Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MULANYA para purnawirawan itu bermarkas di lantai 17 Wisma Bakrie II, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, kantor PT Toba Sejahtra. Kini mereka berkumpul di Jalan Banyumas Nomor 5, Menteng, Jakarta Pusat. Kedua tempat dimiliki Jenderal Purnawirawan Luhut Binsar Panjaitan-jabatan terakhirnya di militer adalah Komandan Pusat Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Darat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Purnawirawan itu kebanyakan lulusan Akademi Militer 1970, seangkatan dengan Luhut. Yang bintang empat adalah Subagyo Hadisiswoyo dan Fachrul Razi. Adapun yang berpangkat letnan jenderal di antaranya Sumardi. Ada juga adik kelas mereka, seperti Letnan Jenderal Purnawirawan Suaidi Marasabessy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Wisma Bakrie, mereka menjadi pengurus perusahaan yang berafiliasi ke PT Toba Sejahtra milik Luhut. Di Menteng, mereka menjadi tim relawan penyokong pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam kampanye pemilihan presiden. Karena beralamat di Jalan Banyumas 5, mereka menamai diri "Bravo 5".
Kamis siang pekan lalu, tetamu mengalir ke markas Bravo 5. Sejak pagi, Fachrul Razi tak berhenti menerima calon relawan yang ingin menyatakan dukungan. Sesekali relawan menyela untuk meminta tanda tangan Fachrul-koordinator tim Bravo 5. "Hampir tiap hari saya pulang tengah malam," kata mantan Wakil Panglima TNI itu.
Kesibukan di Banyumas 5 dimulai ketika Jokowi dideklarasikan sebagai calon presiden pada pertengahan Maret lalu. Menurut Fachrul, sejak awal mereka memang mendukung Jokowi. Ketika Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengangsurkan Jokowi, Fachrul dan kawan-kawan terang-terangan memuji keputusan tersebut.
Fachrul dan kawan-kawan emoh mendukung calon presiden Prabowo Subianto walau sama-sama pernah berdinas di militer. "Saya tahu tabiat Prabowo sejak lama," ujar Luhut. Pada 1983, Luhut adalah Komandan Detasemen Penanggulangan Teror 81 Komando Pasukan Khusus dan Prabowo wakilnya. Pensiunan jenderal di kubu Jokowi banyak yang pernah menjadi atasan Prabowo.
Adapun Fachrul menjadi Wakil Ketua Dewan Kehormatan Perwira yang memeriksa kasus penculikan aktivis pada 1998. Di ujung pemeriksaan, Dewan Kehormatan menyatakan Prabowo bersalah karena memerintahkan anak buahnya mengambil paksa sembilan aktivis sewaktu ia menjabat Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus. Ketika dokumen Dewan Kehormatan tentang pemecatan itu beredar luas belakangan ini, Fachrul orang pertama yang mengkonfirmasi validitasnya.
Menurut Fachrul, mulanya ia enggan tampil ke publik membuka keputusan Dewan Kehormatan. "Tapi akhir-akhir ini saya melihat fakta seputar penculikan dibolak-balik," katanya. "Seakan-akan Prabowo dizalimi." Fachrul menyanggah jika disebut sebagai pembocor dokumen pemecatan Prabowo.
Berulang kali berbicara di media soal vonis Dewan Kehormatan berarti membuka front baru. Pensiunan jenderal di kubu Prabowo-Hatta Rajasa menuding Fachrul sedang memainkan isu pelanggaran hak asasi manusia. "Jenderal-jenderal tua itu takut, bila Prabowo jadi presiden, kesalahan mereka di masa lalu diungkit lagi," ujar Johanes Suryo Prabowo, mantan Kepala Staf Umum TNI.
Menurut lulusan Akademi Militer 1976 itu, sidang Dewan Kehormatan menyalahi aturan. Semestinya penyelidikan Dewan Kehormatan didahului persidangan di Mahkamah Militer. Yang terjadi, Prabowo tak pernah diajukan ke Mahkamah Militer. Dewan Kehormatan, kata dia, sekurang-kurangnya harus diisi tiga perwira berpangkat di atas Prabowo, yang waktu itu menjabat Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI dengan pangkat letnan jenderal. Di Dewan Kehormatan hanya ada seorang jenderal, yakni Subagyo Hadisiswoyo, Kepala Staf TNI Angkatan Darat, sebagai ketua.
Tuduhan Suryo menyengat Fachrul Razi. "Semestinya Prabowo berterima kasih. Fachrul Razi dulu yang pasang badan agar dia tak dibawa ke Mahkamah Militer," ujarnya (lihat "Dewan Pencabut Pangkat Prabowo"). Bila diadili di Mahkamah Militer dan terbukti bersalah, kata Fachrul, "Prabowo bisa dihukum mati."
SERANGAN balik Suryo Prabowo memang terencana. Di tim pemenangan, Suryo berperan sebagai penghalau isu yang dituduhkan kepada Prabowo. Jenderal lain yang bertugas menyiarkan kontra-opini adalah Yunus Yosfiah dan Kivlan Zen. Selain di struktur resmi, keduanya beraktivitas di Yunus Yosfiah Center, yang bermarkas di kawasan Widya Chandra, Jakarta. Lembaga ini aktif menangkis berita penculikan aktivis 1998 yang dituduhkan terhadap Prabowo.
Yunus Yosfiah pula yang menjadi penghubung sejumlah purnawirawan ke Prabowo. Pertemuan Prabowo dengan seratusan pensiunan tentara di Club House Golf Jagorawi, Bogor, pada Mei lalu terselenggara berkat Yunus. Menurut pensiunan letnan jenderal itu, acara diretas mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal Purnawirawan Cornel Simbolon. "Saya hanya meneruskan permintaan mereka," ujar Yunus kepada Tempo akhir Mei lalu.
Fachrul Razi, yang berada di kubu Jokowi, menyebut kubu Prabowo giat melobi purnawirawan untuk bergabung. Bujukan yang paling umum disampaikan utusan Prabowo kepada mereka di antaranya "sipil belum siap memimpin republik" dan "Kostrad sudah dua kali jadi presiden, sekarang giliran Kopassus". Selain Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono lama berdinas di Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Prabowo sebenarnya pernah menjabat Panglima Kostrad. Karena hanya sebentar memegang jabatan itu, ia lebih identik dengan Kopassus.
Jenderal Purnawirawan George Toisutta, wakil ketua umum tim pemenangan Prabowo-Hatta, menyatakan tak pernah mendengar ajakan seperti itu. Menurut mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat ini, ia bergabung karena diajak Hatta Rajasa. "Kebetulan saya juga berteman dengan Prabowo," ujarnya.
Walau kedua kubu sama-sama menarik dukungan, jenderal senior lebih banyak berhimpun di kubu Jokowi. Magnetnya adalah bekas Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal Purnawirawan Abdullah Mahmud Hendropriyono (alumnus Akademi Militer 1967), mantan Panglima ABRI Jenderal Wiranto (1968), dan Luhut Panjaitan (1970). Hendropriyono mengatakan memang mengumpulkan kolega seangkatannya atau yang jaraknya tak begitu jauh untuk mendukung Jokowi.
Adapun angkatan 1973 dan setelahnya mayoritas mengerubungi Prabowo. Contohnya Mayor Jenderal Purnawirawan Glenny Kairupan. Ia dan Prabowo masuk tahun 1970-seangkatan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Glenny dan Yudhoyono lulus pada 1973. Prabowo tamat pada 1974, mulur setahun karena pernah tidak naik kelas.
Prabowo menempatkan para pensiunan jenderal sebagai pemimpin tim pemenangan di daerah. Suryo Prabowo menjadi panglima di Jawa Tengah. Jawa Timur dipimpin Mayor Jenderal Purnawirawan Soewarno. Pernah menjadi komandan teritorial, mereka dianggap sudah memahami medan. Sebagian lain menjadi koordinator relawan, seperti Mayor Jenderal Purnawirawan Amir Hamka Manan di tim Merah Putih Sejati.
Total, menurut Suryo Prabowo, ada sekitar 200 purnawirawan-eks perwira tinggi dan menengah-penyokong Prabowo-Hatta. Menurut Wiranto, yang juga Ketua Umum Partai Hanura, ada 170 jenderal di belakang Jokowi berjulukan "Jenderal Daulat Rakyat".
Agus Widjojo, mantan Kepala Staf Teritorial TNI, menjelaskan fenomena di antara koleganya tersebut. Jenderal yang lebih senior, kata dia, mengetahui watak Prabowo karena pernah berinteraksi. "Yang lebih muda tak mengalami, tak mengetahui keputusan DKP," kata Agus, lulusan 1970. Walau seangkatan dengan Luhut, Agus menyatakan netral.
DI kutub Jokowi, pensiunan jenderal tak hanya bernaung di Bravo 5, meskipun, kata Luhut Panjaitan, "Mayoritas ada di tempat kami." Sehari-hari Hendropriyono memilih beraktivitas di tim relawan Kawan Jokowi. Dia juga tercantum sebagai anggota penasihat di tim kampanye resmi Jokowi. Lainnya di Tim Jenggala-kelompok pendukung Jusuf Kalla-yang dipimpin Marsekal Muda Purnawirawan Pieter Wattimena.
Memasuki masa kampanye pemilihan presiden, gesekan kedua kubu pensiunan tentara kian keras. Mereka tidak hanya saling menyindir. Pernyataan pendukung salah satu kubu bahkan sampai dilaporkan ke polisi.
Dalam sebuah diskusi dengan relawan Kawan Jokowi, Hendropriyono menyebut kejiwaan Prabowo tak stabil. Hendropriyono mengetahui hal itu dari tes prakesehatan perwira Prabowo sewaktu ia menjadi atasannya. Mendapat peluru, pendukung Prabowo mengadu ke polisi. "Padahal pertemuannya tertutup. Berarti ada penyusup," kata Hendropriyono, terbahak, Kamis pekan lalu.
Sebuah isu bisa juga dimainkan kedua kubu berbarengan. Kasus Kopral Satu Rusfandi, bintara pembina desa yang disebut mengarahkan warga untuk memilih Prabowo, memantik isu netralitas TNI. Pada saat bersamaan, Presiden Yudhoyono sampai berpidato bahwa ada yang mencoba menarik perwira aktif melompat ke perahu salah satu calon. Bahkan, kata Yudhoyono, orang itu menyebutnya "kapal yang hampir karam".
Pendukung Jokowi menuduh kubu Prabowo memainkan aparat militer sebagai mesin pendulang suara. Kubu Prabowo menangkis sekaligus menyerang balik. Mereka menuduh Hendropriyono berada di belakang isu babinsa.
Menurut Johanes Suryo Prabowo, justru pihak Jokowi yang mendekati perwira aktif. Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Budiman disebutnya pernah masuk daftar kandidat pendamping Jokowi. Menurut dia, penghubung Budiman dengan kubu PDI Perjuangan adalah Hendropriyono. "Siapa lagi kalau bukan Hendropriyono?" ujar Suryo.
Hubungan Hendropriyono dengan Brigadir Jenderal Andika Perkasa, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, juga disorot pendukung Prabowo. Andika adalah menantu Hendropriyono. Kubu Prabowo menilai keterangan Andika ketika menjelaskan kesalahan Kopral Satu Rusfandi merugikan pasangan Prabowo-Hatta.
Keterangan pers yang disiarkan Andika menyebutkan tindakan mengarahkan pilihan bukan kesengajaan. Rusfandi sedang mendata kecenderungan pilihan politik warga Gambir, Jakarta Pusat. Ketika seorang warga tak menjawab, bintara itu mengkonfirmasi dengan menunjukkan gambar pasangan Prabowo-Hatta. Menurut Andika, tindakan Rusfandi merupakan pelanggaran berat karena pemimpin Angkatan Darat tak pernah memerintahkan bawahan menyigi preferensi politik pada pemilihan umum.
Panglima TNI Moeldoko buru-buru meralat keterangan yang muncul dari Markas Besar Angkatan Darat. Menurut Moeldoko, tindakan "mengarahkan" itu tak ada. Inilah yang mencuatkan isu bahwa Panglima TNI dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat pecah kongsi. Sementara kubu Prabowo menganggap Jenderal Budiman condong ke Jokowi, kubu Jokowi mencurigai Moeldoko doyong ke Prabowo.
Bukan kebetulan juga bahwa Moeldoko dan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Madya Moekhlas Sidik bersaudara ipar. Istri Moekhlas adalah adik istri Moeldoko. Moekhlas bergabung ke Gerindra dan menjabat ketua badan pemenangan nasional partai itu. Di tim kampanye nasional Prabowo-Hatta, Moekhlas menjadi wakil ketua umum.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal M. Fuad Basya juga menjadi anggota staf pribadi Prabowo sewaktu menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Karena itu, menurut kubu Jokowi, keterangan dari Cilangkap-Markas Besar TNI-terkesan membela Prabowo. "Enggak ada hubungannya," Fuad menyanggah.
Hendropriyono mengatakan tuduhan Suryo Prabowo tak masuk akal. "Itu fitnah," ujarnya. Hubungannya dengan Andika, menantunya, terlampau dikait-kaitkan. "Ketemu saja jarang."
Jenderal Moeldoko mengatakan keberadaan Moekhlas di tim Prabowo tak mempengaruhi sikapnya. "Setiap ketemu, selalu urusan keluarga. Tak ada pembicaraan politik," katanya. Menurut Moeldoko, ia sudah lama tak bertemu dengan Moekhlas. Adapun Moekhlas ketika dihubungi berkata, "Sedang rapat." Dihubungi lagi berulang kali, ia tak kunjung menyahut.
Moeldoko pun menyanggah kabar bahwa hubungannya dengan Budiman merenggang. "Kami tetap solid," ujarnya. "Kemarin rapat bareng, tak ada masalah."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Muhammad Muhyiddin dan Agustina Widiarsi berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Medan Kedua Purnawirawan"