Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Harta karun arkeologi seperti terus bermunculan di sepanjang penggalian terowongan MRT Jakarta fase 2A, Bundaran HI-Kota. Saat mengeruk tanah di Glodok, Jakarta Barat, pada akhir tahun lalu, backhoe pekerja membentur struktur berupa saluran air kuno dari tanah liat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal, MRT Jakarta meminta para pekerja untuk ekstra hati-hati saat menggali terowongan koridor sepanjang 5,8 kilometer tersebut. Sebab, mereka yakin ada potensi persinggungan pembangunan fisik dan peninggalan sejarah di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atas pertimbangan konservasi itu, perusahaan menugaskan sekelompok arkeolog mendampingi penggalian. Benar saja, pada awal tahun ini, misalnya, petugas mendapati rel trem dari abad XIX di sekitar Mangga Besar. Mereka juga menemukan potongan tulang dan gigi binatang, fragmen keramik, peluru, serta koin.
Di Glodok, tim arkeolog MRT menyatakan saluran air kuno itu merupakan jalur air bersih untuk warga Batavia Lama, yang sekarang menjadi Kota Tua. "Mereka butuh air bersih untuk minum, mandi, juga kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan," kata Junus Satrio Atmodjo, ketua tim arkeologi MRT, kepada Tempo, Kamis, 22 September 2022.
Pekerja membersihkan saluran air kuno di proyek pembangunan jalur MRT Jakarta fase 2 CP-203 di Glodok, Jakarta Barat, 20 September 2022. Tempo/Tony Hartawan
Awalnya, dia melanjutkan, sekitar 10 ribuan warga Batavia mengambil air dari Ciliwung dan kanal-kanal yang dibangun di dalam kota. Namun, lama-kelamaan, pada abad XVIII, badan air yang membelah kota itu kian kotor. "Mereka lupa memperhitungkan faktor pasang-surut air laut, sehingga saat pasang naik, air tidak mengalir ke laut dan malah berbalik ke kota. Akibatnya, saluran-saluran air jadi kotor," ujar Junus.
Karena itu, Batavia butuh pasokan air bersih. Saluran air kuno tersebut mulai dirancang pada 1730, tapi baru digunakan pada awal 1800-an. Pemakaiannya diperkirakan tak lama karena, pada 1808, wabah kolera dan malaria memaksa Gubernur Jenderal Daendels memindahkan kota sekitar 7 kilometer ke selatan. Daerah itu merupakan daerah hijau yang disebut Weltevreden, dengan pusat pemerintahan di istana yang kini menjadi gedung Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Pembangunan saluran air itu kelewat lama karena material utama, yaitu batu bata, didatangkan dari Belanda. Kapal-kapal yang membawa hasil bumi Nusantara ke Eropa tidak bisa kembali dengan lambung kosong jika tak ingin limbung. Maka armada itu diisi batu bata sebagai pemberat.
Air dipasok dari terusan Ciliwung—kini antara Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Sebelum masuk kota, tirta ditampung dan disaring di waterplaats atau kolam. Nama Pancoran diambil dari instalasi tersebut. Saluran itu terbentang sampai pasar ikan di ujung utara.
Junus menilai struktur ini merupakan obyek bersejarah. "Ini saluran air bersih paling tua di Indonesia," kata arkeolog lulusan Universitas Indonesia ini. "Tidak ditemukan di kota-kota lain."
Tim arkeologi akan mengangkat saluran air kuno tersebut untuk kemudian dipajang di stasiun MRT. "Jadi, orang bisa melihat dulu di Jakarta pernah ada saluran seperti ini," ujarnya. Mereka juga akan melengkapi cagar budaya itu dengan narasi, foto, dan peta.
Struktur saluran air peninggalan abad XVIII di Glodok, Jakarta Barat, 20 September 2022. Tempo/Tony Hartawan
Kota Tua Memendam Banyak Benda Bersejarah
Kepingan sejarah diyakini banyak terpendam di bumi Kota Tua Jakarta. Pada 2010, misalnya, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua menggali sebidang tanah di sisi utara Taman Fatahillah untuk mencari bukti peninggalan rel trem—moda transportasi massal Batavia yang beroperasi mulai 1883.
Candrian Attahiyat, Kepala UPT Kota Tua pada 2006-2014, yakin ada pertemuan jalur trem di lokasi tersebut. Tepatnya antara Gedung Pos dan Gedung Jasindo. Betul saja, di kedalaman sekitar 1 meter, tersembul rel trem yang dihentikan penggunaannya oleh Presiden Sukarno pada 1958 tersebut.
Penggalan rel itu lalu dibuat menjadi etalase sehingga mudah dilihat pengunjung. "Ini jadi bukti perkembangan transportasi di Jakarta," ujar arkeolog dari Universitas Indonesia tersebut.
REZA MAULANA | ANIS SANIA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo