Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Chatib Basri
TAHUN 2007 tinggal tersisa dalam hitungan hari. Apa yang harus kita tulis tentang tahun ini dan bagaimana ekspektasi untuk tahun 2008, inilah pertanyaan besar yang harus kita jawab.
Ekspektasi kerap memiliki sebelah kaki di masa lalu. Ia merupakan harapan–juga kecemasan—yang kita proyeksikan di masa depan. Seperti telah diduga, tahun 2007 memang lebih baik dibandingkan 2006. Kita mencatat: di tengah meruyaknya berbagai ketidakpastian global, seperti kenaikan harga minyak dunia serta guncangan pasar uang global akibat kasus sub-prime di Amerika Serikat dan Eropa, ekonomi kita tumbuh 6,5 persen pada triwulan ketiga 2007 atau 6,3 persen sepanjang triwulan pertama sampai triwulan ketiga tahun ini.
Angka ini jauh lebih tinggi dari perkiraan pihak yang paling optimistis sekalipun. Kita memang mulai melihat gejala percepatan pertumbuhan ekonomi sejak pertengahan tahun lalu. Konsumsi rumah tangga, misalnya, tumbuh 5,3 persen—tertinggi sejak krisis ekonomi. Artinya, pertumbuhan konsumsi sudah kembali ke tingkat pra-krisis.
Ekspor barang dan jasa juga tumbuh signifikan 8,8 persen, didorong oleh membaiknya harga komoditas di pasar internasional. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, kita memang melihat gejala yang menggembirakan. Namun, ada baiknya kita tak menganggap ekonomi telah sepenuhnya normal. Komposisi pertumbuhan ekonomi masih menunjukkan bahwa sumber pertumbuhan belum sepenuhnya kembali ke pola normal.
Tengok saja dekomposisi sumber pertumbuhan yang menunjukkan sebagian besar kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi di triwulan ketiga berasal dari sektor non-traded, seperti utilitas, konstruksi, perdagangan, perbankan, telekomunikasi, dan jasa lainnya. Repotnya, penyerapan tenaga kerja di sektor non-traded relatif kecil dibandingkan sektor tradable. Implikasinya, penyerapan tenaga kerja masih akan menjadi persoalan pelik yang harus dipecahkan.
Dari sisi pengeluaran, sumber pertumbuhan terutama didorong oleh sisi permintaan domestik, yaitu konsumsi, dan juga permintaan eksternal karena membaiknya ekspor akibat perbaikan harga internasional. Adapun investasi relatif tak meningkat, kontribusinya 1,9 persen dari total pertumbuhan 6,5 persen (atau sekitar 29 persen dari total).
Artinya, ekonomi didorong oleh permintaan yang semakin baik, sedangkan sisi penawaran masih menjadi persoalan. Karena itu, upaya penyelesaian kendala di sisi penawaran dengan perbaikan infrastruktur, seperti jalan, listrik, jembatan, pasar, untuk menghilangkan kekakuan tenaga kerja dan menurunkan ekonomi biaya tinggi, tetap harus menjadi prioritas.
Bagaimana tahun 2008? Saya kira ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dengan cermat.
Pertama, konsumsi dan inflasi. Memang ada kecenderungan tekanan inflasi akan meningkat tahun depan. Kenaikan harga komoditas di pasar global dan ketidakpastian harga minyak sedikit banyak akan mempengaruhi ekspektasi terhadap inflasi. Hal ini terlihat dari kecenderungan upward sloping dari yield curve untuk obligasi pemerintah, yang menunjukkan bahwa ekspektasi tingkat bunga di masa depan akan lebih tinggi, karena ekspektasi inflasi yang juga relatif lebih tinggi.
Karena itu, saya melihat pesan yang harus disampaikan oleh Bank Indonesia adalah inflasi harus tetap dapat dikendalikan pada tingkat yang rendah. Untuk mendukung itu, kebijakan moneter yang hati-hati tetap harus dilakukan. Bank Indonesia tak boleh tergoda untuk terlalu banyak ikut campur dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Tingkat inflasi harus ditetapkan di tingkat yang lebih rendah dibanding ekspektasi pasar.
Bank Indonesia juga tidak boleh didikte oleh ekspektasi pasar tentang inflasi. Penetapan target inflasi yang kredibel, diikuti oleh kebijakan moneter yang hati-hati, akan membantu menurunkan ekspektasi inflasi. Ekspektasi merupakan variabel yang amat penting sebagai sumber inflasi di Indonesia. Bila ekspektasi inflasi dapat dikendalikan, inflasi juga akan dapat dikendalikan.
Inflasi yang terkendali meningkatkan daya beli riil dan juga dampak kepada kekayaan (wealth effect). Wealth effect ini juga dapat disebabkan oleh peningkatan konsumsi akibat direalisasikannya capital gain (keuntungan) dari investasi di pasar modal yang meningkat tajam di tahun ini. Tentu kita harus agak hati-hati dengan argumen ini, karena proporsi investasi portofolio dalam keuangan rumah tangga—walau mulai meningkat—masih relatif terbatas. Bila inflasi bisa dikendalikan, saya melihat konsumsi masih akan dapat terus bertahan.
Hal lain yang akan mendorong konsumsi adalah peningkatan kredit konsumsi yang tumbuh di atas 22 persen. Kenaikan kredit konsumsi jelas dipengaruhi oleh ekspektasi membaiknya pendapatan di masa depan. Jika kita tahu pendapatan akan naik, ada kecenderungan untuk meningkatkan konsumsi, terutama non-makanan, saat ini. Dari sisi ini, kita bisa sedikit optimistis bahwa perbaikan memang sudah mulai terjadi. Penjualan mobil, misalnya, sampai November tumbuh 55 persen. Konsumsi listrik—walau agak menurun—masih tetap tinggi.
Kedua, ekspor. Kenaikan harga minyak juga membawa dampak kepada kenaikan harga komoditas. Kita bisa melihat bahwa pada 2007 ekspor Indonesia mengalami perbaikan karena membaiknya harga komoditas di pasar internasional. Seiring dengan meningkatnya permintaan energi dari negara lain seperti Cina dan India, bukan tidak mungkin harga komoditas masih akan relatif tinggi.
Dari sisi ini kita bisa berharap bahwa permintaan eksternal akan mampu mendorong ekspor kita. Namun di sisi lain kita juga harus melihat dampak sub-prime pada ekonomi Amerika Serikat dan Eropa. Selain itu, kenaikan harga minyak memiliki risiko menurunkan pertumbuhan ekonomi global.
Pertumbuhan Amerika Serikat diperkirakan akan melambat, dan dikhawatirkan akan mempengaruhi ekspor dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Meski begitu, tampaknya pengaruh pertumbuhan ekonomi AS kepada ekspor Indonesia tidak sekuat dulu lagi. Semakin pentingnya ekonomi Asia Timur, termasuk masih relatif kuatnya pertumbuhan ekonomi Cina—walau ekonomi AS melemah—menunjukkan dampak resesi di AS tidaklah sekuat beberapa tahun lalu. Karena itu, walau ekonomi AS melemah, saya melihat peluang ekspor untuk tetap tumbuh masih terbuka.
Ketiga, investasi. Pertumbuhan investasi sudah mulai meningkat. Ini tercermin pada pertumbuhan kredit investasi 23 persen, terutama sejak paruh kedua tahun ini. Pertumbuhan impor barang modal dan bahan baku yang semakin tinggi sejak paruh kedua juga mendukung ini. Dengan kecenderungan itu, tampaknya investasi tahun 2008 akan relatif lebih kuat dibanding 2007. Meskipun demikian, penting dicatat: pertumbuhan investasi tampaknya belum akan melampaui dua digit (10 persen). Artinya, walau investasi meningkat, kontribusi investasi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi masih akan relatif terbatas pada tahun depan.
Dengan gambaran seperti ini, saya memperkirakan ekonomi Indonesia memiliki potensi untuk tumbuh lebih tinggi tahun 2008. Namun, komposisi sumber pertumbuhan tampaknya belum akan banyak berbeda dengan tahun ini. Sumber pertumbuhan tetap datang dari sisi permintaan, yaitu permintaan domestik dan eksternal. Ini menunjukkan sisi penawaran masih mengganjal.
Melihat berbagai faktor di atas, memang ada ruang bagi optimisme untuk tahun 2008, namun kendala suplai belum teratasi. Akibatnya, pertumbuhan yang terjadi, walau meningkat, masih sulit mencapai tujuh persen. Selain kendala suplai, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan situasi global seperti harga minyak dunia dan masalah sub-prime. Harga minyak dunia yang tak pasti masih akan membayangi kita.
Saat ini harga minyak memang cenderung menurun. Pemerintah pun telah menunjukkan bahwa kendati harga rata-rata minyak mentah (ICP) mencapai US$ 100 sepanjang tahun sekalipun, dengan produksi hanya 950 ribu barel per hari, tekanan pada defisit anggaran masih bisa diatasi. Persoalannya, apakah bijak kita membelanjakan dana lebih dari Rp 220 triliun hanya untuk subsidi BBM dan listrik. Padahal, dengan uang sebanyak itu, lebih banyak hal bisa dilakukan untuk pembangunan infrastruktur dan mengatasi kemiskinan.
Terlepas dari soal itu, walau anggaran relatif aman, harga minyak yang tinggi akan meningkatkan disparitas antara harga domestik dan internasional, yang pada gilirannya akan mendorong penyelundupan. Jika ini terjadi, konsumsi impor minyak meningkat. Gejala peningkatan impor minyak sudah mulai terlihat pada akhir 2007. Bila kita tak hati-hati dan gejala ini tak diimbangi dengan peningkatan penerimaan ekspor, rupiah bisa terpengaruh.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah masalah sub-prime di AS dan Eropa yang masih jauh dari selesai. Bukan tidak mungkin gejolak masih akan terjadi. Memang tak ada dampak langsung bagi Indonesia. Namun gejolak pasar keuangan global tetap memiliki potensi menimbulkan kejutan pada pasar uang domestik, yang bisa berdampak pada rupiah. Itu sebabnya, kehati-hatian dalam pasar keuangan tetap dibutuhkan.
Akhirnya, tak salah bila kita memiliki ekspektasi bahwa pada 2008 ekonomi akan lebih baik. Sudah lama kita tak percaya ada sesuatu yang masih positif dalam ekonomi negeri ini. Meski begitu, beberapa risiko harus tetap dipertimbangkan, dan kehati-hatian amat dibutuhkan. Perjalanan ke depan memang tak terlalu mudah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo