Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Pungutan liar yang ditarik oleh kelompok masyarakat (pokmas) di kelurahan dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Jakarta ditengarai diketahui oleh lurah setempat. Pokmas yang berisi pengurus RT dan RW tersebut dibentuk dan bertanggung jawab kepada lurah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wali Kota Jakarta Selatan Marullah Matali menduga ada kelompok masyarakat yang nekat menarik pungutan liar kepada masyarakat yang mendapatkan program sertifikat tanah gratis dari pemerintah pusat itu. "Pokmas ini berpikir bukan anak buah lurah, jadi mereka semaunya," ujarnya ketika dihubungi Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marullah tak menampik indikasi keterlibatan lurah dalam pungli sertifikat tanah. Dia mencontohkan mantan Lurah Gandaria Utara, Syamsudin Rolies, yang kini telah wafat, pernah diperiksa oleh Inspektorat DKI dalam kasus ini. Namun Marullah berpendapat bahwa pungli terjadi lantaran warga menyerahkan kepengurusan sertifikat kepada pokmas.
"Kadang ada juga warga yang enggak mau repot."
Pungli dalam program PTSL mulai terungkap setelah sejumlah warga Ibu Kota menyatakan telah dimintai uang hingga Rp 5 juta oleh kelompok masyarakat di kelurahan masing-masing. Padahal program penerbitan sertifikat tersebut gratis, kecuali biaya yang menjadi tanggung jawab pemohon sertifikat, seperti meterai, tanda batas yang dianggap perlu, kelengkapan dokumen, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, atau pajak penghasilan.
Warga RT 02 RW 05 Kelurahan Grogol Utara, Jakarta Selatan, Naneh, menyatakan dimintai uang Rp 3 juta oleh pengurus RW 05 yang juga Ketua RT 10, Mastur. Perempuan berusia 60 tahun itu dijanjikan bahwa sertifikat hak guna bangunan (HGB) rumahnya akan terbit pada Desember lalu setelah biaya itu dilunasi. Hingga Rabu pekan lalu, janji Mastur tak terpenuhi. Naneh adalah salah seorang warga penerima sertifikat dari Presiden Joko Widodo dalam acara penyerahan sertifikat pada Oktober lalu.
Joe Toan Toan, warga RT 01 RW 05, Grogol Utara, juga menjadi korban Mastur seperti halnya Naneh. Dia bersama Naneh sebagai perwakilan penerima sertifikat dari Presiden.
Uang Rp 3 juta yang diberikan kepada Mastur, menurut dia, hanya untuk fotokopi berkas dan membeli meterai. "Biaya patok saya bayar sendiri," ucap Joe.
Modus serupa ditemukan di Jakarta Timur. Pria berinisial SU menyetorkan uang Rp 5 juta agar sertifikat hak milik rumah orang tuanya di RT 05 RW 15, Pisangan Baru Timur, segera terbit. Duit itu disetorkan ke Ketua RW 15, Hamdani Anwar, melalui nomor rekening BCA 3422604xxx pada 30 Januari lalu. SU menjelaskan bahwa sertifikat telah terbit pada 8 Desember lalu, tapi dia baru menerimanya pada 4 Februari lalu.
Tempo pun mencoba mentransfer uang ke nomor rekening BCA tersebut dan ternyata keluar nama Hamdani Anwar sebagai pemilik rekening itu.
Menurut SU, uang yang dibayarkan kepada Hamdani tidak termasuk biaya lainnya yang harus dia keluarkan, seperti pengukuran tanah dan surat keterangan tidak sengketa. Padahal biaya pengukuran tanah termasuk unsur yang digratiskan oleh pemerintah. "Saya terpaksa bayar karena takut dipersulit," ujarnya.
Adapun Lusia Sri Sutanti menyetorkan Rp 3,5 juta kepada Hamdani pada September lalu untuk sertifikat rumah orang tuanya, juga di RT 05 RW 15. Perempuan 65 tahun tersebut dijanjikan sertifikat HGB itu akan rampung pada Desember lalu, tapi hingga Jumat lalu sertifikat tak kunjung diterimanya.
Mastur mengakui menerima uang yang disebutnya uang lelah yang diberikan oleh warga secara sukarela. "Kalau yang tidak mampu, tidak apa-apa tak memberi," ucapnya.
Hamdani mempunyai penjelasan sendiri. Menurut dia, uang Lusia digunakan untuk membayar jasa notaris. "Mereka kan enggak punya surat-surat." Namun dia menampik jika disebut menerima uang dari SU dan menyatakan tak merasa menerima uang itu. "Coba buktikan saja," tutur Hamdani.
Kepala Bagian Humas Kementerian Agraria, Horison Mocodompis, mengatakan Kementerian tak bertanggung jawab atas munculnya pungutan uang lelah kepada warga pemilik tanah yang sedang disertifikasi. Dia memastikan tak ada peraturan yang mengatur soal pungutan jutaan rupiah tersebut. "Uang lelah itu dasar hukumnya apa?"
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | GANGSAR PARIKESIT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo