Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN dengan Aman Abdurrahman di Lembaga Pemasyarakatan Kembang Kuning, Nusakambangan, pertengahan Agustus 2014, masih membekas pada ingatan Ridwan Anwari alias Ustad Lukman. Bersama sepuluh petugas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ridwan diberi tugas lembaga itu menjadi agen deradikalisasi bagi Aman.
Mengenakan setelan baju koko putih, menurut Ridwan, Aman ketika itu menyambutnya dengan takzim. Terpidana sembilan tahun kasus pendanaan pelatihan militer di Pegunungan Jalin, Jantho, Aceh Besar, pada 2010 itu juga mengulurkan tangan sembari mengucap salam kepada Ridwan. Tapi sikap "hangat" Aman itu tidak bertahan lama. "Baru sekitar sepuluh menit kami berdiskusi, saya sudah dibilang munafik oleh Aman," kata Ridwan kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Menurut Ridwan, Aman melontarkan kata "munafik" karena menilai dia bagian dari pemerintah dengan menjadi agen deradikalisasi BNPT. Dari 20 menit diskusinya dengan pria bernama asli Oman Rochman itu, Ridwan menganggap upaya deradikalisasinya tidak berhasil. Ridwan menilai Aman tidak banyak berubah seperti saat pertama kali bertemu dengannya di salah satu masjid di Bekasi pada 2009. "Dia selalu bicara 'hitam-putih' jika diajak berbicara soal ideologi dan jihad," ujar Ridwan. "Hitam-putih" yang dimaksud Ridwan adalah Aman selalu menempatkan dirinya di pihak yang benar, sedangkan orang lain yang tidak sepaham dengannya sebagai pihak yang salah.
Upaya deradikalisasi Aman memang terbukti gagal total. Beberapa kali mendapat pembinaan, ia justru semakin menancapkan pengaruhnya dalam peta jaringan terorisme Indonesia. Pada Februari 2015, misalnya, di balik tembok penjara, Aman menginstruksikan semua kelompok pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) Indonesia melebur menjadi satu dalam kelompok Ansharut Daulah Indonesia. Awal Januari 2014, Aman berbaiat ke ISIS dan memerintahkan pengiriman pengikutnya ke sana. Belakangan, Detasemen Khusus 88 Antiteror mencurigainya sebagai pemberi perintah teror bom di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, Kamis tiga pekan lalu.
Pada Juli 2014, pemimpin Jamaah Ansharut Tauhid, Abu Bakar Ba'asyir, yang saat ini satu penjara dengan Aman, berbaiat ke ISIS. Foto Ba'asyir bersama 13 penghuni penjara tengah dibaiat menyebar ke dunia maya. Ba'asyir bergabung dengan ISIS karena pengaruh Aman. Pada bulan yang sama, Aman juga membaiatkan ke ISIS empat narapidana teroris di penjara tersebut.
Lahir di Cimalaka, Sumedang, Jawa Barat, 5 Januari 1972, Aman kecil dikenal sebagai sosok yang lugu, tidak supel, dan jarang bergaul dengan teman-teman sebayanya. Tapi, menurut mantan guru mengaji Aman, Afief Abdul Lathief, sejak masuk bangku sekolah dasar, Aman memiliki kecerdasan di atas rata-rata teman sepengajiannya. "Waktunya banyak dihabiskan dengan bersekolah, mengaji, dan membantu orang tua memotong rumput di kebun," ujar Afief saat ditemui Tempo di Pondok Pesantren At-Tarbiyah, Cimalaka.
Minat Aman terhadap agama mulai kelihatan saat ia memasuki bangku kelas IV sekolah dasar. Setiap subuh dan isya, kata pendiri Pondok Pesantren At-Tarbiyah itu, Aman getol belajar ilmu Al-Quran dan hadis kepadanya. Ketika itu, jarak rumah Aman ke pesantren Afief sekitar 200 meter. "Santri kalong istilahnya. Jadi ikut jadwal pesantren, tapi tinggal di rumah," ujarnya.
Karena kecerdasannya, Aman dijadikan Afief sebagai murid kesayangannya. Ia bahkan meminta kepada orang tua Aman agar menyekolahkannya di madrasah aliyah program khusus di Ciamis. Afief bahkan yakin Aman kelak bisa menjadi kiai hebat yang disegani dan menjadi pemimpin pondok pesantren di kampung halamannya. "Sampai sekarang masih berharap, tidak putus harapan saya," katanya.
Ketika mendengar kabar bahwa Aman terlibat kasus bom Cimanggis 2003, Afief begitu terperenyak saking tidak percaya. Afief sempat menemui Aman ketika ia mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, karena kasus bom Cimanggis. Setelah bebas dari penjara itu, Aman juga sempat mengunjunginya di pesantren. Namun Afief lupa waktunya. "Sejak kecil, ia tidak pernah punya pemikiran menyimpang," ujarnya.
Pria 65 tahun itu menduga mantan muridnya ini memiliki pemahaman dan keyakinan yang dianut sekarang setelah kuliah di Jakarta. Menurut Afief, pola pengajaran di tempat kuliah Aman itu hanya memberikan pemahaman lewat hadis dan tafsir Al-Quran tertentu. "Saat masuk lembaga itu, saya amati ia mulai berubah," katanya.
Dihukum tujuh tahun karena kasus bom Cimanggis tak membuat kiprah Aman redup menyuarakan jihad. Menurut tulisan Abu Qutaibah di blog "Millah Ibrahim" milik kelompok Tauhid Wal Jihad, kendati dipenjara, Aman tak surut menggelar pengajian yang menyuarakan seruan jihad. Abu Qutaibah merupakan orang kepercayaan Aman asal Bima untuk kelompok Tauhid Wal Jihad, yang dibentuk pada 2003. Abu Qutaibah kerap berkomunikasi dengan Aman ketika mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kembang Kuning. "Tema yang diangkat tak jauh dari jihad dan pelatihan militer," kata Abu Qutaibah menulis di blog tersebut.
Setelah menyelesaikan hukuman kasus Cimanggis pada Juni 2008, Aman sempat berpindah-pindah menjadi guru dan ustad di pondok pesantren. Salah satunya, dia menjadi dai dan imam di Masjid Yayasan Al-Sofwa, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Kemudian dia sempat menjadi dosen di almamaternya di kampus Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Namun Aman keluar dari dua lembaga tersebut karena perbedaan pandangan. Ketika dimintai konfirmasi soal ini oleh Tempo, pihak Yayasan Al-Sofwa dan LIPIA menolak menanggapi keberadaan Aman saat bekerja di lembaga tersebut.
Dua tahun kemudian, Aman terseret dalam kasus pelatihan militer di Jalin, Jantho, Aceh Besar. Ia dituduh memberikan sumbangan dana Rp 20 juta dan US$ 100 kepada Dulmatin serta mengirim empat muridnya mengikuti pelatihan. Pada Maret 2010, ia dicokok di rumahnya di Sumedang, Jawa Barat. Kasus inilah yang kemudian mengantarkan Aman ke Nusakambangan, sampai sekarang.
Meski sudah di penjara, nama Aman kembali disebut-sebut terkait dengan Kelompok Cibiru, yang melakukan pelatihan militer pada 2010. Salah satu terdakwa, Helmy Purwandani alias Hamzah, yang ditangkap pada Agustus 2010, mengaku rutin mengikuti pengajian Aman bersama Kurnia Widodo, Fahrur Rozi, Muhammad Iqbal, dan Abdul Ghofur. Kelompok pengajian Aman itu disebut sebagai kelompok pengajian Cibiru. Kendati lima murid mengajinya ditangkap, Aman dianggap tidak ada kaitannya dengan kasus itu.
Seorang petinggi Detasemen Khusus 88 menyebutkan, di mata mantan muridnya, baik yang mendapat pendidikan di luar penjara maupun di dalam penjara, Aman adalah pemimpin besar. Termasuk, kata dia, di mata Bachrumsyah dan Bahrunnaim Anggih Tamtomo, dua pentolan ISIS Indonesia yang kini berada di Suriah. Bachrumsyah dan Bahrun disebut kepolisian sebagai dalang kasus teror bom Thamrin. "Kalau Aman bilang tidak suka sama seseorang, ini bisa diartikan anak buahnya sebagai perintah membunuh orang itu," ujarnya.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti mengatakan saat ini Aman adalah orang yang berada di posisi puncak struktur jaringan ISIS Nusantara. "Dia ini amirnya. Tugasnya memberi tausiyah," kata Badrodin.
Nur Haryanto (Jakarta), Iqbal T. Lazuardi S. (Bandung), Candra Nugraha (Ciamis)
Aman Abdurrahman
Tempat dan tanggal lahir: Cimalaka, Sumedang, Jawa Barat, 5 Januari 1972
Keluarga: Satu istri dan empat anak.
Pendidikan
Pekerjaan:
Rekam jejak kegiatan terorisme:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo