Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA puncak prestasinya, siapa sprinter terbaik Indonesia: Mohamad Sarengat atau Lalu Muhammad Zohri? Kalau ukurannya hanya catatan waktu, Zohri jelas unggul. Anak Nusa Tenggara Barat itu berlari 10,18 detik di nomor 100 meter dalam Kejuaraan Dunia Atletik U-20 di Tampere, Finlandia, Juli lalu. Zohri yang baru 18 tahun itu diramalkan segera memecahkan rekor Indonesia yang terpaut seperseratus detik dari waktunya-dicatatkan Suryo Agung Wibowo dalam SEA Games 2009.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sarengat dan Zohri terpaut rentang waktu 46 tahun. Teknologi permukaan lapangan dan sepatu sudah jauh berbeda. Sarengat berlari di atas lapangan gravel (bata merah yang dihancurkan) Stadion Utama Senayan, dengan sepatu (spikes) berpaku 15 milimeter. Sedangkan Zohri bertanding di lapangan Tartan (karet sintetis) dengan sepatu berpaku lebih pendek, sekitar 6 milimeter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perbedaan bahan permukaan lapangan itu signifikan. Dalam laporan yang diterbitkan Journal of Applied Physiology pada 2002, Amy Kerdok dan kawan-kawan menyatakan trek lari yang terbuat dari poliuretan (campuran karet dan plastik) itu meningkatkan kecepatan lari 2-3 persen. Mohamad Sarengat dalam Asian Games 1962 mencatatkan waktu 10,5 detik di lapangan gravel. Seandainya ia berlari di lapangan Tartan, catatannya mungkin 10,185 detik-sama dengan prestasi Zohri di Finlandia. Ini baru soal lapangan, belum kalau Sarengat memakai spikes dengan paku pendek seperti Zohri.
Ada keistimewaan Sarengat yang tak dimiliki Zohri. Pada 1962 itu, Sarengat menjadi manusia tercepat di Asia. Sarengat juga meraih emas di nomor 110 meter gawang dan medali perunggu di nomor 200 meter. Sampai dia wafat pada 13 Oktober 2014, pada usia 74 tahun, belum ada atlet Indonesia yang melampaui prestasi medali Asian Games yang diraihnya.
Indonesia terlambat menemukan pengganti Sarengat. Sejak dia mencetak sejarah di Jakarta, dunia atletik Indonesia perlu menunggu 22 tahun untuk melahirkan Purnomo Muhammad Yudhi, yang mencetak catatan waktu 10,29 detik dalam Olimpiade 1984. Rekor Purnomo bertahan lima tahun, sebelum Mardi Lestari berlari 10,20 detik pada 1989. Baru pada 2009, dua puluh tahun kemudian, Suryo Agung Wibowo mencatatkan waktu 10,17 detik. Rekor ini bertahan sampai sekarang. Artinya, sprinter Indonesia setelah Asian Games 1962 memerlukan waktu 47 tahun untuk berlari lebih cepat 0,33 detik dibanding Sarengat.
Sementara itu, negara Asia lain berkembang lebih cepat. Dalam Asian Games Teheran 1974, pelari Thailand, Anat Ratanapol, mencatatkan waktu 10,42 detik dan mematahkan rekor Sarengat yang bertahan 12 tahun. Siklus 12 tahun rupanya berulang. Dalam Asian Games 1986, Talal Mansour dari Qatar mencetak rekor 10,30 detik. Delapan tahun kemudian, Mansour menajamkan rekornya menjadi 10,18 detik. Batas 10 detik hampir dijebol pelari Jepang, Koji Ito, dalam Asian Games 1998 di Bangkok. Ito mencatatkan waktu 10,05 detik.
Rekor Ito bertahan lama sebelum Femi Ogunode dari Qatar merebut emas Asian Games Incheon 2014 dengan 9,93 detik, mengalahkan Su Bingtian dari Cina yang berlari 10,10 detik. Femi yang berdarah Nigeria itu tercatat sebagai orang kedua di Asia yang mampu berlari di bawah 10 detik. Orang pertama adalah Samuel Francis, warga Qatar kelahiran Nigeria, yang mencatatkan waktu 9,99 detik di Amman pada 2007. Su Bingtian juga memiliki waktu terbaik 9,91 detik pada 2018. Ogunode dan Bingtian dikabarkan akan bertanding dalam Asian Games Jakarta nanti, menjadi lawan berat bagi Lalu Zohri dan Yaspi Boby dari Indonesia.
Selama 52 tahun sejarah Asian Games-dari Jakarta sampai Incheon-pelari Indonesia belum mampu menembus catatan 10 detik, sedangkan pelari Qatar dan Cina sudah menyalip Indonesia dengan 9,93 dan 9,91 detik. Rekor Asia ini memang masih terpaut "jauh" dari rekor Afrika, 9,85 detik, yang dipegang Olusoji Fasuba asal Nigeria sejak 2006. Rekor dunia masih di tangan Usain Bolt dari Jamaika dengan 9,58 detik sejak 2009.
Itu bukan berarti pembinaan atletik Indonesia macet. Bob Hasan, pengusaha dan menteri di era Soeharto, sejak memimpin Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) pada 1978 telah membuat banyak terobosan. Pada 1983, Bob yang sehari-hari memang "gila lari" itu membangun stadion khusus atletik pertama Indonesia-dinamai Stadion Madya-yang sebelumnya arena balap anjing. PASI juga mengirim atlet berlatih ke Amerika Serikat, Jerman Barat, dan Australia. Sering juga ada coaching clinic oleh pelatih asing yang diundang ke Jakarta. Belakangan, PASI malah mendatangkan pelatih kelas dunia, seperti pelatih lompat galah Anatoly Chernobai dari Rusia dan pelatih lari Harry Marra dari Amerika.
Bob Hasan-lah yang membalikkan arah pembinaan atlet lari Indonesia. Dulu Indonesia berkonsentrasi mencetak pelari jarak jauh, misalnya 10 kilometer. Pilihan ini dikoreksi. PASI kemudian mengalihkan fokus pada pencarian sprinter. Bob Hasan, kini 87 tahun, melihat bahwa pelari 100 meter berpeluang turun juga di enam nomor perorangan ataupun estafet.
Maka, sejak 2006, PASI rutin menyelenggarakan kejuaraan nasional junior 100 meter. Dari sinilah terjaring para pelari cepat Indonesia pasca-era Sarengat, misalnya Suryo Agung Wibowo. Sejak 2009, program ini seperti "bersambung" dengan pusat pendidikan dan latihan olahraga pelajar (PPLP) yang dijalankan pemerintah di 33 provinsi. Ini kolaborasi pemerintah dan pengurus cabang olahraga, termasuk PASI. Siswa PPLP dimasukkan ke asrama dan dilatih secara intensif. Atletik adalah satu dari sekitar 20 cabang olahraga program PPLP. Setiap tahun, kejuaraan nasional antar-PPLP diadakan. Lalu Muhammad Zohri adalah salah satu atlet "temuan" PPLP.
Tentu PPLP tidak serta-merta menjadi tambang atlet berprestasi. Program bagus PPLP, sayangnya, tidak diimbangi dengan sarana olahraga yang memadai. Bahkan sekolah atlet terkenal seperti Ragunan saja lintasan atletiknya tidak terurus. Belum lama ini, dalam persiapan Asian Games Jakarta, Bob Hasan mengusulkan perbaikan lintasan Tartan di sekolah itu. Tartan lama Ragunan sudah menjadi semacam "aspal" yang keras, yang malah membahayakan atlet. Hanya sedikit daerah yang memiliki fasilitas atletik. Belum lagi urusan kualitas pelatih yang rendah, sistem rekrutmen atlet yang tidak memenuhi standar, dan manajemen latihan yang lemah.
Dana pembinaan atlet pun cekak. Bahkan Bob Hasan mengaku menggunakan duit sendiri, juga donasi teman-temannya, untuk menghidupi atletik dan PASI. Dalam kondisi seperti itu, seharusnya pemerintah berfokus saja pada beberapa cabang olahraga yang berpotensi mencetak atlet kelas dunia, setidaknya kelas Asia. PPLP, yang membina sekitar 20 cabang olahraga, boleh dikatakan terlampau ambisius. Kalau saja cabang olahraga bisa dikurangi, misalnya menjadi 10 cabang saja, dan atletik sebagai "ibu olahraga" tergolong prioritas, tentu lebih banyak dana bisa dialokasikan untuk meningkatkan intensitas latihan di PPLP. Pasokan bibit yang lebih baik memudahkan PASI memoles prestasi si atlet. Rantai pembinaan ini yang sekarang kurang berjalan serasi.
Ihwal fokus pada atletik, belajarlah kepada Jamaika, kiblat dunia lari jarak pendek. Negara di Kepulauan Karibia dengan luas kurang dari sepertiga Jawa Barat ini berpenduduk 2,9 juta jiwa-kurang-lebih seperenam belas Jawa Barat. Tapi entah mengapa Tuhan menurunkan gen ACTN3 dan ACE lebih banyak kepada orang Jamaika. Hampir 98 persen orang Jamaika mempunyai setidaknya satu kumparan gen itu. Dua gen ini berperan penting dalam sintesis protein dan kontraksi otot, semacam "busi kualitas terbaik" pada sistem yang membangun kecepatan berlari manusia.
Mike Young, doktor biomekanis yang memegang sertifikat Level 3 Track & Field Amerika Serikat, yang meneliti soal genetik tersebut, juga menemukan beberapa kunci sukses Jamaika dalam sprint. Semua pelatih atletik di pulau itu pegawai pemerintah, sehingga kontinuitas program terjaga baik. Yang terpenting, Jamaika melatih calon atletnya sejak usia taman kanak-kanak. Mereka berlatih di lapangan rumput. Itu sebabnya jarang ada atlet muda yang cedera. Di tingkat sekolah menengah, bibit atlet yang menonjol mendapatkan pelatih "pribadi" yang terus mengawal mereka sampai jenjang profesional.
Jamaika dalam sprint sudah seperti Bulgaria dalam angkat beban, Kenya dalam lari jarak jauh, atau Brasil dalam sepak bola. Ini lantaran pemerintahnya berfokus mengembangkan dua cabang olahraga unggulan: atletik dan kriket. Mike Young juga menemukan fakta bahwa pola diet orang Jamaika, yang tidak mengenal banyak makanan "gorengan" dan "kalengan", berpengaruh besar pada prestasi atlet. Diet Jamaika penuh buah, sayuran, dan makanan laut segar. Bahkan Usain Bolt hanya makan semacam ubi-ubian. Diet itu bermanfaat meningkatkan ekspresi dua gen khas Jamaika tersebut untuk mendatangkan kinerja atletik yang maksimal. Diet ini pula yang dipercaya membuat orang Jamaika lebih dominan dalam lari ketimbang atlet Karibia, Afrika Barat, dan Amerika Serikat, yang memiliki profil genetik serupa tapi tak sama.
Pelajaran dari Jamaika? Kita memerlukan talent scouting berbasis riset untuk mencari bibit atlet dengan dua gen unggulan tersebut. Dan hal itu mesti dilakukan sejak sangat dini, dengan pola makan terjaga, dan lewat program latihan yang sistematis.
Dalam Asian Games Jakarta, Lalu Zohri barangkali perlu "berjudi dengan nasib" untuk menandingi Femi Ogunode dan Su Bingtian. Tapi, dalam Asian Games empat tahun mendatang, ketika Zohri berusia 22 tahun, dia berpeluang menyaingi Sarengat: merebut emas Asian Games.
Toriq Hadad
Wartawan Tempo
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo