Jelantah alias minyak goreng sisa lazimnya dibuang seperti limbah domestik lainnya. Namun siapa sangka
minyak sawit yang sudah keruh dan tak layak pakai itu masih bisa memberikan manfaat yang besar.
Mahasiswa Universitas Pertamina, Muhammad Athallah Naufal, membuat inovasi dari jelantah. Pria berusia 20 tahun itu mengolah kandungan dari jelantah sebagai solusi mengurai limbah lumpur yang muncul dari pengeboran minyak.
Inovasi Athallah diganjar juara ke-2 kompetisi bergengsi Society of Petroleum Engineer (SPE) International Student Paper Contest 2022 di Houston, Amerika Serikat, pertengahan Oktober lalu. Inovasi Athallah mengungguli sejumlah riset mahasiswa dari universitas papan atas dunia, seperti dari Gubkin University Rusia, Texas A&M University at Qatar dari Qatar, Indian Institute of Technology India, dan Universidad Nacional de Colombia.
Athallah menciptakan produk biosurfaktan dari ekstrak asam lemak yang terdapat pada jelantah. Biosurfaktan merupakan senyawa dari bahan mikroba yang dapat mengikat dan menguraikan limbah.
Ilustrasi jelantah. TEMPO/Johannes P. Christo
Mahasiswa program studi Teknik Perminyakan itu mengatakan lumpur minyak dalam wujud padatan sering ditemukan saat ada kebocoran pipa pada proses pembersihan tangki penyimpanan minyak ataupun proses pemurnian minyak. Limbah lumpur minyak terdiri atas campuran air, hidrokarbon berkonsentrasi tinggi, dan sedimen. Lumpur ini juga mengandung logam berat yang tak aman bagi lingkungan. "Limbah bisa mengkontaminasi tanah sehingga merusak kesuburannya dan mencemari air tanah," tutur Athallah ketika dihubungi, Kamis lalu.
Adapun metode yang paling tepat dalam menangani petroleum sludge yang mengkontaminasi tanah adalah bioremediasi. Bioremediasi merupakan sebuah metode pemanfaatan bakteri alamiah dari tanah untuk menguraikan lumpur padat petroleum sludge.
Hanya, tantangan yang dihadapi adalah tingginya kekentalan dan tegangan antarmuka dari petroleum sludge. Walhasil, bakteri sulit berkembang secara alami. Berkat penggunaan biosurfaktan, masalah kekentalan dan tegangan antarmuka dari petroleum sludge bisa diatasi.
Menurut Athallah, strategi penggunaan biosurfaktan diklaim lebih ramah lingkungan dan lebih murah untuk mengatasi lumpur residu dibanding dua solusi yang sudah ditemukan secara umum.
Selama ini limbah lumpur diselesaikan dengan metode kuno, seperti insinerasi atau membakar limbah lumpur. Namun cara ini dianggap tak
ramah lingkungan karena menghasilkan asap sisa pembakaran. Adapun metode kedua,
landfilling atau menimbun dengan tanah, juga ibarat pedang bermata dua. Metode ini punya kekurangan, yakni membutuhkan waktu dan lahan yang sangat luas.
Athallah punya mimpi besar biosurfaktan temuannya bisa dikembangkan lebih terpadu dan dikomersialkan hingga menguntungkan banyak pihak. "Utamanya masyarakat sebagai sumber bahan baku serta perusahaan migas."
Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Edysul Isdar. Dok. Pribadi
Prestasi inovasi juga diraih Edysul Isdar, mahasiswa UIN Alauddin Makassar. Pria berusia 20 tahun itu berhasil meraih medali perak dalam Kompetisi Inovasi Penemuan Internasional di Kanada atau iCAN 2022 yang diselenggarakan oleh Toronto International Society of Innovation and Advanced Skills (TISIAS) pada September lalu. Kompetisi tersebut diikuti 650 peserta dari 79 negara.
Edysul menciptakan Bagasse Bioelectricity, yaitu
pembangkit energi listrik alternatif berbasis limbah industri pabrik gula dengan menggunakan teknologi
microbial fuel cell (MFC). Ide inovasi tersebut tercipta dari keresahan Edysul melihat banyaknya limbah ampas tebu dari pabrik gula yang tak jauh dari rumahnya. "Selama ini limbah ampas tebu sekadar jadi
pupuk kompos," tutur mahasiswa Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, itu ketika dihubungi, Jumat lalu.
Edysul lantas mencari sejumlah referensi tentang ampas tebu. Ia pun menemukan fakta bahwa ampas tebu punya kandungan selulosa yang tinggi. Walhasil, Edysul mencoba memfermentasikan ampas tebu dengan bantuan bakteri selulolitik dari kotoran sapi. Lagi-lagi Edysul mendapatkan kotoran sapi dari peternakan tak jauh dari rumahnya di Makassar secara cuma-cuma.
Ilustrasi tebu. Dok. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat
Setelah difermentasi selama tiga hari, ampas tebu itu ia pindahkan ke dalam kotak reaktor MFC. Edysul membagi ke dalam dua sekat, yakni anoda dan katoda. Sekat anoda berisi kalium permanganat dan sekat katoda diisi Edysul dengan ampas tebu yang sudah difermentasi.
Dari sebuah reaktor berukuran sebesar stoples, Edysul mampu menghasilkan listrik setara dengan 1,5 volt yang bisa menghidupkan lampu LED. Ia mengklaim reaktor tersebut bisa bekerja menghidupkan lampu LED selama satu bulan dengan catatan rajin mengisi ampas tebu ke dalam sekat katoda pada reaktor. "Ampas
tebu jadi makanan untuk bakteri. Selama diberi makan terus, bisa menghasilkan listrik," kata dia.
Edysul mengaku sempat menggunakan kulit buah durian sebagai bahan baku risetnya. Namun kulit durian tak sebaik ampas tebu. Edysul bertekad akan menyempurnakan inovasinya itu hingga bisa diterapkan secara luas. Terlebih tren sumber energi terbarukan akan makin dibutuhkan di masa depan.
Mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Fauzur Rahmat. Dok. Pribadi
Prestasi internasional juga mampir pada sekelompok mahasiswa Universitas Syiah Kuala. Sekelompok mahasiswa yang dimotori oleh Fauzur Rahmat dan Dini Fadhillah itu meraih medali perak dalam 2nd International Research Invention, Innovation, and Exhibition (I-RIE 2022) di Malaysia pada 10-16 Juni lalu.
Fauzur, Dini, dan tiga kawannya yang lain mengolah buah tanaman mangrove jenis
Rhizophora mucronata menjadi produk perawatan kulit yang diberi nama Rizonate. Gagasan ini bermula dari banyaknya
tanaman mangrove di hutan bakau di wilayah Aceh.
Menurut Dini Fadhillah, selama ini masyarakat hanya memanfaatkan pohon bakau menjadi arang. Adapun buahnya dibiarkan berserak tak terpakai. Padahal, menurut berbagai literatur, buah dari tanaman bakau itu punya kandungan antioksidan tinggi. "Antioksidan bisa bermanfaat bagi kulit. Ini yang kami gali," kata Dini ketika dihubungi, Selasa lalu.
Menurut mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian itu, produk perawatan kulit saat ini menjadi barang yang dibutuhkan anak muda. Dini cs optimistis inovasi produk perawatan kulit berbahan buah mangrove punya prospek cerah.
Ilustrasi mangrove. Dok. TEMPO/Hariandi Hafid
Sementara itu, Fauzur Rahmat berharap inovasi mereka bisa mengubah pandangan masyarakat di Aceh tentang tanaman mangrove. Sebab, selama ini
tanaman bakau kurang dianggap penting. Padahal sejatinya hutan mangrove punya peran signifikan mengantisipasi ombak besar hingga tsunami. "Lebih jauh lagi, buahnya kaya manfaat," ujar Fauzur.
Selanjutnya, Fauzur dan kawan-kawan berencana menggali lebih dalam
produk perawatan kulit Rizonate. Salah satunya dengan menganalisis detail kandungan antioksidan dan takaran yang pas untuk diolah menjadi produk perawatan kulit. Fauzur sadar betul masih panjang perjalanan yang harus ditempuh untuk menyulap buah mangrove menjadi produk yang siap edar, termasuk serangkaian tes uji keamanan bagi kulit dan lainnya.
"Harapan kami, ini bisa dilirik oleh produsen kosmetik dan bisa jadi produk kebanggaan Aceh."
INDRA WIJAYA