan sektor keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie, menilai berbagai persoalan yang terjadi pada dekade kedua reformasi ini telah menunjukkan bahwa reformasi TNI seolah-olah tengah berada di jalan sunyi yang nyaris tanpa rencana presisi dan capaian yang impresif. "Jalan sunyi reformasi TNI mencerminkan inkonsistensi reformasi TNI karena ketiadaan roadmap yang mampu mengantisipasi stagnasi dan kemunduran reformasi TNI," tuturnya.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang terdiri atas belasan lembaga swadaya masyarakat, mendesak DPR dan Presiden Joko Widodo agar segera mengevaluasi kinerja TNI, termasuk Panglima TNI dan KSAD. "Langkah evaluasi itu juga harus dibarengi dengan upaya melakukan tata kelola reformasi TNI dan transformasi TNI ke arah yang lebih profesional," ujar Ikhsan.

Tempo telah berupaya menghubungi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud Md.; Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko; serta Deputi Deputi V KSP Bidang Politik, Hukum, Keamanan, dan HAM Jaleswari Pramodhawardani untuk menanyakan respons Istana terhadap polemik ini. Namun mereka tidak merespons pesan ataupun panggilan telepon Tempo.  

Adapun Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Hamim Tohari, menegaskan TNI AD tetap tentara rakyat dan alat negara yang senantiasa mendukung dan menegakkan konstitusi. “Jangan pertanyakan kesetiaan kami kepada rakyat dan negara,” kata Hamim menanggapi pertanyaan ihwal meningkatnya ancaman militer terhadap supremasi sipil.

DEWI NURITA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus