Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Revisi Setengah Hati Undang-Undang ITE

Pemerintah menambah satu pasal baru dalam rencana revisi terbatas UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Koalisi masyarakat sipil kecewa karena menganggap peraturan tersebut seharusnya direvisi secara menyeluruh.

9 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah akan merevisi empat pasal dalam UU ITE.

  • Pemerintah juga akan menambah satu pasal baru dalam UU ITE.

  • Pemerintah menjamin revisi terbatas ini tidak akan mengubah substansi pasal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Pemerintah akan merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) secara terbatas. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengatakan perumusan naskah revisi akan dikerjakan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.  "Untuk dilakukan proses penyelarasan, sinkronisasi. Kemudian dibawa ke proses legislasi di DPR,” kata Mahfud dalam konferensi pers, kemarin. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahfud menerangkan, di samping mengubah Pasal 27, 28, 29, dan 36, pemerintah sekaligus mengusulkan penambahan pasal baru, yaitu 45C. Pasal 45C ini akan mengatur pidana terhadap pemberitaan bohong dan penyiaran kabar tak pasti yang menimbulkan keonaran.

Pasal tambahan ini rencananya mengadopsi ketentuan dalam Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Kedua pasal tersebut mengatur penyiaran berita bohong dan kabar tak pasti dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara. 

Menurut Mahfud, muatan revisi keempat pasal tersebut tidak akan sampai memperluas substansi, melainkan hanya memperjelas makna masing-masing.

Pasal 27 mengatur distribusi informasi elektronik tentang konten kesusilaan, muatan perjudian, dan pemerasan. Pasal 28 mengatur orang menyiarkan kabar bohong dan informasi yang menimbulkan kebencian. Pasal 29 mengatur orang yang mendistribusikan informasi elektronik yang berisi ancaman kekerasan. Lalu, Pasal 36 mengatur orang yang memanipulasi, mengubah, menghilangkan, atau merusak informasi elektronik. 

Mahfud mencontohkan, satu substansi yang akan diperjelas adalah ujaran kebencian, seperti dalam Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45A ayat 2 UU ITE. “Agar tidak ditafsirkan macam-macam, diberi tahu ujaran kebencian itu apa. Misalnya, mendistribusikan informasi. Sekarang ditambah mendistribusikan dengan maksud diketahui umum,” kata Mahfud. “Kalau pribadi ke pribadi, tak termasuk pencemaran. Tak bisa dihukum.” 

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. di gedung Kemenko Polhukam, Jakarta, 23 Oktober 2019. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini mengatakan muatan revisi tersebut juga akan memperjelas substansi penyebaran berita bohong, perjudian daring, kesusilaan, pencemaran nama, dan penghinaan. “Itu semua untuk menghilangkan multitafsir, pasal karet, dan kriminalisasi yang disebut kelompok masyarakat sipil banyak terjadi,” ujarnya. 

Mahfud memastikan pemerintah tak mencabut UU ITE dengan alasan aturan ini masih sangat diperlukan. Dengan demikian, sebelum revisi ini tuntas, dia melanjutkan, Presiden Joko Widodo meminta penerbitan surat keputusan bersama (SKB) antara Menteri Komunikasi dan Informatika, Kepala Kepolisian RI, dan Jaksa Agung. SKB ini akan berisi pedoman penafsiran UU ITE. 

Pedoman itu akan digunakan ketiga lembaga sambil menunggu rampungnya revisi UU ITE di parlemen. “Kami jadwalkan dalam minggu ini (diterbitkan), paling lambat minggu depan,” katanya. 

Penjelasan Mahfud terkesan bertolak belakang dengan ucapan Presiden Joko Widodo pada Februari lalu. “Kalau UU ITE tidak bisa memberi rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisinya,” kata Jokowi saat itu. 

Presiden Joko Widodo meminta DPR untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) saat Rapat Pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara, Jakarta, 15 Februari 2021. BPMI Setpres/Lukas

Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE), Muhammad Arsyad, mengatakan roh undang-undang tersebut sesungguhnya mengatur sistem administrasi dalam perdagangan digital. Bahkan rumusan awalnya tidak mencantumkan urusan pemidanaan. Pasal pemidanaan baru muncul ketika pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah. 

Ia juga mengkritisi rencana pemerintah menerbitkan SKB yang mengatur pedoman UU ITE. Arsyad berpendapat bahwa pedoman itu bukan aturan hukum yang mengikat penegak hukum sehingga berpotensi diabaikan. Ia mencontohkan Surat Edaran Kapolri tentang penanganan kasus ITE yang diterbitkan pada Februari lalu. Surat edaran ini dianggapnya tidak berjalan dengan baik di lapangan. 

Kesimpulan tersebut mengacu pada laporan yang diterima Paku ITE, yaitu seorang pemuda yang memprotes layanan sebuah bengkel di Jakarta Selatan, tapi malah dilaporkan melanggar UU ITE. Pemuda itu mengutarakan keluhannya lewat blog dan YouTube pada 2017. Empat tahun berselang, pegawai bengkel melaporkannya ke polisi. Kasus ini pun bergulir. “Pedoman oke, tapi harus tegas kepada oknum kepolisian yang lalai atau oknum yang coba gunakan untuk mengkriminalisasi,” kata Arsyad. 

Peneliti dari Kontras, Rivanlee Anandar, mengatakan aliansi kelompok masyarakat sipil sudah mengeluarkan kertas kebijakan mengenai UU ITE. Kertas kebijakan ini memuat rekomendasi terhadap berbagai pasal yang dinilai sebagai pasal karet. “Ketika pemerintah katakan hanya revisi terbatas, tentu kami kecewa,” katanya. 

Rivanlee mengatakan UU ITE seperti membentuk pakem agar setiap orang melaporkan orang lain ke polisi. Karena itu, dia meminta pemerintah tidak melakukan revisi menyeluruh. Pemerintah, dia melanjutkan, juga harus menyatakan bahwa penggunaan UU ITE ini hanya terkait dengan data pribadi atau transaksi keuangan, bukan soal dendam semata. “Dalam revisi, kepolisian juga harus menahan diri untuk tidak mudah memproses laporan ke ranah pidana,” katanya. 

Ketua Komisi Pertahanan DPR, Meutya Hafid, mengatakan Dewan menunggu rancangan revisi undang-undang dari pemerintah. Setelah menerimanya, mereka akan membuka ruang pendapat dengan berbagai elemen masyarakat dan para ahli. Politikus Partai Golkar ini mengatakan pembahasan terhadap revisi terbatas UU ITE tidak akan berlangsung lama karena hanya berfokus pada pasal-pasal tertentu. “Pada prinsipnya, kami terus meminta dukungan dan masukan dari masyarakat,” katanya. 

DEWI NURITA | DIKO OKTARA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus