Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Presiden Abdurrahman Wahid: "Ada yang Tak Rela..."

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Abdurrahman Wahid tampak lebih segar dari sebelumnya. Mengenakan kemeja batik sutera lengan pendek berwarna kuning gading, raut mukanya terlihat cerah. Perawakannya juga terlihat lebih langsing. "Lagi diet, disuruh dokter makan jagung terus," kata sang Kiai Ciganjur yang baru saja genap berusia 60 tahun itu.

Padahal, dua pekan yang amat melelahkan di sidang tahunan MPR baru dilewatinya. Kini ia juga tengah berkutat menyusun ulang kabinetnya. Ahad siang kemarin, usai merundingkan kabinet barunya dengan Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri, ia menerima Tempo di ruang kerjanya--bekas kantor Bung Karno--di Istana Merdeka, Jakarta. "Kalau yang percaya spiritual, memang mesti berkantor di sekitar sini-sini saja," kata Gus Dur menjelaskan.

Dalam sebuah wawancara eksklusif yang penuh senda gurau ala Gus Dur, Presiden Abdurrahman mengungkapkan lika-liku penyusunan kabinet kepada Fikri Jufri, Bambang Harymurti, Karaniya Dharmasaputra, dan fotografer Ruly Kesuma. Berikut petikannya.

Boleh tahu rahasia Anda mengatasi gempuran di sidang tahunan kemarin?

Lha, saya tidak merasakan adanya tekanan itu. Kalau enggak, ngapain saya duduk berjam-jam di depan MPR?

Barangkali ada jurus khusus?

Enggak tahu lah. Orang sini pada bilang saya pakai jurus dewa mabuk..., he-he-he.

Banyak yang semula amat vokal, tapi setelah Anda panggil langsung berbalik mendukung.

Lo, saya itu tidak pernah manggil-manggil orang. Mereka itu yang pada datang sendiri ke saya.

Apa perbedaan konsep kabinet baru ini dengan sebelumnya?

Yang sekarang ini benar-benar berdasarkan fungsi. Kalau kabinet kemarin itu kan banyak sekali yang overlap. Yang tidak perlu, sekarang ditinggal. Tadi (saat bertemu dengan Megawati--Red.) ada sedikit berkelahi karena ada nama-nama (struktur--Red.) yang oleh tim Bambang Yudhoyono itu tidak dimasukkan. Umpamanya, semula ada usulan pos Menteri Tenaga Kerja dan Kependudukan. Maksudnya ini mengurusi mobilitas penduduk. Lha, nanti kan gegeran sama kantornya Khofifah yang juga membawahkan BKKBN. Akhirnya, disepakati Menteri Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk. Ya, sebangsa itulah.

Benarkah tidak melibatkan semua partai seperti sebelumnya? PPP dan PAN tak lagi diikutkan?

Ah, enggak. PPP dan PAN juga ada menterinya. Nggak ada gitu-gitu.

Lo, bukankah cuma koalisi PKB, PDI-P, dan Golkar?

Nggak tahu kalau di DPR, tapi kalau di eksekutif akan melibatkan semua pihak. TNI ikut, partainya juga ikut. Nur Mahmudi itu, misalnya, kan dari Partai Keadilan.

Dan tetap direkomendasikan melalui partainya?

Nggak. Itu kan hak prerogatif saya. Saya yang penuh mengambil keputusan, tapi dengan memperhatikan pertimbangan partai. Tapi, bagaimana, ya. Meski para ketua partai bilang akan penuh menyerahkannya kepada saya, kita kan sama-sama tahu hati sebagian mereka kan tidak rela. Bukan dari sisi individunya, tapi dari kepentingannya. Cuma, sejak republik kita berdiri kan ada ketakutan soal kekuasaan presiden yang terlalu besar. Maka, sekarang ini tetap harus kolektif.

Jadi, tidak ada partai oposisi?

Lo, boleh saja oposisi. Kayak kemarin itu, wong, semuanya itu punya menteri, kok. Coba bayangkan, PAN itu punya tiga menteri tapi tetap saja oposisi. Silakan saja.

Dengan begitu banyaknya lamaran, kabinet tetap bisa dirampingkan?

Memang ada begitu banyak orang melamar. Tapi perampingan tetap terjadi. Sepuluh departemen hilang. Otomatis jatah partai berkurang.

Perimbangan kedaerahan dan etnis juga dipertimbangkan?

Iya, tapi tentu tidak semua daerah dan etnis. Yang kita lihat pertama kali adalah keahliannya. Keahlian itu kan ada dua macam. Pertama, keahlian menurut bidangnya. Tapi juga ada misalnya keahlian menjadi penghubung antara pemerintah dan militer. Ini khusus.

Jadi diumumkan 25 Agustus?

Ya. Tapi bisa juga 24 Agustus malam. Penyusunan personalia baru besok lusa (Selasa ini).

Personalianya sudah ditentukan?

Belum, belum. Wong, saya belum mikir siapa-siapa yang akan duduk di kabinet, kok.

Rizal Ramli dan Dorodjatun kandidat terkuat Menko Ekuin?

Wah, itu kan spekulasi semua. Jadi, saya nggak ingin menafikan ataupun mengiyakan. Tunggu dulu. Kalau mereka dicalonkan, memang betul.

Dukungan IMF dan Amerika tentu dipertimbangkan dalam hal ini.

Nggak. Saya juga tidak merasa ada tekanan apa pun dari IMF maupun duta-duta besar.

Apakah menko akan dilibatkan dalam pemilihan anggota kabinet?

Tidak. Nanti dipilih bersamaan.

Kalau tidak bisa bekerja sama lagi seperti kemarin?

Lo, yang jadi presiden itu siapa? Memang ada yang mengajukan syarat, kalau saya jadi Menko Ekuin, pos-pos penting di bawahnya harus dia yang menentukan. Kok, seperti dia yang jadi presiden.

Apa dasar Anda menunjuk Tim Tiga--penyusun restrukturisasi kabinet?

Simpel saja. Pak Bambang itu kan mewakili tentara, Ibu Erna dari LSM, sedangkan Pak Ryaas unsur pamong praja. Itu saja, tidak ada pertimbangan lain-lain.

Jadi, mereka pasti masuk kabinet?

Oh, belum tentu. Jangan sembarangan, tergantung nanti. Kalau diputuskan jangan, ya tidak masuk. Ada banyak pengaduan masuk. Mengenai Pak Ryaas juga banyak. Justru yang tidak ada itu terhadap Bambang Yudhoyono. Kecuali, tuduhan keterlibatannya dalam kasus 27 Juli. Selain itu tidak ada.

Itu kan tuduhan serius?

Buat saya, sih, gampang saja. Terserah pengadilan. Pokoknya, kalau nanti dinyatakan bersalah oleh pengadilan, ya, berhenti. Prinsip ini berlaku untuk siapa saja. Tidak susah-susah.

Kenapa Bambang Yudhoyono tak jadi diposisikan sebagai menteri pertama?

Kan seolah-olah nanti dia jadi saingan Wakil Presiden. Ya, apa adanya saja. Saya bikin dua menko. Ada yang usul saya meniru Reagan ketika mengangkat tiga pembantu utamanya. Saya nggak mau. Eh, belakangan saya ketawa sendiri. Jadinya kan ada tiga juga: wakil presiden dan dua orang menko.

Bagaimana pembagian tugas selanjutnya antara Anda dan Megawati?

Dia (Mega) akan menerima laporan dari menko dan menteri-menteri mengenai setiap perkembangan. Kemudian dia melaporkannya ke saya. Nanti pengambilan keputusan, syukur-syukur, bisa dilakukan berempat antara saya, Mega, dan para menko.

Mega juga boleh mengusulkan nama, misalnya Laksamana Sukardi?

Ya, usul kan boleh-boleh saja. Siapa saja boleh usul. Misalnya saja, Pak Alwi Shihab (Menlu) usul, bagaimana kalau Fikri Jufri kita angkat sebagai duta besar. Saya bilang, ooh, boleh saja, tapi di Palao (pulau kecil di Pasifik) sana..., he-he-he.

Itu kan perlu untuk rekonsiliasi politik?

Itu mengada-ada. Begini, rekonsiliasi kok dikaitkan dengan rekrutmen kabinet. Itu kan hak saya sebagai presiden.

Menurut Anda, Mega mampu?

Ya, kalau kolektif bisa. Kan tidak sendirian. Cuma, Mbak Mega itu hal-hal detail juga sampai mesti diurusi.

Hubungan Anda berdua sudah membaik?

Lo, memang nggak ada masalah, kok. Yang bikin seperti tidak baik itu kan pers. Mungkin dia jengkel soal Laksamana, tapi selebihnya tak pernah ada masalah dengan saya. Selama ini, sidang kabinet juga dia yang memimpin. Bisa tuh. Saya sangat menghargai dia.

Apa yang bisa dijanjikan dari kabinet baru ini?

Pertama, jelas kejujuran. Kemudian, memperbaiki bolong-bolong yang terjadi sebelumnya. Mudah-mudahan lebih kompak.

Soal kejujuran, apakah anggota kabinet akan mengumumkan kekayaan pribadinya seperti pernah Anda usulkan dulu?

Wah, itu belum terpikir. Sekarang yang penting merampungkan reshuffle dulu.

Anda yakin kabinet baru ini akan lebih bagus?

Bagus tidaknya kan tergantung memuaskan orang atau tidak. Selalu akan ada yang bilang si ini dan si itu tidak becus. Yang penting kan saya menganggapnya becus. Saya yang tahu kenapa dia dipilih.

Dan mampu memulihkan perekonomian?

Lo, sekarang kan sudah mulai membaik. Jadi, bukan karena ekonomi belum baik lantas muncul reshuffle. Pertanyaannya, apakah kita bisa puas dengan apa yang kita miliki. Atau, apakah kita ingin mencapai apa yang seharusnya kita miliki? Ini beda, antara persoalan yang nyata dan yang seharusnya. Saya berpegang pada yang kedua. Kita harus menyusun begitu rupa, sehingga akan kita dapatkan apa yang harusnya bisa kita capai.

Kabinet bisa gonta-ganti tiap tahun?

Ah, kalau keadaan ekonomi sudah bagus, mereka mau bilang apa?

PKB pasang target untuk jadi partai pemenang pemilu 2004? Apa mungkin?

Mungkin saja, kenapa enggak? PKB sedang diupayakan menjadi partai terbuka. Sekarang sedang dijalankan dua tahap. Pertama, pengurus hariannya memang masih muslim semua, tapi dari berbagai unsur: ada Muhammadiyah dan lainnya. Konsekuensinya, NU dan PKB harus dipisahkan. Kedua, nanti nonmuslim akan masuk ke departemen-departemen. Di kongres kedua nanti, mereka ini mulai bisa menjadi pengurus harian.

Partai membutuhkan dana yang besar dan jadi potensi korupsi. Kenapa tidak dianggarkan pemerintah?

Saya rasa kombinasi. Di satu pihak pemerintah akan memberi subsidi. Tapi kan tidak akan cukup. Jadi, baik juga kalau ada sebuah yayasan swasta yang bisa menyediakan dana untuk semua partai. Nanti dibagi oleh presiden secara adil sesuai dengan jumlah suara di pemilu.

Yayasan di bawah presiden ini mencari dana untuk semua partai?

Ya. Tapi, saya tidak akan pernah mempengaruhi kebijakan masing-masing partai. Misalnya ada pengusaha menang tender, kan tinggal ditanya Anda mau menyumbang berapa. Nanti kita bagi, mana yang untuk dana kemanusiaan, mana untuk dana partai.

Wah, PKB dapat jatah empat terbesar, dong?

PKB itu nggak perlu duit banyak-banyak. Buat apa? Wong, PKB itu sudah milik rakyat, kok. Semua juga ngerti, perolehan suara PKB kemarin masih kecil karena masih ada money politics, ikatan emosional, dan sebagainya. Kalau enggak, semuanya juga pada lari ke PKB. Sekarang saja sudah banyak terjadi.

Bagaimana Anda mengatasi disintegrasi, soal Papua, misalnya, yang ramai lagi?

Yang demonstrasi, ya, demonstrasi. Biar saja. Namanya juga reaksi orang. Nggak apa-apa. Tapi, kalau saya didesak untuk menindak mereka, ya nggak mungkin, to.

Bagaimana pendapat Anda mengenai tujuh kata Piagam Jakarta?

Ada dua pilihan. Satu, kita tolak. Atau, kita benahi pengertian kedua kelompok yang bertentangan. Kalangan nasionalis tak mengerti apa itu Piagam Jakarta. Pendukung Piagam Jakarta sendiri kan juga nggak ngerti. Ketika itu, Wahid Hasyim, Abikusno, Ki Bagus Hadikusumo, Agus Salim, kan punya pemikiran sendiri-sendiri soal itu. Tapi kenapa kok bisa cocok? Karena Piagam Jakarta dimengerti mereka sebagai prinsip. Inti hukum pidana Islam adalah pencegahan dan hukuman. Nah, sekarang mari kita lihat apakah dalam KUHP kita prinsip itu ada atau tidak. Kalau ada, ya sudah. Itu kan berarti mengubah pengertian Piagam Jakarta, sehingga bisa diterima oleh yang lainnya. Terhadap kalangan yang mencurigai Piagam Jakarta, adalah tugas kita untuk menjelaskannya. Makanya saya kemarin pergi ke Yogya untuk ruwatan.

Hubungannya?

Saya ingin supaya budaya santri dan nonsantri bisa ketemu. Karena itu, di sana kemarin ada Pak Kunto Wibisono dan Pak Ichlasul Amal dari Muhammadiyah. Sebetulnya, pemikiran ini dari Pak Jasman Al-Kindi yang juga dari Muhammadiyah. Ini memang berat. Pakai acara dimandiin segala macam. Jadi, di situ persoalannya. Maka, akan dibentuk sebuah badan yang insya Allah diketuai Sri Sultan Hamengku Buwono X. Saya sudah ngomong sama dia.

Kenapa dia?

Ini adalah problem lama: menyangkut tradisionalisme dan modernisme dalam Islam. Dan keratonlah yang paling berpengalaman menangani masalah ini. Buktinya, dulu mereka membantu daerah Mlangi dan Wonokromo. Bukankah kedua daerah itu NU banget? Tapi sebaliknya, Kiai Haji Ahmad Dahlan pun kan merupakan penghulu keraton. Sekarang keadaannya berubah karena muncul ormas yang menjajakan formalisme. Pengalaman masa lampau yang berimpitan dengan keraton itu mesti kita sadap untuk mengatasi berbagai masalah di zaman sekarang.

Siapa tokoh wayang yang Anda sukai?

Satu-satunya preferensi saya adalah Kumbakarna. Kerjaannya kan cuma makan sama tidur. NU itu Kumbakarna-nya dunia politik Indonesia. Tapi pada saat-saat menentukan, Kumbakarna bangun, datang dan berjuang melawan Hanoman. Ketika ajal, dia bilang pada Rahwana, saya mati begini bukan karena kamu, tapi karena cinta kepada negeri Alengka.

Jadi berkunjung ke Irak meski Menlu AS sudah marah-marah?

Ah, biarin aja. Dia marah itu kan karena keharusan untuk marah. Menurut estimasi saya kok tidak akan lebih dari itu. Kan reaksinya sama seperti ketika saya ketemu Castro dulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus