Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Psikolog: Stigma Keperawanan Buruk buat Perempuan

Selaput dara yang robek saat berhubungan intim tidak bisa dijadikan indikasi untuk menilai keperawanan.

5 September 2018 | 09.25 WIB

Ilustrasi tes keperawanan. shutterstock.com
Perbesar
Ilustrasi tes keperawanan. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Masalah keperawanan sampai saat ini masih menjadi hal tabu dan dianggap penting, khususnya bagi perempuan yang belum menikah. Menurut psikolog Inez Kristanti, stigma tentang keperawanan memberikan dampak psikologis pada seorang wanita terlebih jika dianggap gagal menjaga diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tidak bisa dipungkiri jika budaya masyarakat Indonesia masih menitikberatkan pada keperawanan. Dan kadang-kadang itu bisa menjadi problem," ujar Inez saat ditemui di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa, 4 September 2018. "Stigma ini membuat harga diri seorang perempuan hanya diukur dari keperawanan saja."

Inez Kristanti menjelaskan, selaput dara yang robek saat berhubungan intim tidak bisa dijadikan indikasi untuk menilai keperawanan. "Ada yang sudah berkali-kali melakukan hubungan seksual tapi belum berdarah sama sekali. Jadi tidak bisa kalau mau mengecek keperawanan berdasarkan selaput dara," ucap Inez.

Ada berbagai faktor yang membuat selaput dara bisa robek atau tidak robek sama sekali. Inez Kristanti melanjutkan, setiap perempuan memiliki karakter selaput dara dengan bentuk dan elastisitas yang berbeda-beda.

Sebab itu, dia mengatakan, penting bagi perempuan maupun laki-laki untuk mengetahui fakta medis tentang organ repoduksi perempuan terutama yang masih menganut stigma keperawanan. Dengan begitu, tak perlu lagi ada anggapan atau perilaku menyudutkan terhadap waniya yang dianggap sudah tidak perawan, apapun penyebabnya.

Inez Kristandi mengingatkan, setiap orang punya kesempatan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. "Setiap orang pasti punya masa lalu. Mungkin saat itu dia memilih keputusan yang salah. Tapi, siapapun punya hak untuk memperbaiki apapun dalam hidupnya," kata Inez.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus