Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menanti Dasar Hukum Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

Sejumlah aktivis perempuan mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Jika undang-undang ini disahkan, bakal ada ketentuan soal jam terbang, istirahat, dan lainnya.

20 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tak kunjung rampung sejak 2004.

  • Bakal mewajibkan pemberi upah menanggung biaya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

  • Presiden Jokowi disebut ingin rancangan undang-undang segera rampung.

JAKARTA — Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) masih jauh panggang dari api. Sejak diusulkan ke Komisi IX DPR pada 2004, hingga kini rancangan peraturan ini masih berbentuk draf yang tersimpan di gudang arsip Senayan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah aktivis perempuan terus-menerus meminta DPR agar segera menjadikan RUU PPRT sebagai produk hukum. Sebab, 84 persen dari total 4,2 juta pekerja domestik di Indonesia adalah perempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepastian pemberian jaminan sosial, jaminan kesehatan, perjanjian kerja, hak dan kewajiban, serta perlindungan fisik dan mental bagi asisten rumah tangga akan diatur dalam RUU tersebut. Selama ini, nasib para PRT benar-benar berada di tangan pemberi upah. Tak jarang, mereka menerima ketidakadilan, dari gaji, jam kerja, hingga kesehatan.

Unjuk rasa Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga di Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto

Eni, contohnya. Perempuan berusia 28 tahun itu mengaku tak mendapat hari libur yang jelas dari majikannya yang tinggal di Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat. "Dulu, seminggu sekali libur pada Sabtu. Tapi, lama-kelamaan, sebulan sekali saja liburnya," kata Eni, kemarin.

Libur berkurang, pekerjaan bertambah. Eni semula hanya diberi kewajiban bersih-bersih rumah, mencuci dan menyetrika baju, serta memasak. Belakangan, sejak anak majikannya membuka toko online, ia diminta membantu. Namun upahnya tak naik dari Rp 2,2 juta per bulan. "Enggak sampai larut malam sih, hanya lama-lama capek, dan pekerjaan saya sulit selesai," ujarnya.

Tidak ada jaminan kesehatan dari pemberi upah. Eni bersandar pada kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang ia bayar sendiri saban bulan. Dia pun sangat tertarik ketika mendengar kabar tentang RUU PPRT. "Jadi lebih jelas karena dibikinkan jaminan sosial dan perjanjian kerja," kata dia.

Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini, mengatakan RUU PPRT sangat diperlukan sebagai payung hukum bagi asisten rumah tangga. Mereka tidak diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dengan adanya undang-undang tersebut, PRT akan mendapat pengakuan sebagai pekerja.

Jika begitu, mereka pun akan mendapat kepastian jaminan sosial dan kesehatan. Selain itu, mereka bisa dimasukkan dalam data masyarakat miskin.

Di situlah negara bisa hadir dengan memberikan bantuan sosial, dari Program Keluarga Harapan (PKH) sampai beragam bantuan tunai lainnya. Toh, sejauh ini penyaluran bantuan sosial dari pemerintah kerap tak tepat sasaran. Singkat kata, daripada dana bantuan tersalurkan kepada orang yang salah, akan lebih baik diberikan kepada para PRT.

"Jadi, seperti subsidi silang. Pemberi kerja bisa membantu dengan membayar tunjangan kesehatan dan sosial. Sedangkan pemerintah melanjutkan bantuan sosialnya," kata Lita ketika dihubungi, kemarin.

Menurut dia, pengesahan RUU PPRT akan membawa Indonesia setara dengan negara lain yang lebih dulu memasang payung hukum kepada pekerja informal. Contoh terdekat adalah Filipina yang disebut Lita sudah lebih maju.

Negara yang berada di timur laut Indonesia itu telah mengatur beragam hak dan kewajiban untuk para PRT. Sebagai contoh, mereka telah mengakui PRT sebagai pekerja sektor non-formal. Filipina juga memberikan jaminan kesehatan dan sosial kepada mereka.

Bahkan Filipina sudah berani mematok batas upah minimal untuk para PRT. Misalnya di Ibu Kota Manila, gaji minimal PRT dan pekerja sektor non-formal lain, jika dirupiahkan, adalah Rp 1,3 juta. Upah tersebut semakin turun jika berada di daerah yang lebih kecil setingkat kabupaten.

Menurut Lita, RUU PPRT sejatinya tak menuntut pemberlakuan upah minimum di Indonesia. Sebab, latar belakang ekonomi majikan di Tanah Air lebih beragam. "Jadi, upah tetap didasarkan pada kesepakatan PRT dan pemberi kerja," kata Lita.

Karena standar gaji belum ditentukan, perlu kolaborasi antara pemberi upah dan pemerintah untuk melindungi serta menyalurkan bantuan kepada PRT. "Seperti skema di awal, jaminan kesehatan dan sosial dibebankan ke majikan. Sedangkan bantuan sosial wajib diberikan pemerintah," kata dia.

Direktur Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari, mengatakan usulan sistem pengupahan PRT masih memakai pola lama, yakni atas kesepakatan asisten rumah tangga dan pemberi upah. Namun, menurut dia, ada baiknya mengusulkan upah minimum regional khusus seperti yang dipakai Filipina. "Di kota minimal 60 persen dari UMR, di kabupaten 50 persen dari UMR," ujarnya.

Politikus PDI Perjuangan itu berharap akan ada kepastian besaran gaji dan waktu pembayaran gaji jika RUU PPRT nantinya disahkan. Diharapkan pula ada kontrak kerja antara PRT dan majikan untuk memperjelas hak dan kewajiban. "Kontrak diketahui RT, RW, dan Dinas Ketenagakerjaan," kata Eva.

UU PPRT sudah mendapat dukungan dari sejumlah fraksi di Komisi IX DPR. Namun, faktanya, RUU PPRT masih tertahan di Badan Legislasi (Baleg). Sebab, mereka belum menjadwalkan RUU PPRT dibahas dan disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam sidang paripurna. Komisi IX belum mengagendakan rapat khusus terkait dengan RUU PPRT karena memang sejak awal RUU ini diusulkan di Baleg.

Jauh dan Terjal RUU Perlindungan PRT

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Willy Aditya, mengatakan sejatinya Baleg bersepakat mengusulkan RUU PPRT menjadi usulan inisiatif DPR. Namun perlu rapat paripurna untuk mengetok palu bahwa RUU PPRT merupakan usulan inisiatif DPR. "Ketua DPR harus didesak agar segera memparipurnakan RUU PPRT," kata dia, kemarin.

Ia pun mendesak Istana untuk ambil suara mendorong RUU PPRT. Willy terinspirasi ketika Istana bereaksi terhadap polemik RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Saat itu sejumlah fraksi di DPR terbelah. Selain Istana, Willy menganggap ada baiknya Menteri Ketenagakerjaan ikut melobi Ketua DPR agar segera mengetok palu dalam rapat paripurna. "RUU TPKS saja bisa jadi cepat selesai kok, seharusnya ini (RUU PPRT) juga bisa," kata dia.

Sementara itu, Deputi II Kantor Staf Presiden Bidang Pembangunan Manusia, Abetnego Tarigan, menyebutkan pihaknya sedang membentuk satuan tugas percepatan pengesahan UU PPRT. Tak hanya itu, ia juga menyebutkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sudah berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo. "Kami mendapatkan informasi bahwa, secara prinsip, Presiden mendukung pengesahan RUU ini," ujar Abetnego.

Untuk mempercepat proses pengesahan, KSP pun sedang membentuk satgas yang berisi pejabat lintas kementerian. "Dari semua kementerian sudah mengirim pejabatnya," kata Abetnego.

Satgas ini kemudian mengurus sejumlah isu, seperti strategi politik serta pengembangan substansi komunikasi publik terkait dengan UU PPRT. Satgas bertujuan agar, ketika DPR telah menyepakati aturan ini, pemerintah pun bisa langsung menetapkannya menjadi undang-undang.

INDRA WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus