Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tim khusus Mabes Polri perlu menganalisis sejumlah bukti melalui forensik digital atas kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Rekaman kamera pengawas atau CCTV (closed-circuit television) dan isi percakapan semua telepon seluler harus dianalisis.
Perbedaan keterangan antara kepolisian dan Komnas HAM perlu dijelaskan secara menyeluruh kepada publik.
JAKARTA – Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menyebutkan data rekaman kamera pengawas atau closed-circuit television (CCTV) yang diungkap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) semakin menguatkan kejanggalan kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal, IPW bahkan sudah membaca adanya sejumlah kejanggalan kematian Brigadir Yosua tersebut, yang versi kepolisian disebutkan terjadi di rumah dinas Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. “Satu di antaranya adanya pengambilan secara paksa decorder CCTV di sekitar rumah Ferdy Sambo,” kata Sugeng, Jumat, 29 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejanggalan lain, kata Sugeng, rekaman CCTV di Kompleks Polri Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan, dikabarkan menghilang atau diambil orang-orang tak berseragam tanpa surat penyitaan. Satu di antaranya decorder atau alat penyimpan rekaman yang berada di pos satuan pengamanan Kompleks Polri tersebut.
Berikutnya, kepolisian menyebutkan rekaman CCTV di rumah dinas Ferdy rusak sebelum kematian Yosua akibat sambaran petir. Tapi penjelasan kepolisian ini berbeda dengan temuan Komnas HAM. Dua hari lalu, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, kepada tim lembaganya, ajudan Ferdy justru menjelaskan bahwa CCTV di rumah dinas sudah lama tak berfungsi.
"Sebetulnya ini berbeda dengan keterangan (polisi) yang menyebutkan CCTV itu rusak disambar petir. Kalau menurut keterangan ADC (aide-de-camp alias ajudan) yang diperiksa, CCTV itu sudah lama tak berfungsi," kata Taufan.
Menurut Sugeng, perbedaan informasi tersebut seharusnya diperjelas. Sebab, penyebab kerusakan CCTV di rumah Ferdy dapat menjadi petunjuk kronologi kematian Yosua.
CCTV yang berada di depan kediaman Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo, di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta, 15 Juli 2022. TEMPO/Subekti
Sugeng juga mempersoalkan rekaman CCTV di rumah pribadi Ferdy, Jalan Saguling 3, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Rumah pribadi ini berjarak sekitar 500 meter dari rumah dinas. Kamera pengawas di rumah pribadi merekam kedatangan Putri Candrawathi, istri Ferdy; Yosua; Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudhiang Lumiu alias Bharada E; serta ajudan lain dan staf sekitar pukul 16.20, Jumat, 8 Juli 2022. Rombongan Putri baru pulang dari Magelang, Jawa Tengah. Sedangkan rombongan Ferdy, yang baru pulang dari Semarang, juga terekam CCTV sekitar 40 menit lebih awal dari rombongan Putri.
Setelah tiba, Putri, Yosua, Eliezer, serta rombongan melakukan tes polymerase chain reaction (PCR) Covid-19 di rumah pribadi tersebut. Selanjutnya, Putri, Yosua, Eliezer, dan dua ajudan lain ke luar rumah pribadi sekitar pukul 17.00.
Namun Komnas HAM tak menyebutkan adanya rekaman yang menunjukkan Ferdy menjalani tes PCR di rumah pribadi tersebut. Sugeng berpendapat, tim khusus Polri seharusnya memverifikasi semua rekaman CCTV di rumah pribadi Ferdy tersebut. Tujuannya untuk memastikan lokasi Ferdy menjalani tes PCR. Apalagi sejak awal kepolisian menyebutkan Ferdy tak berada di rumah dinas saat kematian Yosua karena tengah ke luar rumah untuk menjalani tes Covid-19 tersebut.
Sugeng menyarankan kepolisian menganalisis bukti-bukti melalui forensik digital. Misalnya, mencocokkan rekaman CCTV dan melacak semua telepon seluler milik pihak terkait, antara lain kepunyaan Ferdy, Putri, serta ajudan dan staf. Penyidik kepolisian juga mesti menganalisis call data recorder (CDR) percakapan masing-masing pihak. “Ponsel mereka semestinya disita semua,” kata dia.
Tim Inafis Mabes Polri kembali melakukan olah TKP di kediaman Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo, di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta, 14 Juli 2022. TEMPO/Subekti
Sugeng berharap tim khusus Polri profesional menuntaskan berbagai kejanggalan dalam kematian Yosua tersebut. Versi kepolisian, Yosua meninggal akibat baku tembak dengan Bharada Eliezer di rumah dinas Ferdy sekitar pukul 17.30, 8 Juli lalu. Saat konferensi pers pada 12 Juli lalu, kepolisian menyebutkan insiden baku tembak antara Yosua dan Eliezer terjadi di lantai satu rumah. Penyebabnya, Yosua disebut-sebut melecehkan Putri yang tengah beristirahat di kamar lantai satu.
Eliezer, yang berada di lantai dua, mendengar teriakan meminta tolong. Ia lantas bertanya kepada Yosua, tapi direspons dengan tembakan. Eliezer pun membalas tembakan tersebut. Yosua tewas tertembak dalam insiden ini. Sedangkan Eliezer sama sekali tak terluka. Polisi menyebutkan ada tujuh luka tembak pada tubuh Yosua.
Insiden di rumah dinas Ferdy hanya bersumber dari keterangan ajudan. Komnas HAM juga memperoleh keterangan serupa saat memeriksa ajudan Ferdy. Ahmad Taufan Damanik menyebutkan keterangan ajudan Ferdy itu perlu dicocokkan dengan berbagai fakta, bukti, dan petunjuk lainnya.
Ahmad mengakui Komnas HAM sama sekali tak mendapat rekaman CCTV di rumah dinas Ferdy tersebut. Namun Komnas HAM berharap memperoleh berbagai bukti dan petunjuk lain untuk dicocokkan dengan keterangan ajudan Ferdy.
"Di situlah akan jadi titik masalah mencari kebenaran yang sesungguhnya," kata Taufan.
Kuasa hukum keluarga Yosua, Martin Lukas Simanjuntak, menyebutkan pernyataan Komnas HAM memberi beberapa petunjuk. Misalnya, Ferdy terekam kamera CCTV berada di rumah pribadinya pada Jumat sore itu. Di rumah pribadi tersebut juga dilakukan tes PCR untuk Putri, ajudan dan staf, serta keluarga Ferdy.
Nelson Simanjuntak, juga kuasa hukum keluarga Yosua, mengatakan paparan Komnas HAM tersebut memperjelas dugaan ancaman pembunuhan yang sempat disampaikan Yosua kepada kekasihnya, Vera Simanjuntak. Sesuai dengan rekaman CCTV yang diungkap Komnas HAM, Yosua dan Vera berkomunikasi lewat telepon pada pukul 16.31.
Nelson melanjutkan, hasil rekaman CCTV yang dibeberkan Komnas HAM itu belum didapatkan pihak keluarga. Kepolisian juga tak memberi penjelasan tentang isi rekaman CCTV tersebut. “Setelah pemeriksaan keluarga kemarin, belum ada konfrontasi dengan bukti CCTV ini,” kata dia.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ikut memantau proses penyidikan kematian Yosua ini. Kepentingan LPSK dalam kasus ini adalah ada beberapa pihak yang mengajukan perlindungan ke lembaganya, antara lain Putri dan Eliezer.
Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi, mengatakan lembaganya tengah memproses permohonan perlindungan yang diajukan Putri dan Eliezer. Kemarin, Eliezer mengikuti sesi pertama penilaian psikologi. Adapun penilaian psikologi terhadap Putri belum dilakukan karena ia tak bisa hadir, kemarin. LPSK akan menjadwal ulang penilaian psikologi Putri.
Edwin mengatakan LPSK juga membuka diri untuk memberikan perlindungan terhadap keluarga Yosua ataupun Vera Simanjuntak. Tapi sejauh ini mereka belum mengajukan permohonan ke LPSK.
Kemarin, LPSK memaparkan langkah-langkahnya dalam menindaklanjuti perlindungan berbagai pihak terkait dengan kasus kematian Brigadir Yosua kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. “Kami menyampaikan hal-hal yang sudah kami lakukan, termasuk beberapa catatan krusial dan proses yang sudah kami lakukan,” kata Edwin.
AVIT HIDAYAT | FIRYAAL TSAABITAH (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo