Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOPI hitam dan kue muffin menemani obrolan Frank Feulner dan Johan Kieft pada Kamis pagi pekan lalu. Frank sempat melirik jam di telepon seluler miliknya, yang saat itu menunjuk angka 10.10. Warga negara Jerman ini sudah berada di Indonesia sejak 1997 dan bekerja sebagai konsultan di sebuah lembaga internasional. Sedangkan Johan bekerja sebagai Koordinator Unit Ekonomi Hijau Perserikatan Bangsa-Bangsa di Indonesia. Kedua sahabat lama itu berbagi cerita tentang pengalaman liburan akhir tahun bersama keluarga masing-masing.
Sambil mengobrol, Frank sesekali melemparkan pandangan ke berbagai sudut gerai kopi Starbucks di Menara Cakrawala, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, tempat ia dan Johan bertemu. Ia memperkirakan ada 12 pengunjung yang sedang ngopi, menyebar di sofa dan bangku di berbagai sudut gerai. Salah satunya Manfred Stoifl, kenalannya, yang duduk di dekat meja pemesanan. "Kami duduk di sofa, bersebelahan dengan dinding kaca yang menghadap ke Jalan Thamrin," katanya kepada Tempo, Kamis malam pekan lalu.
Tujuh pria yang berada di sisi kiri meja barista yang mengarah ke pintu toilet mencuri perhatiannya. Mereka berdiri mengitari meja yang lebih tinggi daripada meja lain di gerai itu. Frank sempat membatin, pengunjung biasanya selalu mencari sofa yang nyaman untuk mengobrol, bukan malah berdiri. Hampir semuanya berbaju hitam. Salah seorang berperawakan kurus dan lebih tinggi dibanding yang lain. "Wajah mereka terlihat sangat serius," ujar pria 48 tahun itu.
Frank kembali mengobrol dengan Johan. Sekitar pukul 10.30, tujuh pria itu keluar bersamaan. Sepuluh menit kemudian, bum! Frank dan Johan ambruk. Hening. Kepulan asap putih mengepung mereka. Kaca berserakan di mana-mana. Johan terbaring di depannya.
Dalam hitungan detik, Frank kemudian bangkit dan melompati dinding kaca Starbucks yang sudah pecah. Ia meninggalkan Johan karena tak kuat membopong badan temannya itu, yang lebih bongsor. Lengan bajunya sempat terbakar dan ada paku yang nyaris menancap di tubuhnya. Ia berlari menuju Djakarta Theater, ke arah Sabang. Saat itu, kembali ia mendengar suara dentuman di belakangnya. Kali itu suaranya terdengar lebih kencang.
Maulana Chatib melompat karena kaget mendengar suara ledakan di dekatnya. Pria asal Pekanbaru itu tengah sendirian berjalan kaki dari Hotel Fave di Jalan Wahid Hasyim menuju jembatan penyeberangan halte busway Sarinah. Ledakan itu berasal dari pos polisi lalu lintas di perempatan Jalan M.H. Thamrin dan Wahid Hasyim, yang hanya berjarak 20 meter dari tempatnya.
Ia masih ingat betul, ledakan itu terdengar setelah lampu merah di Jalan Wahid Hasyim berubah jadi hijau. Namun ia baru sadar ada ledakan bom beberapa menit sesudahnya. "Rencana saya mau naik busway pertama kali dalam hidup saya langsung buyar karena ledakan itu," ujarnya kepada Tempo, tiga jam setelah ledakan.
Meski suasana jalan saat itu sedang tak ramai, puluhan orang segera berkumpul mendekati pos polisi. Tiga mayat tergeletak bersimbah darah dan nyaris hangus. Asap mengepul masih terlihat di salah satu mayat. Polisi yang berjaga di Bundaran Hotel Indonesia, Patung Kuda Kencana, dan Mahkamah Konstitusi segera berdatangan. Juga dua fotografer Tempo, Aditia Noviansyah dan Subekti, yang tengah kongko di Bundaran HI. Keduanya berpencar. Subekti mendekati ketiga jenazah, sementara Aditia naik ke jembatan penyeberangan halte Sarinah, yang berjarak sekitar 80 meter dari pos polisi itu.
Raiskarna, 37 tahun, yang berada di gedung Bangkok Bank, Jalan Kebon Sirih, turut mendengar suara ledakan. Masih mengenakan seragam office boy, ia bersama dua rekannya berlari ke arah pos polisi. Mereka bergabung dengan puluhan orang lain yang mengerubungi ketiga jenazah yang tergeletak di jalur Transjakarta rute Kota-Blok M itu.
Subekti, yang terlihat dari hasil jepretan kamera Aditia, berada hanya satu meter di sebelah Raiskarna. Dari hasil foto itu diketahui pada pukul 10.50 terlihat ada dua pria bertopi berdiri di belakang kerumunan penonton dan polisi.
Tiga menit kemudian, Subekti mendengar suara dua letusan senjata api. Ia melihat seorang pria bertubuh tinggi berseragam biru ambruk dengan luka di pelipis kiri. Belakangan diketahui pria itu adalah Raiskarna, yang sempat disangka sebagai wartawan televisi karena kemiripan seragamnya. "Saat berkali-kali terdengar suara tembakan itulah masyarakat di sana baru sadar telah terjadi aksi terorisme," kata Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Muhammad Iqbal.
Semua orang berhamburan ke segala arah, mencari perlindungan dari pistol yang menyalak berkali-kali. Rahmad, adik Raiskarna yang juga berada di lokasi kejadian, ikut bersembunyi. Ia hanya bisa melihat kakaknya dari kejauhan terbaring bersimbah darah. "Saya tak berani mendekati tubuh Kakak karena masih ada tembakan," ujar Rahmad ketika menjaga Raiskarna, yang hingga Jumat pekan lalu dalam kondisi kritis dan dirawat di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta Pusat.
Kedua pria bertopi bergerak ke pepohonan di depan Starbucks. Sambil menembaki polisi dari kejauhan, mereka melemparkan bom ke arah mobil dan polisi. Kepala Kepolisian Sektor Menteng Ajun Komisaris Dedi Tabrani, yang juga tiba setelah mendengar ledakan, ikut membalas tembakan. "Keduanya menembak acak ke segala arah," ujar Dedi.
Di tengah baku tembak, dua pelaku itu berkali-kali melemparkan bom ke arah penyerbu mereka. Menurut versi polisi, pelaku sempat menyandera seorang korban saat terkepung di depan Starbucks. Perlawanan berakhir setelah bom yang berada di ransel dua pria bertopi itu meledak, lalu membunuh keduanya. "Bom itu diperkirakan hendak dilempar, tapi telanjur meledak," kata Iqbal.
Polisi mengumumkan 24 orang terluka akibat aksi itu. Sedangkan lima pelakunya tewas di tempat. Dua pelaku tewas di pos polisi. Mereka diperkirakan meledakkan pos polisi menggunakan bom yang dibungkus tabung gas melon, dengan pemicu dari bola lampu yang tenaganya disuplai aki sepeda motor. Bom di depan Starbucks dan yang dilemparkan pelaku adalah bom rakitan yang dibungkus pipa besi yang berisi paku dan mur. "Kategorinya low explosive," ujar Iqbal. Polisi tak mengumumkan bahan bom itu dengan alasan keamanan.
Seorang mantan terpidana teroris yang dulu turut merakit bom, Kurnia Widodo, membenarkan bom di Sarinah masih berkategori low explosive. Ia bahkan sudah menebak bom tersebut menggunakan aki sebelum Iqbal mengumumkannya kepada wartawan pada Jumat malam pekan lalu. Ia juga memastikan bom rakitan itu menggunakan bahan baku urea.
Kesimpulan itu ia tarik setelah melihat rekaman video pengeboman yang beredar di media sosial. Granat produk pabrik yang digunakan tentara menghasilkan asap yang berwarna hitam. "Kalau bom berbahan baku urea itu asapnya putih mengepul," kata pria yang mengaku sudah bertobat ini.
Mustafa Silalahi, Mardiyah Chamim, Avit Hidayat, Maya Ayu, yohanes paskalis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo