Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Polisi Buru Pengguna dan Pelaku Perdagangan Anak

Polisi mengejar semua pelaku kasus perdagangan anak di Bandung sampai ke pengguna. Tidak hanya anak perempuan, anak laki-laki juga banyak menjadi korban perdagangan anak yang berujung pada prostitusi.

25 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kepolisian Resor Bandung terus memburu pelaku perdagangan anak, termasuk pemakai jasa.

  • Perlu ada pemberatan hukuman lewat restitusi.

  • Pengusaha hotel dan tempat hiburan yang mendapat untung dari perdagangan anak harus dijerat.

JAKARTA – Tertangkapnya tiga anggota sindikat perdagangan anak di Bandung tak menghentikan langkah petugas Kepolisian Resor Kota Bandung untuk mengejar semua pelaku. Setelah menjadikan tiga pelaku perdagangan anak berusia 14 tahun sebagai tersangka, petugas menangkap lima orang lain. "Mereka termasuk pemakai," kata Inspektur Satu Dewi Prawira, Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Kota Bandung, kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewi mengatakan kepolisian masih memburu pelanggan lain yang mengeksploitasi secara seksual anak-anak di bawah umur tersebut. Petugas memperkirakan terdapat belasan pelaku yang mendapat informasi tindak kejahatan tersebut dari Internet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polisi mengungkap perdagangan anak perempuan berusia 14 tahun di Bandung pada Desember lalu. Korban yang berinisial TF diperdagangkan lewat aplikasi pesan MiChat oleh pelaku.

Dari pengakuan korban, Dewi melanjutkan, kejadian bermula pada 15 Desember lalu saat korban bertemu seorang tersangka yang baru ia kenal dari media sosial. Tersangka mengiming-imingi akan memberikan telepon seluler dan baju baru kepada korban jika mau diajak bertemu.

Korban selanjutnya dibawa ke tempat pelaku. Selama ditahan, TF mengalami kekerasan seksual dan ditempatkan di sejumlah kamar kos. Ia dijual dengan tarif Rp 150-400 ribu. "Si anak melayani dua sampai tiga tamu dalam sehari," ujar Dewi.

Ilustrasi korban perdagangan manusia. Dokumentasi TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat

 

Tiga tersangka kasus perdagangan anak ini memiliki peran masing-masing. SV, 16 tahun, mendandani korban sebelum bertemu dengan tamu. MS, 18 tahun, mengoperasikan akun aplikasi pesan instan untuk mencari pelanggan hingga menentukan harga layanan seksual. Kepada pelanggan, dia mengaku sebagai TF. Sementara itu, IM, 18 tahun, merupakan pemilik ponsel yang mendekati TF di media sosial.

Kepada petugas, para tersangka mengaku baru kali ini menjalankan prostitusi anak di bawah umur. Pemicunya adalah masalah ekonomi. Kejahatan itu terungkap sepekan kemudian setelah keluarga mengetahui keberadaan korban lewat media sosial.

Peristiwa yang menimpa TF merupakan satu dari banyaknya kasus perdagangan anak yang marak terjadi di Tanah Air. Perdagangan anak berbasis eksploitasi seksual juga menimpa anak laki-laki.

Pada awal 2020, Komisi Nasional Perlindungan Anak kedatangan tujuh anak dari Jambi yang menjadi korban perdagangan. Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan mereka dibawa ke Jakarta dengan iming-iming akan disekolahkan dan diberi pekerjaan. "Mereka mengaku disodomi," katanya. 

Menurut Arist, perekrut ketujuh anak itu kenal dekat dengan para orang tua korban. Pelaku memberikan uang kepada para orang tua dan mengatakan uang itu akan ditebus oleh anak-anak mereka. "Orang tuanya tahu saat anaknya dibawa, tapi mereka tidak tahu anaknya akan dijadikan korban prostitusi," ujar dia.

Selama tiga hari, ketujuh anak itu mendapat terapi di Komnas Perlindungan Anak. Selanjutnya, Komnas memberikan pendampingan ke ranah hukum. Tersangka tadinya meminta kompromi, tapi Komnas menolak. "Karena ini tindak pidana, jadi tersangka harus dihukum," kata Arist.

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Shalihah, mengatakan ada relasi kuasa dalam kasus-kasus perdagangan anak. Misalnya, anak dipacari meski baru kenal satu-dua kali lewat media sosial sehingga korban lebih mudah terpancing atas dasar suka sama suka. Kedekatan perekrut dengan keluarga korban juga membuat anak rentan teperdaya. "Ada lagi situasi kemerosotan ekonomi," kata Ai.

Program Manager End Child Prostitution, Child Pornography, & Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT), Andy Ardian, menilai perlu ada pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, antara lain dengan menuntut restitusi pelaku. Pelaku, kata dia, harus membayar ganti rugi, bahkan jika perlu melalui penyitaan harta benda untuk membayar kerugian korban.

Penerapan hukuman maksimal dalam menuntut hak-hak korban dan pemenuhan keadilan sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak harus dilakukan. Selain itu, Andy mengatakan, perlu ada tuntutan terhadap korporasi atau perusahaan yang terlibat dalam sindikat tersebut. Baik itu perusahaan yang merekrut anak-anak sebagai korban maupun industri lain yang memanfaatkan keberadaan anak untuk memperluas usaha yang mereka lakukan. “Misalnya, fasilitas penginapan atau fasilitas hiburan yang mengambil keuntungan dengan adanya situasi perdagangan anak untuk tujuan seksual karena ramainya kunjungan dengan adanya praktik tersebut,” ujar dia.

MAYA AYU PUSPITASARI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus