Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Alat Terapi Listrik untuk Pasien Rumah Sakit Jiwa di Masa Kolonial

Menengok peralatan dan perlengkapan untuk merawat kesehatan jiwa di rumah sakit jiwa sejak zaman Belanda di Museum Kesehatan Jiwa.

17 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Museum Kesehatan Jiwa menyimpan koleksi ratusan perlengkapan dan peralatan rumah sakit jiwa.

  • Seperti miniatur rumah sakit untuk merawat dan memulihkan kesehatan jiwa sejak era Belanda.

  • Masih menyimpan peralatan untuk penanganan kejiwaan yang dinilai kurang manusiawi.

SEBUAH kayu pasung sepanjang hampir dua meter dengan diameter hampir 50 sentimeter terpampang di bagian depan Museum Kesehatan Jiwa Dr Radjiman Wediodiningrat di Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kayu pasung itu menarik perhatian Esa Fajar Hidayat, salah satu pengunjung museum. Lelaki itu iseng mencoba memasukkan kedua kakinya ke lubang pasung. Beberapa menit dia duduk dengan kedua kaki dipasung. “Tidak ada kebebasan. Untuk bergerak saja tidak bisa. Perasaan kaki dibelenggu, pikiran juga ikut terbelenggu,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Esa mengaku belum pernah melihat pasung ataupun orang yang dipasung secara langsung. Ia hanya pernah menyaksikannya lewat layar televisi. Dosen teknik geodesi Institut Teknologi Nasional Malang itu datang ke museum demi penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Menurut dia, barang koleksi museum merupakan barang-barang langka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deretan buku di tiga lemari penuh yang memenuhi ruangan, misalnya. Buku berbahasa Jerman dan Belanda itu koleksi Rumah Sakit Jiwa Dr Radjiman Wediodiningrat, yang kerap disebut RSJ Lawang. Sebagian besar adalah buku tentang kesehatan jiwa yang ditinggalkan para dokter Belanda yang merintis pendirian rumah sakit ini.

“Sayangnya, perawatannya kurang. Untung kertasnya berkualitas tinggi,” ucap Esa. Menurut dia, dibutuhkan perawatan ekstra untuk menjaga buku agar tidak rusak atau lapuk. Ada koleksi lain yang tidak terawat, seperti proyektor film dan mesin tik. Adapun obyek logam, dia menambahkan, masih utuh dan bagus, tapi fungsinya menurun. Esa, yang sedang melakukan penelitian di sana, berencana mendigitalkan koleksi museum agar lebih menarik dan interaktif.

Pengunjung Museum Kesehatan Jiwa dr. Radjiman Wediodiningrat melihat proyektor film dan koleksi piringan hitam di Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tempo/Eko Widianto

Pihak museum juga menyelenggarakan sebuah program dengan memutar film. “Setiap Rabu ada Bina Jiwa. Proyektor film digunakan untuk menghibur pasien di masa lalu. Memutar beragam film untuk hiburan,” kata Kepala Instalasi Pendidikan dan Penelitian RSJ Lawang, Amalia Indah.

Museum Kesehatan Jiwa dikelola manajemen RSJ Lawang. Di samping proyektor, dipajang dua pemutar piringan hitam. Beberapa piringan hitam album musikus lawas ditempel pada dinding museum. Sayangnya, pemutar piringan hitam juga tidak berfungsi.

Amalia menjelaskan, museum ini terdiri atas ruang promotif, kuratif, penunjang, dan rehabilitasi. Museum tersebut adalah bagian dari sejarah RSJ Lawang. Replika kayu pasung dihadirkan untuk mengajak pengunjung merasakan pengalaman pasien dipasung sebagai bagian dari pendidikan dan kampanye Indonesia Bebas Pasung.

Museum yang diresmikan pada 23 Juni 2009 ini menampilkan koleksi 700 peralatan RSJ Lawang. Tersimpan pula catatan sejarah berdirinya RSJ Lawang. Pembangunan fisik RSJ Lawang dimulai pada 1884 di atas lahan seluas 300 hektare.  Dasar pendiriannya adalah Keputusan Kerajaan Belanda (Koninklijk Besluit) Nomor 100 tertanggal 30 Desember 1865. Rumah sakit jiwa ini resmi beroperasi pada 23 Juni 1902.

Pada 1905-1906, Radjiman Wedyodiningrat (21 April 1879-20 September 1952) tercatat sebagai salah seorang dokter pribumi yang bekerja di RSJ Lawang. Radjiman, tokoh organisasi Budi Utomo, mengembangkan terapi alternatif dengan pendekatan “Rassen Psychologie”. Pada 1945, dia terpilih memimpin Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Radjiman dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 2013.

•••

SEBUAH peralatan elektronik kuno menyita perhatian. Alat electroconvulsive therapy itu digunakan ahli saraf untuk menangani pasien dengan gangguan jiwa. Alat ini digunakan terhadap pasien yang telah menjalani terapi obat-obatan tapi kondisinya tak membaik. “Alat terapi ini sudah tidak digunakan, sudah ada yang modern,” ucap Amalia Indah.

Di samping alat terapi listrik, sepasang baju manset berwarna cokelat dipajang di sudut ruangan. Baju itu, Amalia menjelaskan, dikenakan pada pasien yang gaduh gelisah tanpa menyakiti atau melukai. Kedua tangan pasien diikat dengan lengan baju yang panjang sehingga pasien tidak bisa bergerak, tapi tidak tersakiti.

Selain mendapat fiksasi kimiawi dengan obat-obatan, pasien menjalani hidroterapi di sebuah bak mandi. Sebuah bak mandi atau bathtub berbahan pelat besi yang bagian bawahnya bolong dimakan usia menjadi salah satu koleksi yang masih dipajang. Bathtub menjadi media hidroterapi bagi pasien gaduh gelisah. Mereka akan direndam di bak mandi hingga tenang.

Ada pula empat stoples transparan berisi janin di museum. Janin ini adalah salah satu bahan penelitian Radjiman Wedyodiningrat, yang dikenal sebagai ahli kandungan. Namun tidak ada keterangan tentang asal dan usia janin tersebut. Ada juga dua pedang dan teropong yang digunakan tenaga keamanan untuk menjaga para pasien dan mengawasi lahan yang luas di masa lalu. Di bagian akhir, pengunjung akan menemukan beragam lukisan dan kriya karya pasien RSJ Lawang. Salah satunya lukisan yang mirip lukisan Basoeki Abdullah.

Toples berisi janin yang diteliti dokter Radjiman Wediodiningrat di Museum Kesehatan Jiwa dr. Radjiman Wediodiningrat, di Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tempo/Eko Widianto

Selain itu, dipajang beberapa peralatan rumah tangga, seperti alat tenun, penutup botol, dan setrika arang, sebagai alat rehabilitasi bagi para pasien. Harapannya, setelah "sehat", mereka bisa menjalankan fungsi sosial di keluarga dan masyarakat. “Sehat sosial dan spiritual. Pasien juga harus menjalankan fungsi sosial. Rehabilitasi lukis menjadi salah satu terapi bagi pasien sebelum kembali ke keluarga,” ujarnya.

Setelah kembali ke keluarga, dulu pasien kerap berkirim surat kepada dokter yang merawat. Tulisan tangan surat para pasien masih tersimpan. Salah satunya secarik surat dari pasien yang menyampaikan kabar dirinya bertarikh 1955 dan ucapan terima kasih kepada para dokter yang merawat.

Pada 2023, sekitar 10 ribu orang mengunjungi museum. Mereka menargetkan tahun ini jumlah pengunjung meningkat hingga mencapai 15 ribu orang. Selama sepekan, rata-rata kunjungan sebanyak 250. Sebagian besar pengunjung adalah mahasiswa dan pelajar yang tengah bermagang. “Mahasiswa magang wajib mengunjungi museum. Untuk mengetahui sejarah dan peralatan kesehatan jiwa masa lalu. Ini miniatur rumah sakit,” katanya.

Bukan hanya mahasiswa magang, pelajar sekolah dasar hingga sekolah menengah atas kerap berkunjung ke museum. Mereka mengikuti pembelajaran di luar kelas atau outing class. Para pelajar diberi penjelasan tentang pentingnya kesehatan mental. “Selaras dengan visi rumah sakit untuk kualitas hidup dan memahami kesehatan jiwa,” tutur Amalia.

Direktur Sumber Daya Manusia, Pendidikan, dan Penelitian RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat, Mukti Eka Rahadian, menjelaskan bahwa museum itu menjadi wahana pembelajaran mahasiswa yang tengah bermagang. Museum tersebut, dia melanjutkan, memperlihatkan perjalanan rumah sakit dari masa ke masa. “Dari zaman dulu sampai modern. Dari peralatan konvensional ada di museum, alat modern di RS,” ucapnya.

Museum juga menyediakan wahana penelitian. Ada peneliti dari luar negeri yang datang untuk melihat sejarah kesehatan jiwa. Akhir tahun lalu, Mukti menuturkan, Kepala Badan Riset Belanda mempelajari pelayanan kesehatan jiwa pada masa zaman Hindia Belanda. “Kakeknya dulu dokter di sini. Saat ini sudah terjadwal 114 yang survei dan 139 yang akan melakukan penelitian,” kata Mukti.

Biaya operasional museum ini masih ditanggung rumah sakit dan pendapatan dari tiket masuk pengunjung hanya Rp 5.000 per orang. Mereka membuka kesempatan kepada pihak lain untuk berpartisipasi dalam pengelolaan museum modern.

Dua bulan lagi, RSJ Lawang akan meluncurkan Assessment Center Health Tourism dengan paket wisata kesehatan bernama Hasta Brata. Program ini memadukan Museum Kesehatan Jiwa dengan layanan kesehatan di RSJ Lawang. Tujuannya adalah memetakan pegawai yang berpotensi dengan melibatkan keilmuan psikologi industri, psikiatri, dan medical checkup. Program ini terkoneksi dengan Museum Singhasari di Malang dan Museum Trowulan di Mojokerto, Jawa Timur, untuk aspek kesehatan jiwa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menyaksikan Alat Terapi Listrik untuk Pasien di Masa Kolonial"

Eko Widianto

Eko Widianto

Koresponden Tempo di Malang

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus