Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Rentetan Berat Beban KAI hingga APBN Akibat Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Laporan BPK mengungkapkan bahwa Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung berpotensi membebani keuangan PT KAI. Bahkan disebut merembet hingga ke APBN.

28 Juni 2023 | 19.49 WIB

Electronic multiple unit CIT 2201 atau kereta cepat inspeksi memasuki stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat,  saat uji coba dari Tegalluar sampai Stasiun Halim Jakarta, pada Senin, 22 Mei 2023. Dalam uji coba kereta ini membutuhkan sekitar 80 menit untuk sekali perjalanan dari Tegalluar sampai Halim. TEMPO/Prima mulia
Perbesar
Electronic multiple unit CIT 2201 atau kereta cepat inspeksi memasuki stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, saat uji coba dari Tegalluar sampai Stasiun Halim Jakarta, pada Senin, 22 Mei 2023. Dalam uji coba kereta ini membutuhkan sekitar 80 menit untuk sekali perjalanan dari Tegalluar sampai Halim. TEMPO/Prima mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) berpotensi membebani keuangan PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau PT KAI—pimpinan konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di proyek tersebut. Potensi itu muncul dalam laporan pemeriksaan atas sistem pengendalian internal dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan pemerintah pusat tahun 2022 yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

BPK menemukan potensi kerugian dan pelanggaran aturan dalam proyek yang dilaksanakan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) itu. Keduanya berkaitan dengan pembengkakan biaya alias cost overrun yang melilit proyek sepur dengan kecepatan 350 kilometer per jam itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam dokumen lembaga auditor negara tersebut, Indonesia dan Cina disebut menyepakati nilai cost overrun proyek KCJB sebesar US$ 1,205 miliar. Namun, dari nilai tersebut, Indonesia harus menanggung pembengkakan biaya senilai US$ 723,58 miliar, atau setara dengan Rp 10,8 triliun. Sebagian besar pembengkakan biaya itu akan ditalangi oleh utang dari China Development Bank (CDB) dengan porsi 75 persen senilai US$ 542,68 juta.

Sisanya, sebesar US$ 180,89 juta atau 25 persen bersumber dari ekuitas atau modal yang harus disetor BUMN anggota konsorsium proyek. Sebagian di antaranya dipenuhi melalui penyertaan modal negara (PMN) kepada PT KAI pada tahun 2022 senilai Rp 3,2 triliun. “Sementara, pendanaan yang berasal dari porsi pinjaman akan dipenuhi melalui pinjaman yang dilakukan oleh pimpinan konsorsium,” tulis laporan BPK dikutip Rabu, 28 Juni 2023.

Hal tersebut sesuai Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang mengatur bahwa pinjaman untuk menambah modal untuk memenuhi kewajiban akibat kenaikan atau perubahan biaya KCJB harus ditanggung PT KAI. Hal itu juga berlaku jika ada kewajiban perusahaan patungan yang tidak dapat sepenuhnya dipenuhi dengan penyertaan modal negara.

Notulensi rapat Komite KCJB pada 3 dan 8 Februari 2023 juga mengungkap skema penjaminan PT KAI dan update progres KCJB. Di dalamnya juga tercatat bahwa sehubungan pendanaan cost overrun, CDB meminta struktur penjaminan bukan berupa Surat Jaminan Kelayakan Usaha (SJKU). “Tetapi dalam bentuk penjaminan kredit untuk pinjaman yang diterima maupun global bond yang diterbitkan.”

Apabila menggunakan penjaminan kredit, maka CDB akan menerima penjaminan langsung dari pemerintah terkait pinjaman yang akan diberikan. Lebih lanjut, notulensi rapat Komite KCJB 28 Maret 2023, mencatat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) sebagai penjami dan first loss absorption, bahkan sudah diakui secara internasional.

Di rapat yang sama, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan agar skema penjaminan melalui PT PII dapat disampaikan ke pihak CDB. “Apabila CDB tetap menginginkan penjaminan langsung pemerintah, maka Indonesia perlu memikirkan alternatif pendanaan misal melakukan negosiasi dengan Himpunan Bank Milik Negara,” tertulis dalam notulensi.

Sehingga, utang dari CBD akan diteruspinjamkan oleh PT KAI kepada KCIC untuk membiayai cost overrun. Namun, BPK menyebutkan Kementerian Keuangan belum menjelaskan lebih lanjut skema penerusan pinjaman ke KCIC. Selain itu, PT KAI berpotensi menanggung pembayaran pokok dan bunga pinjaman apabila KCIC tidak dapat membayar pokok dan bunga Shareholder Loan.

Manager Corporate Communication KCIC Emir Monti menjelaskan bahwa selisih biaya cost overrun yang tidak disepakati dengan Cina sifatnya merupakan biaya pajak. Dengna begitu, hal tersebut bisa dianggap sebagai biaya operasional.

Selanjutnya: Adapun soal pinjaman untuk pendanaan ...

Adapun soal pinjaman untuk pendanaan cost overrun, Emir mengatakan perusahaan akan mengikuti kebijakan yang ditetapkan. “Bisa ditanyakan di PT KAI,” tutur Emir.

Penyelesaian cost overrun belum jelas

BPK juga menyebutkan bahwa pemerintah belum menetapkan skema komponen cost overrun proyek kereta cepat di luar hasil kesepakatan dengan Cina. Dalam perjalanannya, ada peningkatan cost overrun yang harus dipenuhi. Komite KCJB pada 2022 menetapkan pembengkakan biaya yang timbul dalam proyek KCJB sebesar US$ 1,449 miliar berdasarkan hasil review Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 

Namu, Indonesia dan Cina menyepakati nilai cost overrun proyek sebesar US$ 1,205 miliar. Artinya, angka itu lebih kecil US$ 243,64 juta dari yang diajukan oleh pihak Indonesia dengan selisih nilai cost overrun mencapai US$ 212,407 juta. Rinciannya, terdiri atas biaya eksposur pajak pembebasan lahan US$ 157,047 juta, dan Global System Mobile-Railway (GSM-R) occupation sebesar US$ 8,98 juta.

Hasil review BPKP menyatakan selisih nilai tersebut merupakan biaya modal sehingga menambah nilai cost overrun. Namun, hasil kesepakatan dengan Cina menyatakan biaya tersebut dianggap sebagai ongkos operasi sehingga dikeluarkan dari perhitungan nilai cost overrun

Hal yang termasuk dalam selisih nilai tersebut adalah pekerjaan rekayasa, pengadaan, dan konstruksi jalan akses senilai US$ 28,24 juta untuk pekerjaan akses Kalimalang dan akses Stasiiun Karawang. Ada pula biaya akuisisi lahan dan kompensasi sebesar US$ 18,138 juta, untuk pembuatan akses jalan di Karawang, Tegalluar, dan Padalarang.

Tempo berupaya meminta konfirmasi laporan BPK tersebut kepada juru bicara Kementerian Keuangan, Deni Surjamntoro; Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo; Deputi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto; juru bicara PT KAI, Joni Martinus; dan Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo. Namun, hingga berita ini ditayangkan, mereka tidak merespons pertanyakan yang dilayangkan.

Upaya Sri Mulyani dan rekomendasi BPK

Dalam laporan BPK juga disebutkan bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah berkonsultasi dengan Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu. Ia juga akan menyiapkan skema pengadaan lahan menjadi sewa sepanjang periode konsesi. Sehingga, dampak pajaknya dapat disebar hingga akhir masa konsesi dan dianggap sebagai biaya operasional. Demikian juga biaya GSM-R senilai US$ 8,98 juta, yang akan diubah menjadi biaya tahunan.

Sedangkan biaya senilai US$ 46,38 juta untuk pembuatan jalan akses. Sebesar US$ 23,7 juta di antaranya untuk pembuatan jalan akses Kalimalang, misalnya, akan dikerjakan dan didanai oleh Kementerian PUPR. Sedangkan untuk akses Stasiun Karawang sebesar US$ 4,6 juta, rencananya akan dikerjakan oleh pihak Kawasan Delta Mas dan Kawasan Industri Trans Heksa Karawang. 

Sementara, guna pemenuhan pendanaan kebutuhan cost overrun, PT KAI akan mengambil pinjaman yang mendapat jaminan Pemerintah melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI) yang ditunjuk. Dana hasil pinjaman itu selanjutnya akan diteruspinjamkan oleh PT KAI kepada KCIC sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan cost overrun proyek KCJB. 

Dengan demikian, PT PSBI yang merupakan konsorsium Indonesia tidak menanggung beban pinjaman, baik pokok maupun bunganya. “Karena pinjaman tersebut dilakukan langsung oleh PT KAI yang mendapat fasilitas penjaminan dari Pemerintah melalui BUPI,” kata Sri Mulyani dalam catatan BPK.

Selanjutnya: Soal itu, BPK merekomendasikan beberapa hal...

Soal itu, BPK merekomendasikan beberapa hal kepada Menteri Keuangan. Pertama, berkoordinasi dengan pihak terkait untuk menetapkan penyelesaian jenis pekerjaan pada cost overrun yang tidak disepakati Cina. Lalu, menetapkan upaya-upaya strategis dalam rangka pendanaan melalui skema pinjaman yang paling menguntungkan.

Selain itu, Sri Mulyani juga diminta memerintahkan Direktur Utama PT KAI (Persero) untuk menyusun strategi pemenuhan pendanaan cost overrun porsi nonekuitas. “Melalui pinjaman dan mitigasi risikonya secara memadai, dengan mempertimbangkan upaya-upaya strategis yang ditetapkan oleh Komite KCJB,” tulis BPK.

Tak hanya itu, bendahara negara tersebut juga diminta melakukan mitigasi risiko atas dampak pemenuhan kebutuhan pendanaan cost overrun melalui pinjaman yang dilakukan oleh PT KAI selaku Pimpinan Konsorsium. Caranya bisa dengan menetapkan skema penjaminan yang paling menguntungkan. 

Merembet jadi beban APBN

Ekonom, yang juga Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, menilai proyek kereta cepat dalam jangka panjang bakal sangat sulit menghasilkan keuntungan. Bahkan, menurut dia, proyek tersebut berpotensi menjadi beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di masa mendatang.

Dalam hitungan yang sangat optimistis pun, menurut Yusuf, KCIC baru bisa balik modal di atas 40 tahun. Itu pun dengan hitungan target penumpang 30 ribu per hari dengan tarif 350 ribu per penumpang. Jika gagal, maka masalah pengembalian modal KCIC bisa lebih lama lagi dan hal itu sangat mungkin terjadi.

“Tidak heran bila KCIC meminta perpanjangan masa konsesi KCJB dari 50 tahun menjadi 80 tahun,” tutur dia saat dihubungi.

Di sisi lain, jika jumlah penumpang diproyeksikan meningkat, maka tarif kereta sepur itu pun harus diturunkan. Namun, konsekuensinya, pendapatan KCIC bakal semakin rendah, padahal perusahaan harus membayar cicilan utang plus bunganya kepada pihak Cina.

Walhasil, Yusuf memperkirakan, harus ada subsidi tarif tiket yang besar untuk bisa menarik penumpang menggunakan moda transportasi tersebut. Caranya, lewat APBN.

“Sebagaimana rekomendasi Kemenhub bahwa tiket yang masih menarik adalah Rp 250 ribu per penumpang. Juga kemungkinan beban PMN ketika KCIC gagal bayar,” kata Yusuf.

Sejak awal, Yusuf sudah mengingatkan dengan biaya yang mahal dan daya angkut terbatas, KCJB akan tidak efektif sebagai transportasi massal. Proyek itu juga hanya akan menjadi beban APBN sebagaimana Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta dan Light Rail Transit (LRT) Jabodebek. Baik MRT dan LRT merupakan transportasi publik yang mahal dengan daya angkut terbatas.

Selanjutnya: Ia mencontohkan, subsidi tiket MRT dan LRT oleh...

 

Ia mencontohkan, subsidi tiket MRT dan LRT oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencapai Rp 1 triliun per tahun. Padahal penumpang MRT hanya di kisaran 70 ribu orang per hari, sedangkan LRT hanya di kisaran 2 ribu orang per hari. 

Bandingkan dengan subsidi tiket ke PT KAI, baik kereta jarak pendek, kereta jarak jauh, kereta rel diesel (KRD) maupun kereta rel listrik (KRL) di Jabodetabek dan Yogyakarta. “Di mana penumpang KRL Jabodetabek saja mencapai 1,2 juta orang per hari,” ucap Yusuf.

Adapun guru besar transportasi dari Universitas Indonesia, Sutanto Soehodho, menilai temuan BPK itu benar-benar akan menambah beban PT KAI. Karena, tanpa beban tambahan dari proyek kereta cepat pun, perusahaan pelat merah itu sudah memiliki kinerja yang kurang baik dan tetap membutuhkan subsidi. “Lebih berat lagi karena demand atas KCIC masih belum jelas sehingga revenue juga belum jelas,” kata dia.

Agar keuangan PT KAI kuat, Sutanto menyarankan untuk mencari pendapatan horisontal yang bisa diperoleh melalui iklan, pengembangan kawasan, dan produk lainnya. Dengan situasi permintaan yang belum jelas, ditambah lagi potensi kawasan berorientasi transit di stasiun-stasiun kereta cepat juga belum dielaborasi.

“Terbayang di awal operasi KCIC akan membuat buku keuangan PT KAI bleeding. Sehingga tidak ada jalan lain kecuali suntikan dana dari pemerintah, mengingat biaya operasi dan perawatan kereta cepat juga tinggi,” ujar Sutanto.

Belum selesai Jakarta-Bandung, didorong ke Surabaya

Belum selesai proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, pemerintah mulai koar-koar soal rute yang direncakan akan berlanjut hingga Surabaya. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Pekan lalu, Luhut, bersama Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan beberapa pejabat lainnya menjajal sepur kilat itu.

Luhut mengatakan dirinya akan melapor ke Presiden Joko Widodo alias Jokowi setelah menjajal KCJB dan membahas soal perpanjangan rute ke Surabaya. "Nanti akan kami laporkan ke presiden, preliminary study untuk Bandung sampai ke Surabaya,” ujar dia.

Luhut yang juga memimpin Komite KCJB mengatakan bahwa proyek kereta cepat ini mendatangkan banyak penghematan yang dilakukan. Karena adanya hilirisasi membuat banyak material yang tidak perlu impor dan hanya berasal dari dalam negeri.

“Saya kira ini akan membuat terobosan-terobosan baru di republik ini. Jadi membuat kita bisa nanti mengikuti Cina juga dari belakang, karena mereka sudah jauh lebih maju dari kita. Tapi mereka ingin share juga teknologinya pada kita,” ucap Luhut.

Menanggapi soal rencana perpanjangan jalur sepur kilat, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menuturkan, hal itu harus benar-benar dipikirkan skemanya. Dia meminta agar tidak seperti proyek KCJB. “Nanti akan berdampak juga pada pembengkakan biaya,” tuturnya.

Selanjutnya: Pasalnya, kata dia, bunga utang yang ditanggung ...

Pasalnya, kata dia, bunga utang yang ditanggung cukup mahal yang pada akhirnya hanya akan menambah beban ke konsorsium, pihak yang menanggung bunga utang tinggi tersebut. “Jadi harus dilakukan perencanaan kalau ingin memanjangkan sampai ke Surabaya,” ujar Bhima.

Ketua Bidang Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana juga menanggapi rencana kereta cepat berlanjut ke Surabaya. “Jakarta-Bandung saja berdarah-darah. Bagaimana kalau nanti mau diperpanjang sampai Surabaya? Pasti jauh lebih berdarah-darah,” ujar Aditya.

Menurut Aditya, yang utamanya perlu diperhitungkan adalah kemampuan Indonesia dalam membangun kereta cepat hingga ke Surabaya. Mulai dari permintaan, kebutuhan, kondisi ekonomi makronya, produk domestik bruto (PDB), pergerakan mobilitas masyarakatnya, tata ruangnya, hingga komposisi modelnya seperti apa.

Selain itu, kata dia, pemerintah juga saat ini gencar membangun jalan tol hingga bandara kecil di wilayah Jawa. Jika nanti membangun juga kereta cepat ke Surabaya, Aditya mempertanyakan soal optimalisasi penggunaan sepur kilat itu.

“Pemikirannya harus cermat dan panjang. Untuk rute Jakarta-Bandung sebetulnya tidak efektif kalau melayani hanya di daerah itu karena hanya berjarak 142 kilometer,” tutur Aditya. “Pertanyaannya kenapa? Karena satu kecepatan maksimal itu sulit ditempuh karena kalau itu harus berhenti di beberapa stasiun.”

Selain itu, jika hanya Jakarta-Bandung efek terhadap memunculkan wilayah pertumbuhan ekonomi baru hanya mengikuti seberapa jarak jalurnya. Sebetulnya, kata Aditya, kereta cepat yang kompetitif itu dengan jarak perjalanan 200-800 kilometer.

Menurut dia, jika jarak kereta cepat di bawah 200 kilometer, masih harus bersaing dengan kendaraan transportasi darat berbasis jalan tol. Sementara, jika jaraknya di atas 800 kilometer, akan kalah bersaing dengan moda transportasi udara, pesawat.

MOH KHORY ALFARIZI | CAESAR AKBAR

M. Khory Alfarizi

Alumnus Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Bergabung di Tempo pada 2018 setelah mengikuti Kursus Jurnalis Intensif di Tempo Institute. Meliput berbagai isu, mulai dari teknologi, sains, olahraga, politik hingga ekonomi. Kini fokus pada isu hukum dan kriminalitas.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus