Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Salah satu risikonya adalah kurang efektifnya pelaksanaan tugas dan fungsi komisaris.
Kontribusi dividen BUMN kepada negara tidak signifikan.
Konflik kepentingan dapat menjadi pintu masuk bagi korupsi.
JAKARTA — Rangkap jabatan para pejabat negara sebagai komisaris badan usaha milik negara (BUMN) disebut dapat menimbulkan sejumlah risiko. Salah satu risiko yang paling kentara, menurut Tim Kampanye dan Advokasi Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Gulfino Guevarrato, adalah kurang efektifnya pelaksanaan tugas serta fungsi pejabat yang merangkap pekerjaan.Â
Ujung-ujungnya, ujar Gulfino, kinerja serta kualitas kementerian, lembaga, ataupun BUMN yang ditempati menurun. Akibatnya, masyarakat, bahkan negara, berpotensi kehilangan manfaat yang seharusnya diperoleh. "Pelaksanaan dan pengawasan yang dilakukan berpotensi tidak optimal," ucap dia, kemarin.
Belum lagi kalau pejabat tersebut ditempatkan di perusahaan yang memiliki bisnis di luar bidang keahlian mereka. Padahal, kata Gulfino, komisaris atau dewan pengawas BUMN memiliki peran strategis untuk mengawasi kegiatan perusahaan, bertanggung jawab atas kerugian perusahaan, serta memberikan nasihat kepada direksi atau pemimpin perusahaan.
Sebagai catatan, sampai saat ini, fungsi BUMN yang semestinya membantu pemasukan negara masih belum efektif. Pada 2020, misalnya, Fitra mencatat hanya 11 dari 91 BUMN yang memberikan kontribusi signifikan kepada pendapatan negara. Pada 2022, dari Rp 37 triliun sumbangan BUMN kepada pendapatan negara, sebanyak Rp 25 triliun berasal dari bank BUMN.Â
Di sisi lain, sekalipun kontribusi BUMN tidak signifikan, setiap tahun pemerintah menggelontorkan penyertaan modal negara (PMN). Sejak 2020 hingga 2023, kata Gulfino, total PMN bagi BUMN sebesar Rp 205 triliun. Sedangkan total dividen yang disetorkan BUMN hanya Rp 161,4 triliun. Karena itu, ia menilai menjadi keharusan bagi komisaris untuk berfokus dan memiliki kemampuan yang sesuai dengan sektor bisnis perseroan.Â
Risiko lain yang muncul adalah soal potensi konflik kepentingan. Gulfino mengingatkan bahwa aparatur sipil negara (ASN) memiliki pekerjaan yang erat kaitannya dengan hajat masyarakat umum. Kepentingan publik yang begitu luas dan umum itu, tutur Gulfino, sering kali berseberangan dengan kepentingan pribadi, keluarga, sejawat, kelompok, ataupun golongan.Â
"Ketika keduanya berseberangan, dan ASN dituntut bertindak atau membuat keputusan, hadirlah konflik kepentingan," ujar Gulfino.Â
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo