Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rumah Murah, Bukan Villa

Beberapa rumah murah Perumnas di beberapa tempat yang tidak segera dihuni oleh pemiliknya. Pengusiran terhadap penghuni yang tidak berhak/tak memiliki sps. (kt)

9 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WARGA Jakarta dan kota-kota lain selalu berjejal memperebutkan rumah-rumah Perumnas. Tapi 50 dari 200 rumah murah Perumnas di Sidoarum, Yogya, yang sudah diserahkan kepada calon penghuni sebulan lalu, sampai awal Mei ini masih kosong. Ketika Menmud Cosmas Batubara meninjau Sidoarum 16 April berselang, ia sempat berkata agak keras. "Kalau terbukti calon pemilik menganggap rumah di Sidoarum sebagai villa, hanya hari Minggu dikunjungi, cabut saja surat izin penunjukan rumahnya," kata Cosmas. Di proyek Tulus Harapan I Surabaya, terjadi hal yang sama. Dari 514 rumah murah di sana, ada 214 yang belum dihuni. Sebaliknya terjadi di Kota Medan. Di lingkungan Medan II Mandala dan Medan I Helvetia, tercatat 533 rumah yang mesti dikosongkan karena penghuninya tidak memiliki SPS (Surat Perjanjian Sewa). Ada beberapa penyebab hingga rumah murah tidak segera dihuni. Menurut Drs. Indrakusuma Soemadji, Manajer Pemasaran PT Nitia Buana, kontraktor Sidoarum, "karena listrik belum masuk". Tapi seorang calon penghuni mengajukan alasan lain. "Kontrak rumah yang sekarang saya tinggali belum habis waktunya," ia menjelaskan. Ny. Soemirah, 45 tahun, pegawai BTN Surabaya juga beralasan sama. Ia terpaksa menunggu kontrak rumahnya sekarang habis. Dia memang sudah membeli rumah tipe 73 di Desa Kali Rungkut Surabaya. Untuk pindah, katanya, perlu uang, "sebab biaya pindah itu besar." Sementara itu seorang pegawai Kanwil P&K Yogya, belum pindah karena menunggu tahun ajaran baru. "Supaya tidak merepotkan anak-anak," katanya. Begitu juga M. Anshari yang memilih rumah tipe 80 di Kali Rungkut. Ia menunggu keempat anaknya lulus di sekolah yang sekarang. "Saya kira dulu, di kompleks itu sudah ada sekolah lanjutan. Ternyata tidak ada," tuturnya kecewa. Kini keluarganya menumpang di rumah mertuanya. Preman R. Soedarsono, pimpinan BTN Cabang Surabaya membenarkan alasan-alasan tadi. Tapi diakuinya, ada juga penghuni yang baru mau menempati rumah Perumnas kalau masa pensiunnya tiba. Karena itu, dalam penilaian Soedarsono, pelbagai alasan calon penghuni itu cukup kuat, sehingga "saya tidak memberi sanksi," katanya. Namun ada dua penghuni kompleks Rungkut Surabaya yang ditindak karena memindahkan pemilikan rumah murah itu kepada orang lain yang masih ada hubungan keluarga dengan mereka. Tapi di Medan, petugas Perumnas berhasil menggiring keluar seorang penghuni bernama Basar. Dia sebenarnya seorang tukang sepatu. Entah bagaimana fotonya terekat pada surat permohonan rumah lewat Yayasan Kepolisian Medan. Tak ayal lagi, tatkala ketahuan prosedur suratnya tak wajar, Basar diminta meninggalkan rumahnya. Ia menolak, bahkan mengajukan Ir. Budi Prabowo, Kepala Perumnas Medan ke pengadilan, dengan tuntutan Rp 2 juta. Untung akhirnya Basar mengalah. Pertengahan April istrinya menyerahkan kunci-kunci rumah kepada Perumnas. Di samping Basar, seorang dosen IKIP Medan, juga terpaksa mengalami pengusiran. Seperti yang diungkapkan Ir. Budi, untuk mendapat rumah Perumnas, dosen itu membayar ratusan ribu kepada calo. Sang dosen percaya semata-mata karena calo bisa menyerahkan kunci rumah yang cocok dengan pintu. Tapi dia tak memiliki SPS, lalu diusir. Masih terjadi di Perumnas Medan. Beberapa orang pemegang SPS sebenarnya telah mempunyai rumah di luar Perumnas. Karena itu rumah Perumnas miliknya disewakan pada orang lain. Sampai kini Perumnas belum berhasil mengusir penghuni yang tidak berhak itu, karena kabarnya preman-preman melindungi mereka. Petugas-petugas Perumnas ditakut-takuti, bahkan seorang di antaranya sempat dipukuli preman-preman tadi. Tindakan kasar semacam itu dan pelbagai tipu muslihat lainnya bukanlah barang baru bagi Ir. Budi. Namun dia belum jera mengingatkan agar 'orang-orang jangan cuma memikirkan diri sendiri, karena masih banyak anggota masyarakat yang tidak punya rumah . " Di Yogya Rachmad Hardjodibroto, pimpinan BTN Yogyakarta, sekarang justru merasa lebih tenang. "Setelah seruan Menmud Cosmas dimuat di koran, kami tidak lagi didatangi orangorang yang punya rumah tapi mengaku tidak punya," kata Rachmad. Kalau benar demikian, mungkin tempat-tempat lain juga perlu mendapat peringatan yang sama kerasnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus