Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Resah Penggarap di Bekas Lahan Perkebunan

Penggarap merasa memiliki hak untuk menduduki lahan karena setiap tahun menerima tagihan pajak atas lahan yang mereka kelola.

4 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • PT Perkebunan Nusantara VIII mensomasi 250 orang yang disebut menyerobot lahan mereka di Megamendung, Kabupaten Bogor.

  • Warga penggarap lahan PT Perkebunan Nusantara menyatakan HGU perusahaan itu habis pada 1997-1998.

  • Tanah kebun tersebut telah berubah wujud menjadi permukiman.

BOGOR – Hujan baru saja reda di Sukaresmi, Megamendung, Kabupaten Bogor, kemarin siang. Munir, 56 tahun, bergegas meninggalkan ladang karena khawatir hujan akan turun lagi. Dalam perjalanan pulang, ia berpapasan dengan enam lelaki yang tidak dikenal. Pria-pria itu datang menggunakan mobil berpelat nomor polisi Bandung. Satu di antaranya menyapa Munir, lalu mengajaknya berbincang-bincang di sebuah saung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Orang-orang itu kemudian memperkenalkan diri sebagai polisi dari Kepolisian Daerah Jawa Barat. “Mereka bilang mau ngobrol saja dengan saya,” kata Munir. Ia melihat ada satu polisi yang merekam semua percakapan di saung tersebut. “Yang ditanyakan itu seputar pekerjaan saya dan status tanah yang saya garap.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Munir menjelaskan, lahan yang ia garap itu merupakan milik orang Jakarta, sehingga dia tidak memiliki surat-surat kepemilikan tanah. Dia hanya memegang surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT). “Soalnya saya dulu (setiap tahun) selalu diminta bayar pajak,” katanya. “Dari zaman Pak Harto (Presiden Soeharto) sampai Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono).”

Saat itu jumlah tagihan pajak hanya sekitar Rp 1 juta. Dia melunasi tagihan tersebut dengan uang hasil panen dari lahan yang digarap. Namun pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, tagihan pajak membengkak hingga tujuh kali lipat. Dia berkeberatan jika harus melunasi tagihan itu. Sebab, penghasilannya dari menggarap lahan tidak terlalu besar. “Hasil kebun buat makan saja pas-pasan,” ujarnya.

Menurut Munir, sebagian besar tanah garapan di Megamendung dulunya merupakan perkebunan teh milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII. Hak guna usaha (HGU) perusahaan milik negara itu berakhir pada 1997-1998. Bersamaan dengan habisnya masa berlaku HGU, usaha perkebunan teh pun terhenti. Banyak pekerja yang menjadi penganggur. Para pekerja ini kemudian menggarap beberapa bidang lahan untuk dijadikan perkebunan hortikultura. Hasil perkebunan itu yang digunakan untuk menghidupi keluarga mereka.

Belakangan, kata Munir, datang orang-orang dari kota dan mengambil alih pengelolaan tanah garapan tersebut. Mereka memberikan kompensasi uang kepada petani penggarap. "Nah, setelah itu saya tidak tahu lagi,” katanya. “Tiba-tiba saya dapat somasi (dari PTPN VIII). Sekarang saya jadi takut, apalagi sudah ditanya-tanya polisi tadi."

Direktur Utama PTPN VIII, Mohammad Yudayat, sebelumnya mengatakan telah melayangkan somasi kepada semua penggarap di lahan milik perusahaannya. Surat somasi tersebut ia tanda tangani pada 18 Desember 2020. Dalam surat itu, ia menegaskan bahwa PTPN VIII berhak atas lahan yang digarap berdasarkan sertifikat HGU Nomor 300 yang dikeluarkan pada 4 Juli 2008.

Kawasan PTPN VIII di Sukaresmi, Megamendung, Bogor, 2 Februari 2021. TEMPO/M.A Murtadho

Kuasa hukum PTPN VIII, Ikbar Firdaus, menjelaskan, somasi itu dilayangkan kepada 250 individu yang menduduki lahan perusahaan di Megamendung. Dari orang-orang yang disomasi tersebut, dua orang sudah dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI dan 27 orang lagi dilaporkan ke Polda Jawa Barat. Langkah hukum ini ditempuh sebagai upaya perusahaan untuk mengembalikan lahan yang diduduki pihak lain.

Sejumlah polisi yang menemui Munir menolak untuk memberikan penjelasan ihwal kedatangan mereka. Namun satu di antaranya mengatakan mereka tengah mengumpulkan data atas dugaan penyerobotan lahan yang dilaporkan PTPN VIII. "Kami baru pertama ini ke sini, masih mengumpulkan data,” katanya.

Kepala Desa Sukaresmi, Iib Ibrohim, mengatakan polisi yang datang ke wilayahnya baru meminta keterangan dari empat orang, termasuk dia. Sejauh ini, Iib berpendapat bahwa petani penggarap memiliki hak atas lahan yang mereka garap. Sebab, mereka sudah lebih dulu menggarap lahan sebelum Kementerian Agraria mengeluarkan sertifikat HGU untuk PTPN VIII. "Jadi, kalau bicara serobot-menyerobot, sebenarnya PTPN yang menyerobot,” katanya. “Kami kan ada SPPT atas nama penggarap, bukan atas nama Perkebunan."

Menurut Iib, setelah HGU perusahaan habis masa berlakunya pada 1998, secara otomatis lahan itu tidak bertuan. Dengan demikian, tidak salah jika masyarakat kemudian memanfaatkan lahan tersebut untuk bercocok tanam. "Akhirnya pemerintah desa saat itu mendukung masyarakat (dalam pemanfaatan lahan) ini dengan berkoordinasi ke pemerintah kecamatan dan daerah."

Belakangan, kata Iib, pemanfaatan lahan tidak sebatas berkebun. Penduduk juga mendirikan bangunan untuk tempat tinggal. Secara perlahan, tanah-tanah garapan itu berkembang menjadi permukiman. Kemudian dibangun juga fasilitas umum, seperti rumah ibadah, musala, dan puskesmas. “Tahu-tahu sekarang PTPN memberi somasi dan meminta semuanya untuk mengosongkan lahan,” kata dia. "Ini kan lucu, padahal sekolah dari SD, SMP, hingga SMA, semua berdiri di lahan ini."

SUSENO | M.A. MURTADHO (BOGOR)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Suseno

Suseno

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada 1998. Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini menempati posisi redaktur di desk Nasional Koran Tempo. Aktif juga di Tempowitness sebagai editor dan trainer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus