Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekan lalu, Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto, putra bungsu mantan presiden Soeharto, mendapat remisi 9 bulan 20 hari. Dengan hadiah pemotongan masa tahanan itu, Tommy diperkirakan akan meninggalkan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batu, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pada 2007.
Tommy hanyalah satu dari 186 orang tahanan di LP Batu yang mendapatkan remisi. Saat ini semuanya ada 216 narapidana di LP Batu—20 di antaranya tak mendapat remisi. Mereka yang tidak mendapatkan remisi, antara lain, enam orang yang divonis hukuman mati dan 10 orang hukuman seumur hidup. ”Yang lainnya menunggu putusan dan ada tahanan GAM yang akan mendapatkan amnesti,” kata Kepala LP Batu, Sudijanto. Remisi napi di LP Batu diberikan bersamaan dengan peringatan Hari Kemerdekaaan RI ke-60, Rabu pekan lalu.
Perusahaan Malaysia Pembakar Lahan
Penyebab polusi asap akibat pembakaran hutan kini terkuak. Biang keladi pembakaran itu adalah 10 perusahaan perkebunan yang ada di Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan Riau. Delapan dari 10 perusahaan itu milik pemodal dari Malaysia.
Fakta itu diungkap Menteri Kehutanan M.S. Kaban setelah menghadap Presiden Susilo Bambang Yudoyono di Istana Negara, pekan lalu. Menurut Kaban, kabut asap yang mengepung sebagian wilayah Malaysia dan Indonesia itu akibat pembakaran hutan yang dilakukan pengusaha untuk membuka lahan perkebunan.
Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup, sudah menginventarisasi perusahaan-perusahaan penyebab kebakaran itu. Kedelapan perusahaan penanaman modal asing (PMA) asal Malaysia itu adalah PT Tunggal Mitra Plantation, PT Langgam Inti Hibrida, PT Udaya Lohjinawi, PT Adli Plantation, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Multi Gambut Industri, PT Bumi Reksa Nusa Sejati, dan PT Mustika Agro Sari.
Kaban menyatakan, mereka telah melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Bukan hanya itu, mereka juga dianggap melanggar undang-undang negara Malaysia—”Alias satu kegiatan (membakar lahan) tapi terkena dua langkah hukum”, kata Kaban.
Belanda Menyatakan Penyesalan
Pemerintah Belanda secara resmi mengakui tanggal 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Pengakuan tersebut dinyatakan dalam bentuk kehadiran Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Rudolf Bot, dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-60 di Istana Negara, Rabu pekan lalu. Selain mengakui kemerdekaan RI, Belanda juga menyatakan penyesalan akibat kolonialisme yang mereka lakukan. ”Atas nama pemerintah Belanda, saya menyatakan penyesalan terjadinya semua penderitaan ini,” kata Bot
Bot mengatakan, pengakuan Belanda baru bisa diberikan tahun ini karena sengitnya pro-kontra yang juga berkembang di Negeri Kincir Angin itu. ”Di dalam negeri kami sendiri terjadi perdebatan panjang antara para veteran perang dan kaum muda,” kata Bot.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda yakin pernyataan penyesalan pemerintah Belanda tersebut diterima masyarakat Indonesia. Menurut dia, bangsa Indonesia bukan pendendam. ”Dengan pernyataan tersebut, kita merasa ringan untuk menjalin hubungan bilateral yang lebih positif,” kata Wirajuda. Karena itu, kata dia, pemerintah tidak akan meminta kompensasi kepada Belanda. Namun, bagi Anhar Gonggong, penyesalan itu dia nilai sangat terlambat. ”Seharusnya penyesalan tersebut juga disertai permintaan maaf,” kata sejarawan dari Universitas Indonesia itu.
Tim Khusus untuk Kasus Udin
”Utang” itu tampaknya akan dilunasi Kepolisian Daerah Yogyakarta. Pekan lalu, kepolisian setempat kembali membentuk tim khusus guna mengungkap kasus terbunuhnya wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Sejak ditemukan tewas pada 16 Agustus 1996, misteri pembunuhan itu memang belum juga terungkap hingga kini.
”Anggota tim khusus ini adalah penyidik-penyidik yang semuanya baru,” kata Kapolda Yogyakarta, Brigjen Bambang Aris Sampurno Djati, Kamis pekan lalu. Dia berharap timnya dapat bekerja sama dengan tim pencari fakta bentukan organisasi wartawan setempat. Bambang berjanji semua temuan baru akan diperhatikan dan ditindaklanjuti.
Dalam kasus ini, polisi sempat menjadikan Dwi Sumaji alias Iwik sebagai tersangka. Namun, dalam persidangan Iwik dibebaskan karena tidak ada bukti yang menguatkan.
Berkaitan dengan kasus yang sama pula, Pengadilan Militer sudah mengganjar Ajun Inspektur Polisi Tingkat Dua Edy Wuryanto dengan hukuman 10 bulan penjara. Edy dinilai bersalah karena menghilangkan barang bukti, yakni melarung sampel darah dan mengambil buku catatan milik Udin.
Bambang menegaskan bahwa kasus ini belum ditutup. ”Saya tidak tahu kesulitan apa yang dihadapi pendahulu saya dalam mengungkap kasus ini,” kata dia.
Campak Tewaskan Empat Balita
Dalam beberapa pekan terakhir, campak, penyakit yang antara lain ditandai dengan bintik merah dan panas tinggi itu, mewabah di Kabupaten Sumba, Nusa Tenggara Timur. Wabah itu menelan korban empat balita meninggal dunia dan 116 orang mesti dirawat. Keempat balita itu adalah Daniel Ndara Magu (Desa Mangganipi), Wara Deghu (Desa Mangganipi), Kodi Kabura (Desa Bukembero), dan Hona (Desa Bukembero).
Kepada Jem’s de Fortuna dari Tempo, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba, Marthen Caley, menuturkan bahwa empat balita yang meninggal itu ada kemungkinan mengalami komplikasi campak, pneumonia (sesak napas), dan diare.
Melihat skalanya yang kian meluas, pemerintah setempat akhirnya menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) sejak 11 Agustus. Menurut Caley, semuanya ada sembilan lokasi yang rawan campak, yakni Desa Kori, Homba Karipit, Wailabubur, Mangganipi, Bukembero, Billa Cenge, Waiholo, Noha, Kelembu Kahadan Hoha Wungo. Agar tak terus meluas, Dinas Kesehatan telah menurunkan tim medis ke tempat-tempat itu. Penyakit ini pernah menyerang Kabupaten Sumba Barat pada 1992. Di Kabupaten Alor, campak telah merenggut nyawa 26 balita pada pertengahan 2004.
Ratusan Mahasiswa ITB Drop Out
Karena memiliki nilai akademik sangat rendah, hampir 200 mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) dinyakan drop out (DO), pekan lalu. ”Indeks Prestasi Kumulatif mereka tidak memenuhi syarat,” ujar Wakil Rektor Senior Bidang Akademik ITB, Adang Surahman.
Menurut Adang, sikap tegas mengeluarkan mahasiswa ITB itu juga dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Jumlah mahasiswa yang dikeluarkan dari ITB tahun lalu mencapai 200. Menurut Adang, mahasiswa yang DO tidak bisa beradaptasi dengan sistem pendidikan di ITB. Dia membantah jika besarnya angka itu disebabkan oleh perubahan status ITB menjadi badan hukum milik negara. ”Justru setelah berubah status, kualitas ITB lebih baik.”
Kebijakan mengeluarkan mahasiswa itu dinilai berlebihan. Rabu pekan lalu, misalnya, ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa ITB menggelar aksi keprihatinan. Mereka menilai banyaknya mahasiswa ITB yang DO itu adalah akibat sistim pendidikan dan pengajaran yang buruk.
Draf Ekstradisi Indonesia-Singapura
Perundingan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura sudah melangkah lebih maju. Kedua negara sepakat untuk menggabungkan dua draf yang sebelumnya diusulkan masing-masing pihak. ”Yang akan kita bahas nanti tinggal satu draf kombinasi,” kata Duta Besar RI untuk Singapura, M. Slamet Hidayat, Kamis pekan lalu.
Rencana penggabungan itu muncul dalam pembahasan yang digelar pada 15-16 Agustus lalu di Singapura. Selanjutnya, perundingan akan dilakukan secara maraton setiap dua minggu. Pada dua minggu pertama akan dilakukan di Jakarta, dan dua minggu berikutnya di Singapura.
Pembicaraan masalah ekstradisi ini berawal dari pertemuan antara Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Jakarta tahun lalu. Kedua negara sepakat meningkatkan hubungan bilateral sekaligus menyelesaikan masalah-masalah penting yang ada, termasuk penyusunan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo