Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENATA kios bagi pedagang kecil maupun pedagang kaki lima, di
beberapa kota rupanya masih tetap menjadi urusan panjang yang
seakan tak akan pernah selesai. Entah karena cara pembagian yang
tak beres, maupun lantaran harga tebusan yang jauh dari
jangkauan mereka. Tapi mungkin pula karena memang sulit
mengangkat nasib mereka ke jenjang yang lebih memadai.
Keadaan serupa itu misalnya terlihat di beberapa kota di
Sumatera Utara: Medan, Tebingtinggi dan Padangsidempuan. Malahan
karena ketak-beresan itu, sampai pekan lalu Balaikota Kodya
Medan masih terus dijaga ketat oleh Hansip untuk mencegah
serbuan para pedagang.
Para pedagang itu untung tak menimbulkan insiden, meskipun
selama 5 hari berturut-turut, sejak 16 Januari, mereka memaksa
memasuki halaman balaikota untuk menjumpai Walikota Medan. Tapi
gagal. Setelah capek berteriak-teriak selama 5 hari, mereka
bubar dengan sendirinya. "Biarpun hasilnya tak ada, kami sudah
menunjukkan bahwa kami tetap resah, " kata seorang wanita
pedagang kain, Boru Hutasoit.
Para pedagang itu, hampir 100 orang jumlahnya, adalah
penjual-penjual di Pasar Petisah, di Jalan Gatot Subroto. Pasar
ini dibangun 1973, bekas kuburan Cina yang telah digusur ke luar
kota. Di atas tanah seluas 2,4 ha itu dibuat 4 buah pos dengan
529 kios dan 648 stand. Los I biasa disebut "pajak babi", karena
ada kios yang menjual daging babi. Los ini umumnya ditempati
pedagang nonpri, tempatnya di bagian depan pasar.
Mendesak
Adapun ketiga los lainnya, pajak kambing, pajak lembu dan pajak
ikan, ternyata sampai sekarang masih sepi. Masing-masing
sebenarnya mampu menampung 150 pedagang (kios) dan 200 stand,
tapi sampai sekarang masing-masing hanya berisi 30 penjual.
Sisanya masih tetap tertutup rapat. "Karena pemiliknya bukan
pedagang, tapi pejabat kantor kota (balaikota) dan anggota
DPRD," ungkap M. Syukri, seorang pedagang pecah-belah.
Para pedagang bukannya tak berminat berjualan di kios yang terus
terkunci itu. "Kami sudah berusaha membelinya, tapi, wuuh,
harganya sudah mencapai 2 sampai 4 juta," kata Boru Hutasoit.
Lebih penting dari itu rupanya, karena ketiga los itu masih sepi
pedagang, para pembeli juga amat jarang berkunjung.
Para pedagang di kios-kios itu bereaksi, ketika pertengahan
bulan lalu Walikota Medan memutuskan membangun lagi 150 buah los
di tempat parkir sekitar los-los tadi. "Kios yang ada masih
banyak tak terisi, kok sekarang dibangun kios baru lagi," tambah
Boru Hutasoit pula. Maksud para pedagang di sini adalah lebih
baik membagi-bagi kios yang sudah ada daripada membangun baru.
Bagi pedagang-pedagang itu memang rupanya tak mungkin mendapat
kios yang sedang dibangun itu. "Harganya antara 8 sampai 8,5
juta," kata seorang pedagang. Tapi menurut Direktur PT Tenaga
Baru Palapa, Yusfendi, yang dulu membangun Pasar Petisah,
meskipun belum selesai, sebagian dari 150 kios yang sedang
dibangun itu sudah ada pembelinya.
Tentang pembangunan kios-kios itu tak banyak komentar dari
Balaikota Medan. "Kota ini butuh kios mendesak," itu saja kata
Humas Kodya Medan, Drs. Usman Pasaribu. Tentang kios-kios yang
dikatakan sebagai dimiliki beberapa pejabat, Usman tak tahu
pasti. "Saya tak pasti akan hal itu," katanya. Namun yang pasti,
akibat kedatangan pedagang-pedagang ke balaiota tadi, 21
Januari Walikota Medan. Agus Salim Rangkuti, sempat menyetop
pembangunan 150 kios baru itu. Tapi 2 hari kemudian dilanjutkan
lagi. Tak terdengar reaksi para pedagang.
Kabar burung, bahwa pejabat-pejabat kota telah memborong kios di
pasar, juga terdengar di Tebingtinggi, juga di Sumatera Utara.
Ini terjadi pada beberapa pasar Inpres. Misalnya di Pasar Pagi,
di Jalan Pemda Pejuang, sejak akhir 1978 terjadi keributan
antara para pedagang di sana dengan pejabat-pejabat Balaikota
Tebingtinggi.
Soalnya para pedagang kaki lima tak mau pindah ke kios-kios di
Pasar Inpres yang telah selesai dibangun. Alasan mereka,
"kios-kios yang strategis telah diborong pejabat-pejabat
balaikota." Walikota Amiruddin Lubis, tentu membantah hal itu.
"Boleh dicek," kata Amiruddin, "isu serupa itu dapat menghambat
penataan kota ini." Hampir setahun kemudian barulah para
pedagang berhasil dibujuk pindah.
Tapi persoalan serupa terjadi pula kerika pada 1979 Pemda Kodya
Tebingtinggi membangun pasar baru menggantikan Pasar Gambir yang
telah tua. Para pedagang jauh-jauh hari telah menolak
penggantian pasar lama itu. "Buat apa, itu kan memberi
kesempatan bapak-bapak mendapat kios saja di pasar baru nanti,"
ungkap seorang pedagang. Baru pada awal bulan lalu Pemda
berhasil membujuk para pedagang sehingga mereka mau pindah. Itu
pun setelah terdengar desas-desus, seakan-akan Pemda akan
membakar pasar itu jika para pedagang tetap bandel. "Isu gila,"
bantah Amiruddin.
Di Padangsidempuan, di pantai barat Sum-Ut, Pemda setempat
akhirnya menyerah kepada para pedagang kaki lima. Hampir 1.000
pedagang yang tak tertampung di Pasar Baru, yang diresmikan
Menteri Radius November 1980, dengan nekat menggelar dagangan
mereka di tepi-tepi jalan. Berkali-kali dihalau, mereka kembali
lagi. Akhirnya karena belum mungkin memberi mereka tempat yang
layak Pemda Tapanuli Selatan (yang beribu-kota Padangsidempuan)
membiarkan para pedagang berjualan di pekarangan rumah-rumah
penduduk.
Untung si pemilik pekarangan tak menolak. "Asal pekarangan saya
tetap bersih," ucap seorang pemilik pekarangan di Jalan
Cokroaminoto. Dan rupanya pun para pembeli cukup berminat
berbelanja dari pekarangan satu ke halaman rumah lainnya.
Nah, sekarang bagaimana di Jakarta? Mengurus lebih dari 88.000
pedagang kaki lima di Jakarta tentu sulit. Buktinya sampai
sekarang, dari 712 buah lokasi yang direncanahan untuk menampung
mereka baru 340 tempat yang mendapat izin resmi. Tapi di
tempat-tempat yang sudah diizinkan itu pun hanya untuk
sementara. "Sebab dalam rencana induk DKI, tempat mereka
sekarang bukan untuk berjualan," kata Soebagio Tardjo SH, Ketua
Pelaksana Pembinaan Pedagang Kakilima. Sampai kapan, Soebagio
juga tak tahu.
Yang pasti, tempat-tempat penampungan yang ada Sekarang memang
tak pantas, meskipun dengan tenda-tenda yang cukup rapi. Di Blok
M Kebayoran Baru misalnya, pedagang K-5 berjualan di taman. Di
Jalan Sultan Agung malahan di atas trotoar. "Jadi sekali waktu
tempat-tempat itu akan dikembalikan kepada fungsinya semula,"
tambah Soebagio.
Untuk modal, Pemda DKI kini menyiapkan uang Rp 25 juta untuk
dipinjamkan kepada para pedagang K-5, khususnya pedagang batu
akik dan arloji bekas di Jalan Batu Ceper. Kredit dengan jaminan
tenda-tenda milik pedagang itu, kelak pada gilirannya juga akan
dibagikan kepada pedagang ikan asin, tanaman hias, pedagang
alat-alat elektronik seperti radio dan tv bekas.
Suryana, pedagang batu akik di Batu Ceper, adalah seorang di
antara pedagang K-5 yang akan menerima kredit sebesar Rp
360.000. Ia menjaminkan tendanya yang pada 1978 bernilai Rp
140.000, tapi sekarang bisa mencapai Rp 500 ribu. Suryana, 26
tahun, yakin ia dapat mengembalikan pinjaman dalam waktu 9 bulan
dengan bunga kurang dari 1% per bulan -- seperti ditentukan.
Sebab laki-laki kelahiran Kuningan, Ja-Bar, itu mengaku sebulan
ia dapat mengumpulkan penghasilan sekitar Rp 300 ribu. Batu-batu
akik yang dipajang di kiosnya memang berharga murah. Tapi yang
disimpannya ada yang mencapai harga ratusan ribu, bahkan jutaan
ruplah. "Sengaja tidak saya pajang, agar nilainya tidak
merosot," tutur Suryana.
Suryana tidak melihat kredit yang bakal diterimanya dari segi
jumlahnya. "Yang penting dengan kredit itu berarti ada perhatian
dari pemerintah," katanya rersenyum, "dan berarti pula tidak
akan diuber-uber Kamtib lagi seperti dulu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo