Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banyaknya pesantren penerima bantuan menjadi alasan berbagai masalah di lapangan.
Kementerian Agama mengakui temuan ICW soal kejanggalan pesantren dan lembaga pendidikan penerima BOP.
ICW mendesak Kementerian Agama melakukan investigasi khusus.
JAKARTA – Kementerian Agama mengakui adanya persoalan dalam penyaluran dana bantuan operasional pendidikan (BOP) bagi pesantren dan lembaga pendidikan Islam yang terkena dampak pandemi Covid-19. Dana kegiatan sebesar Rp 2,59 triliun ini ditujukan bagi ratusan ribu pesantren dan lembaga pendidikan Islam untuk tahun anggaran 2020.
Kepala Seksi Kelembagaan pada Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Winuhoro Hanum Bhawono, mengatakan persoalan terjadi karena banyaknya penerima bantuan. Di samping itu, kata dia, proses sosialisasi dan verifikasi penerima bantuan menjadi tanggung jawab kantor wilayah Kementerian Agama di setiap provinsi.
Winuhoro juga tak menepis peluang adanya kebocoran dana BOP tersebut. Karena itu, ia berharap masyarakat proaktif mengawasinya. “Kami meminta masyarakat aktif melaporkan dan mendukung penegakan hukum,” kata Winuhoro dalam sebuah acara di Jakarta, kemarin.
Pernyataan Winuhoro ini menanggapi temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai kejanggalan proses penyaluran dana BOP untuk pesantren dan lembaga pendidikan Islam yang terkena dampak pandemi Covid-19. ICW menemukan adanya pesantren penerima yang diduga fiktif, dana bantuan yang dipotong calo, serta syarat pesantren penerima bantuan yang tidak sesuai dengan jumlah santrinya.
Winuhoro mengatakan temuan ICW tersebut juga sudah beberapa kali ditemukan lembaganya. "Yang kami bisa lakukan adalah agar petunjuk teknis benar-benar dipedomani kanwil Kementerian Agama di daerah-daerah,” kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Santri keluar dari masjid di salah satu pondok pesantren di Cirebon, Jawa Barat, 17 Juli 2020. TEMPO/Prima mulia
Program BOP bagi pesantren dan lembaga pendidikan Islam yang terkena dampak wabah ini dimulai dua tahun lalu. Kementerian Agama mengalokasikan anggaran BOP sebesar Rp 2,5 triliun dalam tiga tahap. Anggaran itu digunakan untuk membayar biaya operasional, honor pendidik, serta membeli masker, sabun, dan sejenisnya untuk mengurangi persebaran virus Covid-19 di lingkungan pendidikan Islam.
Alokasi bantuan kepada pesantren dikategorikan dalam tiga jenis sesuai dengan jumlah santri. Ketiga kategori itu adalah pesantren kecil dengan jumlah santri 50-500 orang, kategori sedang dengan jumlah santri 500-1.500 orang, dan pesantren besar dengan jumlah santri lebih dari 1.500 orang. Nilai bantuan disesuaikan dengan kategori pesantren, yaitu kecil sebesar Rp 25 juta, sedang Rp 40 juta, dan pesantren besar sebesar Rp 50 juta. Tercatat ada 21 ribu pesantren yang menerima bantuan ini.
Di samping pesantren, sekitar 62 ribu madrasah dan 112 ribu lembaga pendidikan Al-Quran menerima dana hibah dengan jumlah bervariasi, antara Rp 10 juta dan Rp 50 juta. Nilai bantuan didasarkan pada jumlah peserta didik setiap lembaga pendidikan.
Ada beberapa syarat penerima bantuan sesuai dengan petunjuk teknis BOP yang diterbitkan Kementerian Agama pada November 2020. Syarat itu di antaranya calon lembaga pendidikan penerima masih aktif melakukan proses belajar-mengajar, mengirim proposal, serta menyerahkan laporan penggunaan bantuan. Calon penerima bantuan juga harus lolos verifikasi dan validasi yang dilakukan kantor wilayah Kementerian Agama. Penerima bantuan yang dinyatakan lolos diumumkan pada situs web Kementerian Agama.
ICW memverifikasi sendiri program tersebut secara acak di lima provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten. Peneliti ICW mendatangi langsung sejumlah pesantren di daerah tersebut, mewawancarai pengelola, serta menemui warga setempat.
Hasilnya, ICW menemukan ada pesantren yang diduga fiktif. Misalnya di Aceh, tiga dari 23 pesantren yang diteliti tidak berada di alamat yang dilaporkan ke Kementerian Agama. “Ini diperkuat oleh keterangan warga setempat yang menyatakan tidak ada pesantren di wilayah sekitar,” kata ICW yang dikutip dari laporan temuan mereka.
Temuan lainnya adalah potongan bantuan yang dilakukan oleh calo dengan dalih ucapan terima kasih, iuran fasilitas pencairan dana, serta sumbangan ke masjid. Para calo ini, menurut temuan ICW, teridentifikasi sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pejabat kantor wilayah Kementerian Agama. Padahal keberadaan orang ketiga untuk membantu pencairan dana program ini seharusnya tak perlu karena bisa diurus secara langsung tanpa perantara.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Waryono, tidak bisa dimintai konfirmasi soal temuan ini. Pada Februari lalu, Waryono mengatakan syarat-syarat penerima bantuan itu sesungguhnya sudah disebar secara transparan kepada publik. Verifikator dari Kementerian Agama juga mengisi puluhan lembar data sebelum menyetujui pemberian dana kepada pesantren dan lembaga pendidikan. “Jadi, sudah ada (verifikasi) berlapis,” kata Waryono dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Sosial Dewan Perwakilan Rakyat, Februari lalu.
Wakil Koordinator ICW, Agus Sunaryanto, mengatakan temuan lembaganya tersebut membuktikan bahwa Kementerian Agama belum menjalankan fungsi verifikasi dan evaluasi dengan baik terhadap pesantren serta lembaga pendidikan calon penerima dana BOP. “Kementerian harus melakukan investigasi tentang adanya pejabat dan pegawai di kantor wilayah yang diduga menilap uang tersebut,” kata Agus.
INDRI MAULIDAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo