Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
RUU TNI kembali memantik kontroversi setelah beredarnya dokumen terbaru dari Cilangkap.
Rencana perluasan kewenangan TNI dalam rancangan RUU TNI sarat masalah.
Pemerintah didesak menghentikan agenda revisi UU TNI yang mengancam demokrasi.
JAKARTA – Setelah lama tenggelam, wacana perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia kembali memantik kontroversi. Kekhawatiran kalangan pro-demokrasi dan hak asasi manusia kini meningkat lantaran Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI terindikasi bakal memperluas kewenangan militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau kita baca, usulan-usulan perubahan dalam RUU TNI sebagian besar bermasalah," kata Direktur Eksekutif Imparsial, Ghufron Mabruri, kepada Tempo, Rabu, 10 Mei 2023. “Bukannya menjadikan TNI semakin profesional, revisi ini akan menganulir banyak agenda reformasi 1998."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah usulan perubahan pasal dalam RUU TNI yang dimaksudkan Ghufron itu mencuat dalam dokumen pemaparan Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI tentang revisi UU TNI beredar awal pekan ini. Berkas presentasi itu tak menyertakan tanggal, hanya tertulis dibuat pada April 2023. Namun akun Instagram @babinkum_tni mendokumentasikan adanya rapat pembahasan RUU TNI di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, pada Jumat pekan lalu, 28 April 2023.
Dalam pertemuan yang dipimpin Panglima TNI Laksamana Yudo Margono tersebut, Kepala Babinkum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro memaparkan rancangan revisi. Rapat juga diikuti jajaran pimpinan Mabes TNI.
Suasana rapat pemaparan revisi UU TNI di Mabes TNI, Cilangkap, 28 April 2023. Dok Instagram Babinkum TNI
Ghufron Mabruri, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, menyoroti rencana perubahan pada Bab III ihwal kedudukan TNI. Bunyi Pasal 3 ayat 1 dalam bab tersebut akan dirombak. Semula, pasal itu menyatakan bahwa, dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah presiden. Namun, dalam usulan perubahan, pasal dan ayat itu menyatakan TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara yang berkedudukan di bawah presiden.
Menurut Ghufron, ada dua ancaman serius dalam rancangan perubahan pasal tersebut. Pertama, kewenangan presiden sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer akan dihapus. Padahal Pasal 14 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pertahanan Negara menegaskan bahwa presiden berwenang dan bertanggung jawab atas pengerahan kekuatan TNI.
Ghufron khawatir pengerahan dan penggunaan kekuatan militer akan semakin tak terkontrol jika usulan penghapusan otorisasi presiden diadopsi. "Ini sangat berbahaya, merusak supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi," ujarnya.
Di sisi lain, usulan perubahan Pasal 3 ayat 1 dalam rancangan undang-undang tersebut juga memperluas area kewenangan TNI sampai ke urusan keamanan. Ghufron mengingatkan, selama ini kewenangan TNI dibatasi di bidang pertahanan yang berfokus pada ancaman eksternal. Adapun urusan keamanan dalam negeri merupakan kewenangan Kepolisian RI.
Ghufron menilai perluasan kewenangan tersebut berpotensi mengembalikan fungsi TNI seperti pada era Orde Baru. "Mereka dapat bergerak menghadapi masalah keamanan dalam negeri dengan dalih operasi militer selain perang," ucapnya.
Peneliti Imparsial, Husein Ahmad, mengingatkan bahwa TNI dididik, dibiayai, dan dipersenjatai untuk ancaman perang. Karena kekuatan dan kemampuannya yang begitu besar itulah kewenangan TNI dibatasi pada urusan pertahanan.
Sedangkan rencana perubahan dalam RUU TNI, kata Husein, seakan-akan hendak menjadi cek kosong bagi kembalinya militer ala Orde Baru. Gelagat itu, menurut dia, juga tampak dalam rancangan perubahan Pasal 7 ayat 2 yang mengatur tentang pelaksanaan tugas tentara. Jenis operasi militer selain perang, yang semula 14 item, bertambah menjadi 19 item.
Pasal Bermasalah Perluasan Kewenangan
Husein menilai tugas-tugas baru dalam RUU TNI menempatkan militer pada banyak urusan sipil. Poin ke-15 dalam Pasal 7 ayat 2, misalnya, memberikan tugas baru militer untuk mendukung upaya menanggulangi ancaman siber. Ada pula tugas baru TNI untuk mendukung penanggulangan penyalahgunaan narkotik. RUU TNI bahkan menugasi militer melaksanakan tugas lain yang ditetapkan presiden untuk mendukung pembangunan nasional. "Dalam spektrum politik, ini tanda bahwa dwifungsi ABRI akan kembali," kata dia.
Pengamat militer Khairul Fahmi mengatakan beberapa jenis operasi militer baru selain perang itu sebetulnya sudah dikerjakan TNI. Namun dia menyoroti tambahan tugas bagi TNI untuk mendukung pembangunan nasional. "Poin tugas baru ini berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan," ujarnya.
Khairul khawatir peran baru yang semakin jauh dari tugas pokok tentara semacam itu akan menyebabkan TNI semakin rentan menyalahgunakan kekuasaan. Dia mencontohkan, pelibatan tentara dalam program cetak sawah serta lumbung pangan (food estate) justru menimbulkan banyak persoalan. "Semestinya tugas operasi militer selain perang tetap merujuk pada tugas pokok TNI," kata dia.
Rozy Brilian, peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang juga tergabung dalam koalisi masyarakat sipil, sependapat. Dia menilai usulan tugas baru militer dalam RUU tersebut akan membuat TNI semakin tidak profesional. Lebih dari itu, dia mengkhawatirkan potensi pengerahan pasukan TNI yang masif dan tak terkontrol di masa depan. "Ini akan berisiko pada terjadinya pelanggaran HAM. Ini yang selama ini terjadi di Papua," ujarnya.
Pasukan Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU melakukan simulasi pembebasan sandera dalam pelaksanaan gladi bersih menjelang puncak upacara peringatan Hari Ulang Tahun Ke-77 TNI AU 2023, di Taxy Way Echo Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, 6 April 2023. TEMPO/Imam Sukamto
Rencana Revisi yang Tak Pernah Terbuka
Masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019-2024, draf RUU TNI masih misterius. Rancangan aturan anyar itu tak kunjung dibahas di parlemen kendati tahun lalu sempat disetujui menjadi bagian dari Prolegnas Prioritas 2022.
Walau begitu, pembahasan di lingkungan pemerintah dan TNI telah dimulai sejak jauh-jauh hari. Dokumen Babinkum TNI mencatat Markas Besar TNI telah membahas rencana revisi sejak 2010. Pada 23 Februari 2015, Panglima TNI saat itu, Jenderal Moeldoko, melayangkan surat bernomor R/142-13/01/15/SRU perihal RUU TNI kepada Menteri Pertahanan.
Belakangan, pada 9 Januari 2019, giliran Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo ihwal rancangan undang-undang ini. Kala itu, seperti tertuang dalam dokumen Babinkum TNI, RUU TNI diusulkan menambah jumlah instansi pemerintah yang dapat ditempati prajurit aktif.
Pada masa itu, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga merampungkan naskah akademik RUU TNI. Naskah akademik itu menyatakan TNI memiliki kekuatan dan kemampuan yang dapat membantu kementerian dan lembaga lain dalam menyelesaikan tugas-tugas pemerintahan.
Namun bunyi pasal-pasal yang akan diubah dalam naskah akademik itu berbeda dengan paparan Babinkum TNI. Pasal 3 ayat 1, misalnya, tak diubah sehingga presiden tetap memegang otoritas dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer. Naskah akademik juga tak merancang perubahan Pasal 7 UU TNI.
Peneliti Imparsial, Husein Ahmad, mengkhawatirkan penyiapan naskah RUU TNI yang selama ini tertutup. "Pemerintah dan TNI harus membahas RUU TNI secara terbuka," ujarnya.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksda Julius Widjojono. ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, gabungan 18 organisasi, mendesak pemerintah tak melanjutkan agenda revisi UU TNI. Selain tidak urgen, mereka menilai substansi usulan perubahan dalam RUU TNI sangat membahayakan demokrasi dan pemajuan HAM. "Lebih baik pemerintah fokus menyelesaikan pekerjaan rumah reformasi TNI yang tertunda," kata narahubung koalisi dari Centra Initiative, Al Araf. "Evaluasi dan koreksi secara menyeluruh juga harus dilakukan terhadap penyimpangan tugas pokok TNI selama ini."
Juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, belum membalas pesan dan telepon Tempo soal penyusunan RUU TNI di tingkat pemerintah. Adapun Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi pertahanan, Christina Aryani, menyatakan Dewan belum berencana membahas RUU TNI. "Sampai saat ini, pemerintah belum melakukan komunikasi lanjutan kepada Komisi I," ujar Christina, kemarin.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono enggan menanggapi pernyataan koalisi masyarakat sipil. Dia hanya mengatakan draf RUU TNI yang beredar masih konsep internal di lingkungan TNI.
Julius membenarkan bahwa RUU TNI disusun Babinkum dan disampaikan kepada Panglima Yudo Margono pada akhir April lalu. "Tapi belum diterima Panglima, baru paparan," kata dia. "Sehingga belum dikirim ke Kementerian Pertahanan."
HENDRIK YAPUTRA | AGOENG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo