Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga minyak goreng bisa melonjak karena mengacu pada harga internasional.
Perum Bulog harus mengambil alih minimal 40 persen volume distribusi minyak goreng.
Ekonom dan pelaku usaha meminta pemerintah menyetop produksi minyak goreng curah.
JAKARTA – Ekonom dan pelaku usaha sawit mengusulkan sejumlah kebijakan yang sebaiknya diambil pemerintah untuk menurunkan harga minyak goreng setelah pencabutan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan tiga produk turunannya. Salah satunya ialah memberikan peran kepada Perum Bulog sebagai stabilisator harga.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudistira, menuturkan tantangan yang akan dihadapi pemerintah setelah pembukaan kembali pintu ekspor CPO dan produk turunannya mulai Senin mendatang ialah mengendalikan harga minyak goreng sembari tetap menjalankan mekanisme pasar.
Bhima khawatir produsen minyak goreng yang selalu mengacu pada harga internasional akan menaikkan harga produknya secara signifikan, khususnya minyak goreng kemasan. “Selama aturan minyak goreng boleh mengacu pada mekanisme pasar, harga yang saat ini Rp 24.500 per liter di pasar tradisional bisa meningkat,” ucap dia, kemarin.
Bhima mengusulkan tiga kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Pertama, menugaskan Perum Bulog untuk mengambil alih setidaknya 40 persen dari total distribusi minyak goreng. Mekanismenya, Bulog membeli dari produsen minyak goreng dengan harga wajar, lalu melakukan operasi ke pasar-pasar tradisional.
“Selama ini mekanisme pasar gagal mengatur margin yang dapat dinikmati oleh distributor minyak goreng,” ujarnya.
Kebijakan kedua adalah menghapus subsidi minyak goreng curah dan menggantinya dengan subsidi minyak goreng kemasan sederhana. Alasannya, pengawasan terhadap distribusi minyak goreng kemasan lebih mudah ketimbang curah. Apalagi ada kecurigaan minyak goreng curah diselewengkan dengan diberi kemasan, lalu dijual seharga minyak goreng kemasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekerja mengisi minyak goreng curah ke dalam jeriken di depo minyak goreng PD Taman Cimanggu, Kota Bogor, Jawa Barat, 17 Mei 2022. ANTARA/Arif Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiga, Bhima menambahkan, jika masalahnya adalah pasokan bahan baku, program biodiesel yang banyak menyedot CPO harus mengalah. Pada 2021, konsumsi CPO untuk program biodiesel mencapai 7,34 juta ton, atau 15,7 persen dari total konsumsi CPO nasional. “Target biodiesel harus direvisi dan bahan bakunya difokuskan untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng,” kata dia.
Direktur Indonesia Development and Islamic Studies, Yusuf Wibisono, berpendapat bahwa keputusan Presiden Joko Wiodo mencabut larangan ekspor CPO dan produk turunannya sudah tepat. Sebab, ujar dia, setelah pelarangan dicabut, pemerintah akan menikmati keuntungan dari lonjakan harga CPO internasional dari bea keluar dan pungutan ekspor.
Yusuf menyebutkan, sebelum memberlakukan larangan ekspor pada 28 April lalu, pemerintah sebenarnya telah bergerak ke arah peningkatan tarif bea keluar dan pungutan ekspor sawit. Namun sayang, besaran tarifnya kurang progresif, terutama untuk produk turunan CPO. Selain itu, dana pungutan ekspor tidak masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Persoalannya, BPDPKS mengalokasikan 80 persen dari dana pungutan ekspor untuk mensubsidi program biodiesel. Padahal, ujar Yusuf, seharusnya dana windfall ekspor CPO digunakan untuk menjamin kemakmuran rakyat melalui subsidi minyak goreng sawit dan subsidi pengembangan perkebunan sawit rakyat.
“Pengelolaan dana pungutan ekspor sawit oleh BPDPKS harus direformasi dan sebaiknya dikembalikan ke mekanisme APBN agar lebih transparan serta akuntabel,” Yusuf mengungkapkan.
Penjualan minyak goreng di Cipete, Jakarta, 7 Maret 2022. Tempo/Tony Hartawan
Sama dengan Bhima, Yusuf menyarankan pemerintah mengintervensi rantai pasok dan jalur distribusi minyak goreng dengan menugaskan Bulog membeli langsung ke pabrik-pabrik minyak goreng, kemudian menyalurkannya ke konsumen. Bulog dianggap memiliki kapasitas dan pengalaman menyalurkan komoditas penting bagi masyarakat ke penjuru Tanah Air, terutama bagi rakyat miskin.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia, Sahat Sinaga, menuturkan, untuk jangka panjang, pemerintah harus menyetop produksi minyak goreng curah dan menggantinya menjadi bentuk kemasan. Tujuannya agar masyarakat tidak tertipu dan pengawasan volume, kualitas, serta distribusi mudah.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, konsumsi minyak goreng nasional pada 2021 sebesar 5,07 juta ton, yang terdiri atas minyak goreng curah industri sebesar 1,62 juta ton (32 persen), curah rumah tangga 2,12 juta ton (42 persen), kemasan sederhana 0,21 juta ton (4 persen), dan kemasan premium 1,11 juta ton (22 persen). Sementara itu, volume produksi CPO nasional pada tahun yang sama mencapai 46,89 juta ton.
Sahat juga meminta pemerintah menugaskan Bulog dan ID Food sebagai induk badan usaha milik negara (BUMN) pangan untuk mengelola minimal 80 persen pasokan minyak goreng bagi masyarakat berpenghasilan rendah. “Jangan diberikan ke swasta," kata dia. Ia menyarankan kedua perusahaan itu membangun pabrik pengemasan di titik-titik distribusi dan memakai merek dagang sendiri.
Pekerja membungkus minyak goreng curah di Pasar Kosambi, Bandung, Jawa Barat, 16 Maret 2022. TEMPO/Prima mulia
Wacana penugasan Perum Bulog berasal dari Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers pada 26 April lalu. Ia mengatakan distribusi minyak goreng curah dengan harga Rp 14 ribu per liter dilakukan dengan dua cara, yaitu pembayaran selisih harga oleh BPDPKS dan penugasan kepada Bulog.
“Bulog akan melakukan distribusi minyak goreng curah ke masyarakat di pasar-pasar tradisional. Produsen yang tidak punya jaringan, distribusinya dilakukan oleh Bulog," ujar Airlangga.
Direktur Bisnis Bulog, Febby Novita, menuturkan hingga saat ini Bulog belum menerima penugasan khusus dari pemerintah untuk menyalurkan minyak goreng murah. Ia menuturkan, sejak awal tahun ini, Bulog sudah menyalurkan lebih dari 2 juta liter minyak goreng murah melalui skema business-to-business.
“Belum ada penugasan dan belum ada sasaran atau titik distribusi khusus yang ditetapkan pemerintah,” ujar dia, kemarin.
Regulasi soal distribusi minyak goreng nantinya mengatur apakah produk yang didistribusikan Bulog bisa dijual bebas di pasar atau diberikan kepada masyarakat miskin langsung ke rumah penerima. Jika opsi pertama yang dipilih, Bulog akan mengemas produknya dalam kemasan khusus dan mencantumkan kelompok penerimanya.
Sedangkan jika disalurkan langsung, Bulog akan bekerja sama dengan Kementerian Sosial perihal siapa saja yang berhak menerima minyak goreng ini. Kalau opsi kedua yang dipilih, ada kemungkinan penerima minyak goreng murah sama seperti penerima bantuan langsung tunai (BLT). Hingga kemarin malam, Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian, Susiwijono, belum menjawab pertanyaan Tempo ihwal penugasan kepada Bulog.
CAESAR AKBAR | EFRI R.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo