Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dagelan Saham Tambang Nikel

Sengketa tambang PT Citra Lampia Mandiri menyeret Haji Isam dan seorang jenderal. Eddy Hiariej menjadi perantara.

26 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dua kubu memperebutkan saham perusahaan nikel PT Citra Lampia Mandiri.

  • Eddy Hiariej berada di kubu Helmut Hermawan.

  • Ada peran purnawirawan letnan jenderal.

DUA truk bermuatan tanah mengandung nikel mentah meninggalkan area konsesi PT Citra Lampia Mandiri di Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Keduanya berhenti di Pelabuhan Jetty Desa Harapan, lalu menumpahkan semua muatannya ke kapal tongkang. Pemandangan yang biasa terlihat di area konsesi nikel mana pun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Area tambang PT Citra Lampia Mandiri berada di Desa Lampia, Kecamatan Malili. Sebagian area konsesinya beririsan dengan lahan warga Desa Harapan, Desa Ponkeru, Desa Pasi-pasi, dan Desa Laskap. Data yang tercantum di Minerba Online Data Indonesia (MODI) menunjukkan perusahaan ini memiliki wilayah konsesi seluas 2.660 hektare. Kualitas nikel di area konsesi ini disebut-sebut salah satu yang terbaik di Pulau Sulawesi. Kadarnya lebih dari 1,8 persen atau tiap 1 ton tanah mengandung 18 kilogram bijih nikel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kualitas nikel nomor wahid itu yang membuat perusahaan tersebut jadi rebutan. Bahkan hal ini melibatkan dugaan gratifikasi kepada Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej atau akrab disapa Eddy Hiariej. Namun hiruk pikuk kasus yang sudah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi itu tak sampai ke Luwu Timur. "Kami bekerja seperti biasa, normal," kata Ahmad Sobri, kepala teknik tambang di area itu, Kamis, 23 Maret lalu.

Pangkal gratifikasi adalah perebutan saham PT Citra Lampia Mandiri. Mereka yang berebut adalah Helmut Hermawan yang mengklaim sebagai direktur perusahaan ini dan induknya, PT Asia Pacific Mining Resources. Lawannya adalah Zainal Abidinsyah Siregar, pemilik PT Aserra Mineralindo Investama. Sengketa keduanya berawal dari perjanjian pembelian saham PT Citra Lampia.

Baca: Kusut Masai Nikel Sulawesi

Syahdan, PT Asia Pacific Mining Resources menguasai 85 persen saham perusahaan itu. PT Aserra Mineralindo Investama adalah calon pembeli saham, tapi batal menawar lantaran manajemennya menemukan masalah saat proses uji tuntas (due diligence). Alih-alih berembuk, kedua kubu saling gugat dan berlomba membuat akta perusahaan.

Pembuatan akta perusahaan memerlukan kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Helmut bergerak cepat dengan meminta bantuan Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej untuk meloloskan permohonan akta baru perusahaannya sehingga posisinya sebagai Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri aman.

Namun situs MODI milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan Direktur Utama dan Komisaris Utama PT Citra Lampia adalah Zainal Abidinsyah Siregar dan Irawan Sastrotanojo sejak 13 September 2022. Sesuai dengan akta mutakhir PT Citra Lampia yang didaftarkan pada 29 Desember 2022, pemilik saham adalah PT Aserra Citra Mineralindo sebanyak Rp 5,2 miliar, Isrullah Ahmad sebanyak Rp 3,06 miliar, dan terbanyak Junaidi sebanyak Rp 12,138 miliar. Junaidi dikenal sebagai pengacara dan orang dekat Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam.

Kedekatan itu terkonfirmasi oleh akta PT Citra Lampia pada 26 Desember 2022 yang menyebut pemilik saham mayoritas perusahaan ini adalah PT Ferolindo Mineral Nusantara. Haji Isam dan Evi Celiyanti adalah pemegang saham mayoritas perusahaan perniagaan ini. Evi tak lain adalah istri Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Jenderal Agus Andrianto.

Agus tak menyangkal istrinya pernah menjadi pemegang saham di PT Ferolindo. Namun, dia menjelaskan, nama Evi sudah tak tercantum sebagai pemegang saham Ferolindo sejak perubahan akta pada Desember 2022. "Istri saya bukan pebisnis tambang," tuturnya.

Di kubu Helmut Hermawan, komisaris PT Citra Lampia Mandiri adalah Yoedhi Swastono. Ia mantan Rektor Universitas Pertahanan. Pangkat terakhirnya di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat adalah letnan jenderal. Yoedhi pernah memprotes Kementerian Hukum dan HAM yang meloloskan akta PT Citra Lampia kubu Zainal. Menurut dia, rapat pemegang saham PT Citra Lampia tak pernah diumumkan ke publik. Proses pengesahan akta di Kementerian Hukum, menurut Yoedhi, berlangsung kilat. “Cuma dibahas dua jam pada sore hari, malamnya langsung disahkan,” ujarnya.

Ihwal cepatnya pengurusan akta perusahaan dan perubahan komposisi kepemilikan saham sebuah perusahaan, Eddy Hiariej menilai hal itu sebagai sesuatu yang wajar. "Semua pendaftaran sudah lewat elektronik,” ucapnya. Dengan kata lain, ia menampik dugaan adanya cawe-cawe dalam pengesahan akta PT Citra Lampia versi Zainal.

Yoedhi menjadi Komisaris PT Citra Lampia kubu Helmut setelah pensiun pada 2017. Jabatan terakhirnya Sekretaris Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Ia kenal dengan Helmut sewaktu pengusaha nikel ini mengadukan masalah premanisme di lahan konsesinya. "Saya diminta jadi komisaris, bukan pemegang saham," katanya.

Belum jelas siapa yang sesungguhnya berhak atas kepemilikan saham PT Citra Lampia, muncul nama baru dalam sengketa itu, Willem Jan van Dongen. Laki-laki 76 tahun asal Belanda ini mengklaim sebagai pemilik saham mayoritas PT Asia Pacific Mining Resources, induk PT Citra Lampia. Kepemilikan sahamnya berlaku lewat Jumiatun, istrinya yang warga negara Indonesia. Jumiatun memang pernah menjabat Komisaris Utama PT Asia Pacific. 

Menurut Willem, PT Citra Lampia Mandiri dulu hanya perusahaan penambang pasir besi. Belakangan, izin operasinya berubah karena area konsesi di Luwu Timur itu ternyata mengandung nikel. Willem mengklaim telah mengeluarkan uang jutaan dolar Amerika untuk membangun sebelas jembatan dan pelabuhan jetty tak jauh dari area konsesi PT Citra Lampia. Pengukuran nikel sempat terhenti karena pemerintah melarang ekspor nikel tiga tahun lalu.

Perusahaan ini tersangkut kasus hukum di KPK pada 2018. Pada waktu itu, penyidik KPK menangkap Martin Silitonga, Direktur Utama PT Citra Lampia. Martin menyuap dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Iswahyu Widodo dan Irwan, agar membatalkan perjanjian akuisisi PT Citra Lampia dan PT Asia Pacific. Martin divonis tiga setengah tahun bui.

Urusan hukum Martin bisa merembet kepada Willem sebagai pemilik perusahaan. Di sinilah Helmut Hermawan, yang bekerja di PT Citra Lampia, menyarankan Willem tak usah muncul. Ia membujuk Willem mengalihkan saham atas nama Jumiatun kepadanya.

Willem setuju mengalihkan saham PT Citra Lampia atas nama istrinya kepada Thomas Azali, orang yang ditunjuk Helmut sebagai nominee baru. Helmut pun menjabat direktur utama di PT Asia Pacific dan PT Citra Lampia Mandiri. Sah secara hukum membuat Helmut berkuasa mendepak Willem dari perusahaan itu. Willem baru sadar ia telah kehilangan perusahaan setelah kembali ke Indonesia dari Belanda pada 2021. "Istri saya tak pernah menjual saham kepada Azali," ucapnya.

Willem mengibaratkan Helmut sebagai kacang lupa kulit. Helmut, menurut Willem, pada 2008, meminta pekerjaan kepadanya karena bisnis sepatunya bangkrut. Sejak saat itu, tutur dia, Helmut bekerja kepadanya di PT Citra Lampia.

Junaidi, pemilik saham PT Asia Pacific, mengaku baru tahu ada peran Willem di perusahaan sengketa itu setelah Haji Isam mempertemukan mereka pada September 2022. Pertemuan di rumah Isam di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, itu turut dihadiri politikus Partai Golkar, Idrus Marham, dan Eddy Hiariej. “Saya juga kaget,” ujarnya.

Pengacara Helmut, Rusdiyanto, mengatakan pembelian saham PT Citra Lampia Mandiri valid. Menurut dia, Thomas Azali membeli semua saham Jumiatun lewat utang. Pembayaran dilakukan secara mencicil dengan menggunakan keuntungan operasional usaha. Ia justru mempertanyakan langkah Willem yang melaporkan Helmut Hermawan ke polisi dengan tuduhan pemalsuan dokumen. “Kok, kayak dagelan?” katanya. Didit Hariyadi (Luwu Timur)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus