Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Potret si kecil berkaki 5

Penampungan pedagang kaki lima di berbagai kota termasuk jakarta menjadi masalah yang ruwet. pasar-pasar yang lama dianggap sudah tidak memadai: sering memancing ketegangan.(kt)

7 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENATA kios bagi pedagang kecil maupun pedagang kaki lima, di beberapa kota rupanya masih tetap menjadi urusan panjang yang seakan tak akan pernah selesai. Entah karena cara pembagian yang tak beres, maupun lantaran harga tebusan yang jauh dari jangkauan mereka. Tapi mungkin pula karena memang sulit mengangkat nasib mereka ke jenjang yang lebih memadai. Keadaan serupa itu misalnya terlihat di beberapa kota di Sumatera Utara: Medan, Tebingtinggi dan Padangsidempuan. Malahan karena ketak-beresan itu, sampai pekan lalu Balaikota Kodya Medan masih terus dijaga ketat oleh Hansip untuk mencegah serbuan para pedagang. Para pedagang itu untung tak menimbulkan insiden, meskipun selama 5 hari berturut-turut, sejak 16 Januari, mereka memaksa memasuki halaman balaikota untuk menjumpai Walikota Medan. Tapi gagal. Setelah capek berteriak-teriak selama 5 hari, mereka bubar dengan sendirinya. "Biarpun hasilnya tak ada, kami sudah menunjukkan bahwa kami tetap resah, " kata seorang wanita pedagang kain, Boru Hutasoit. Para pedagang itu, hampir 100 orang jumlahnya, adalah penjual-penjual di Pasar Petisah, di Jalan Gatot Subroto. Pasar ini dibangun 1973, bekas kuburan Cina yang telah digusur ke luar kota. Di atas tanah seluas 2,4 ha itu dibuat 4 buah pos dengan 529 kios dan 648 stand. Los I biasa disebut "pajak babi", karena ada kios yang menjual daging babi. Los ini umumnya ditempati pedagang nonpri, tempatnya di bagian depan pasar. Mendesak Adapun ketiga los lainnya, pajak kambing, pajak lembu dan pajak ikan, ternyata sampai sekarang masih sepi. Masing-masing sebenarnya mampu menampung 150 pedagang (kios) dan 200 stand, tapi sampai sekarang masing-masing hanya berisi 30 penjual. Sisanya masih tetap tertutup rapat. "Karena pemiliknya bukan pedagang, tapi pejabat kantor kota (balaikota) dan anggota DPRD," ungkap M. Syukri, seorang pedagang pecah-belah. Para pedagang bukannya tak berminat berjualan di kios yang terus terkunci itu. "Kami sudah berusaha membelinya, tapi, wuuh, harganya sudah mencapai 2 sampai 4 juta," kata Boru Hutasoit. Lebih penting dari itu rupanya, karena ketiga los itu masih sepi pedagang, para pembeli juga amat jarang berkunjung. Para pedagang di kios-kios itu bereaksi, ketika pertengahan bulan lalu Walikota Medan memutuskan membangun lagi 150 buah los di tempat parkir sekitar los-los tadi. "Kios yang ada masih banyak tak terisi, kok sekarang dibangun kios baru lagi," tambah Boru Hutasoit pula. Maksud para pedagang di sini adalah lebih baik membagi-bagi kios yang sudah ada daripada membangun baru. Bagi pedagang-pedagang itu memang rupanya tak mungkin mendapat kios yang sedang dibangun itu. "Harganya antara 8 sampai 8,5 juta," kata seorang pedagang. Tapi menurut Direktur PT Tenaga Baru Palapa, Yusfendi, yang dulu membangun Pasar Petisah, meskipun belum selesai, sebagian dari 150 kios yang sedang dibangun itu sudah ada pembelinya. Tentang pembangunan kios-kios itu tak banyak komentar dari Balaikota Medan. "Kota ini butuh kios mendesak," itu saja kata Humas Kodya Medan, Drs. Usman Pasaribu. Tentang kios-kios yang dikatakan sebagai dimiliki beberapa pejabat, Usman tak tahu pasti. "Saya tak pasti akan hal itu," katanya. Namun yang pasti, akibat kedatangan pedagang-pedagang ke balaiota tadi, 21 Januari Walikota Medan. Agus Salim Rangkuti, sempat menyetop pembangunan 150 kios baru itu. Tapi 2 hari kemudian dilanjutkan lagi. Tak terdengar reaksi para pedagang. Kabar burung, bahwa pejabat-pejabat kota telah memborong kios di pasar, juga terdengar di Tebingtinggi, juga di Sumatera Utara. Ini terjadi pada beberapa pasar Inpres. Misalnya di Pasar Pagi, di Jalan Pemda Pejuang, sejak akhir 1978 terjadi keributan antara para pedagang di sana dengan pejabat-pejabat Balaikota Tebingtinggi. Soalnya para pedagang kaki lima tak mau pindah ke kios-kios di Pasar Inpres yang telah selesai dibangun. Alasan mereka, "kios-kios yang strategis telah diborong pejabat-pejabat balaikota." Walikota Amiruddin Lubis, tentu membantah hal itu. "Boleh dicek," kata Amiruddin, "isu serupa itu dapat menghambat penataan kota ini." Hampir setahun kemudian barulah para pedagang berhasil dibujuk pindah. Tapi persoalan serupa terjadi pula kerika pada 1979 Pemda Kodya Tebingtinggi membangun pasar baru menggantikan Pasar Gambir yang telah tua. Para pedagang jauh-jauh hari telah menolak penggantian pasar lama itu. "Buat apa, itu kan memberi kesempatan bapak-bapak mendapat kios saja di pasar baru nanti," ungkap seorang pedagang. Baru pada awal bulan lalu Pemda berhasil membujuk para pedagang sehingga mereka mau pindah. Itu pun setelah terdengar desas-desus, seakan-akan Pemda akan membakar pasar itu jika para pedagang tetap bandel. "Isu gila," bantah Amiruddin. Di Padangsidempuan, di pantai barat Sum-Ut, Pemda setempat akhirnya menyerah kepada para pedagang kaki lima. Hampir 1.000 pedagang yang tak tertampung di Pasar Baru, yang diresmikan Menteri Radius November 1980, dengan nekat menggelar dagangan mereka di tepi-tepi jalan. Berkali-kali dihalau, mereka kembali lagi. Akhirnya karena belum mungkin memberi mereka tempat yang layak Pemda Tapanuli Selatan (yang beribu-kota Padangsidempuan) membiarkan para pedagang berjualan di pekarangan rumah-rumah penduduk. Untung si pemilik pekarangan tak menolak. "Asal pekarangan saya tetap bersih," ucap seorang pemilik pekarangan di Jalan Cokroaminoto. Dan rupanya pun para pembeli cukup berminat berbelanja dari pekarangan satu ke halaman rumah lainnya. Nah, sekarang bagaimana di Jakarta? Mengurus lebih dari 88.000 pedagang kaki lima di Jakarta tentu sulit. Buktinya sampai sekarang, dari 712 buah lokasi yang direncanahan untuk menampung mereka baru 340 tempat yang mendapat izin resmi. Tapi di tempat-tempat yang sudah diizinkan itu pun hanya untuk sementara. "Sebab dalam rencana induk DKI, tempat mereka sekarang bukan untuk berjualan," kata Soebagio Tardjo SH, Ketua Pelaksana Pembinaan Pedagang Kakilima. Sampai kapan, Soebagio juga tak tahu. Yang pasti, tempat-tempat penampungan yang ada Sekarang memang tak pantas, meskipun dengan tenda-tenda yang cukup rapi. Di Blok M Kebayoran Baru misalnya, pedagang K-5 berjualan di taman. Di Jalan Sultan Agung malahan di atas trotoar. "Jadi sekali waktu tempat-tempat itu akan dikembalikan kepada fungsinya semula," tambah Soebagio. Untuk modal, Pemda DKI kini menyiapkan uang Rp 25 juta untuk dipinjamkan kepada para pedagang K-5, khususnya pedagang batu akik dan arloji bekas di Jalan Batu Ceper. Kredit dengan jaminan tenda-tenda milik pedagang itu, kelak pada gilirannya juga akan dibagikan kepada pedagang ikan asin, tanaman hias, pedagang alat-alat elektronik seperti radio dan tv bekas. Suryana, pedagang batu akik di Batu Ceper, adalah seorang di antara pedagang K-5 yang akan menerima kredit sebesar Rp 360.000. Ia menjaminkan tendanya yang pada 1978 bernilai Rp 140.000, tapi sekarang bisa mencapai Rp 500 ribu. Suryana, 26 tahun, yakin ia dapat mengembalikan pinjaman dalam waktu 9 bulan dengan bunga kurang dari 1% per bulan -- seperti ditentukan. Sebab laki-laki kelahiran Kuningan, Ja-Bar, itu mengaku sebulan ia dapat mengumpulkan penghasilan sekitar Rp 300 ribu. Batu-batu akik yang dipajang di kiosnya memang berharga murah. Tapi yang disimpannya ada yang mencapai harga ratusan ribu, bahkan jutaan ruplah. "Sengaja tidak saya pajang, agar nilainya tidak merosot," tutur Suryana. Suryana tidak melihat kredit yang bakal diterimanya dari segi jumlahnya. "Yang penting dengan kredit itu berarti ada perhatian dari pemerintah," katanya rersenyum, "dan berarti pula tidak akan diuber-uber Kamtib lagi seperti dulu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus