Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengatakan pihaknya mendapat banyak aduan dari para guru soal Kurikulum Merdeka yang baru saja diluncurkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim. Heru mengatakan, kurikulum tersebut dikhawatirkan akan menjadikan para pengajar dan murid sebagai kelinci percobaan sistem pendidikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyebabnya, saat diluncurkan Jumat pekan lalu, Nadiem Makarim tidak langsung menjadikan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum wajib. Ia masih membolehkan para guru memilih akan menerapkan Kurikulum Merdeka, Kurikulum 2013, atau Kurikulum Darurat dalam sistem pembelajaran mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jadi dalam satu tahun guru boleh memilih lebih dari satu kurikulum. Para guru jadi bertanya-tanya, ini sebenarnya yang bagus yang mana sih?" ujar Heru saat dihubungi Tempo, Senin, 14 Februari 2022.
Heru menerangkan, masing-masing kurikulum memiliki keunggulannya masing-masing. Seperti Kurikulum 2013 yang padat dengan materi dan bakal membuat siswa tidak akan mengalami learning loss. Namun, kurikulum jenis ini tidak cocok diterapkan pada kondisi pandemi seperti saat ini, apa lagi dengan metode pembelajaran jarak jauh atau PJJ.
Sedangkan Kurikulum Darurat memiliki beban materi lebih kecil dan telah disesuaikan dengan metode PJJ. Namun, murid yang belajar dengan kurikulum ini mengalami berisiko mengalami learning loss karena tidak adanya pembelajaran tatap muka dengan guru serta banyak yang kehilangan motivasi belajar.
Lalu untuk Kurikulum Merdeka, Hasan mengatakan beban materinya tidak seberat Kurikulum 2013 dan mengunggulkan project base learning alias praktik di lapangan. Dalam kurikulum ini, sebanyak 30 persen beban pelajaran murid ada praktik dan sisanya adalah teori.
Selain itu, Kurikulum Merdeka juga memberikan kebebasan kepada guru mengatur waktu pelajaran atau flexible time. Hal ini memungkinkan karena target pemenuhan jam belajar siswa dibuat menjadi per tahun, bukan lagi per pekan.
Akan tetapi, Hasan mengatakan meski seluruh kurikulum memilki perbedaan dan beban kompetensi yang berbeda-beda, jumlah mata pelajaran yang harus diambil siswa tetap sama.
"Materi yang satu padat, yang satu kurang, tapi jumlah mata pelajaran tetap sama. Seperti di SMP itu tetap 10 per siswa. Kalau sudah begini, ini kurikulum mana yang harus kami pilih?" kata Hasan.
Polemik selanjutnya, Hasan mengatakan Kurikulum Merdeka saat ini telah diterapkan di 2.500 sekolah penggerak. Ribuan sekolah tersebut merupakan pilihan dari Kemendikbud Ristek. Dalam proses pembelajaran menggunakan Kurikulum Merdeka, Hasan mengatakan sekolah-sekolah itu mendapatkan bantuan subsidi hingga Rp100 juta.
Dana itu digunakan sekolah untuk melatih para guru mengimplementasikan Kurikulum Merdeka hingga menyiapkan fasilitas penunjang seperti buku paket. Lalu sejak Nadiem meresmikan Kurikulum Merdeka dan membolehkan sekolah non-penggerak menggunakannya, Hasan mengatakan sekolah tersebut tidak akan mendapatkan bantuan dana yang sama.
Selanjutnya: Dana subsidi disalurkan ke 2.500 sekolah penggerak...
Ia khawatir hal ini bakal menimbulkan masalah baru karena guru tidak mendapatkan pelatihan dari ahlinya dan murid tidak menggunakan buku paket yang seharusnya. Hal tersebut, kata Hasan, dapat mempengaruhi kualitas penerapan Kurikulum Merdeka yang tidak merata di tiap sekolah.
"Pelaksanaan Kurikulum Merdeka yang dilakukan di sekolah secara mandiri dan Sekolah Penggerak, tentu saja akan berbeda semangatnya. Yang satu ada bantuan, yang satu tidak dapat," kata Hasan.
Sementara itu Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Ristek Anindito Aditomo membenarkan soal dana subsidi yang disalurkan kepada 2.500 sekolah penggerak. Namun bantuan uang itu tak cuma-cuma. Anindito mengatakan sekolah nantinya memiliki tugas lain untuk menyukseskan Kurikulum Merdeka.
"Mereka juga memiliki "tugas" tambahan sebagai pendamping bagi sekolah-sekolah lain dan menularkan praktik baik yang telah mereka kembangkan dalam program tersebut," ujar Anindito sata dihubungi Tempo.
Anindito menerangkan, program Sekolah Penggerak dibuat untuk menyiapkan guru dan sekolah yang bisa memfasilitasi perubahan bagi sekolah lain.
Soal buku paket, Anindito mengatakan Kurikulum Merdeka memang nantinya akan menggunakan buku tersendiri. Namun, buku tersebut disediakan gratis oleh pihaknya dalam bentuk digital. Buku digital itu nantinya bisa dicetak secara mandiri oleh sekolah menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
"Sebagai informasi, skema dana BOS sudah kami ubah menjadi lebih adil. Semakin terpencil lokasi sebuah sekolah, semakin besar dana BOS yang diterima," kata Anindito.
Peningkatan bantuan BOS tersebut, kata Anindito, bisa sangat signifikan hingga lebih dari 100 persen. Menurut dia, kebijakan Ini merupakan komitmen Kemendikbud Ristek untuk menyediakan menerapkan intervensi yang asimetrik, bukan intervensi yang seragam.
"Keseragaman tidak berarti keadilan. Justru keseragaman perlakuan seringkali kurang adil, karena kebutuhan tiap sekolah dan daerah berbeda," kata dia.
Lalu mengenai sikap Nadiem yang tidak langsung mewajibkan seluruh sekolah langsung menerapkan Kurikulum Merdeka, Anindito mengatakan hal ini karena pihaknya berhati-hati dan berusaha tidak terlalu disruptif di lapangan. Ia mengatakan pendekatan yang pihaknya pilih dalam penerapan Kurikulum Merdeka adalah bertahap.
"Kami ingin menjaring sekolah dan madrasah yang memiliki motivasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui penerapan Kurikulum Merdeka. Dengan demikian, uptake atau penerapan kebijakan ini terjadi secara organik. Ini akan meminimalkan disrupsi di lapangan," ujar dia.
Bagi sekolah yang berminat mengadopsi Kurikulum Merdeka, namun belum sepenuhnya siap tetap dibolehkan. Namun Anindito menyarankan untuk tidak langsung mengganti kurikulumnya, melainkan mencoba dahulu menerapkan beberapa bagian dari Kurikulum Merdeka.
Seperti misalnya menambahkan beberapa kegiatan pembelajaran berbasis proyek atau menggunakan asesmen diagnostik untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi untuk mata pelajaran tertentu.
"Pendek kata, pendekatan implementasi bertahap ini dirancang untuk memantik respon yang tepat dari ekosistem pendidikan, yaitu respon yang berorientasi pada perbaikan kualitas pembelajaran. Bukan sekadar mengganti dokumen kurikulum saja," ujar dia.
Peluncuran Kurikulum Merdeka ini sebelumnya mendapat sambutan antusias dari beberapa pihak. Seperti Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian yang menyebut Kurikulum Merdeka merupakan transformasi pembelajaran yang penting, bukan saja dalam menghadapi pendidikan pasca pandemi tapi juga untuk menghadapi situasi dunia yang terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
"Saya percaya setiap anak itu unik, oleh karena itu pendekatan yang holistik fleksibel dan fokus pada kompetensi anak adalah kunci untuk mengembangkan anak secara maksimal demi cita-cita yang ingin mereka raih,” ujar Hetifah.
Danang Hidayatullah, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia menganggap bahwa Kurikulum Merdeka merupakan bagian dari guru di sekolah. Menurutnya, guru harus bisa menyelaraskan adanya perubahan.
“Kita harus sama-sama bergerak dan menggerakkan adanya pemerataan dan penyelarasan dari perubahan ini,” tegasnya.
Senada dengan itu, Sofie Dewayani dari Litara Foundation menyampaikan untuk meningkatkan kompetensi literasi siswa diperlukan struktur kurikulum yang fleksibel dan memberikan ruang bagi guru untuk melakukan inovasi. Sehingga, kata Sofie, guru-guru dapat fokus meningkatkan atau memperbaiki strategi pembelajaran menggunakan bahan ajar yang tepat agar siswa-siswi kita meningkat kemampuan literasinya.
“Jadi saya pikir kurikulum ini merupakan satu hal yang dibutuhkan dengan kebutuhan global dalam dunia pendidikan saat ini,” kata dia.
M JULNIS FIRMANSYAH
Baca: Tak Ada Kriteria Khusus untuk Sekolah Terapkan Kurikulum Merdeka