Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKO Supriyanto tengah berada di Belgia saat menerima naskah skenario Sunya dari Harry Dagoe melalui surat elektronik. Saat itu, tahun 2012, Eko sedang menonton Batman: The Dark Knight Rises di sela-sela waktu istirahatnya dalam tur tari di Eropa. "Aku enggak tuntas membacanya. Medeni. Aku takut," kata Eko di Jakarta, Selasa pagi dua pekan lalu.
Sunya, yang diadaptasi bebas dari cerita pendek Eka Kurniawan, berkisah tentang dunia klenik Jawa. Hampir semua cerita seram yang akrab di telinga Eko saat masih kecil tertulis dalam naskah itu: buto ijo, peri-peri cilik, sampai jalan menakutkan ke punden tempat banyak roh bersemayam. Namun yang paling membuat Eko bergidik adalah kisah mbah ibu. "Cerita tentang mbah ibu itu persis dengan cerita mbah ibuku," ujar Eko.
Dalam film Sunya, "mbah ibu" merupakan panggilan Bejo, sang tokoh utama, kepada karakter nenek yang membesarkannya. Alkisah, mbah ibu sakit keras. Meski dia telah menjalani sejumlah tes kesehatan, dokter tidak bisa mendiagnosis penyakitnya. Mbah ibu tak juga meninggal meski tinggal tulang dilapisi kulit. Sampai-sampai sang mbah meminta dibakar saja. Semua itu karena aktivitas klenik yang dijalankannya dulu.
"Klenik itu bagian dari hidup masyarakat Jawa dulu. Mbah ibu, nenek, itu punya semacam kewajiban untuk melindungi anak-cucunya. Ada ritual yang harus dijalani, entah itu mengelilingi rumah entah lainnya," kata Eko.
Eko memiliki mbah ibu yang sakit menahun. Selama sepuluh tahun terakhir dalam hidupnya, "Mbah ibu hanya bisa berbaring," ujar Eko. Sulit untuk melepas susuk, ajian, atau apa pun yang melekat dari sang nenek. Sebab, semua dukun telah meninggal. Sang mbah akhirnya berpulang juga, "Setelah ditepuk daun kelor," tuturnya.
Belakangan, setelah bertemu dengan Harry Dagoe di Indonesia, Eko tahu mengapa skenario film Sunya terasa nyata. Harry berasal dari kampung halaman yang sama dengan mbah ibu Eko: Magelang. Empat hari sebelum syuting dimulai, Eko mendapat peran sebagai Rohman.
Di awal film, penonton akan mengira bahwa Rohman adalah tokoh nyata, sahabat Bejo. Mereka bercengkerama di mobil, di rumah, dan di sawah. Namun, menjelang pertengahan film, penonton akan ragu, Rohman mungkin saja semacam roh yang menemani dan melindungi Bejo.
Siapa Rohman sebenarnya tidak pernah dijelaskan secara gamblang. Eko menafsirkan karakter Rohman sebagai sosok sahabat, pelindung, sekaligus pesaing Bejo. "Peran ini seperti refined dance—tarian halus. Peran yang berbeda-beda, sebagai konco, njaga, dan saingan, itu enggak boleh terlihat jelas, tapi melebur. Kalau dalam tari, ini tidak menatap ke luar, tapi dirasakan ke dalam," kata Eko, yang lebih dikenal sebagai penari profesional.
Belakangan, peran Rohman sebagai pelindung memicu konflik batin dalam diri Bejo. Sebab, "Seperti bodyguard, apa yang akan dimakan Bejo harus dicicipi Rohman dulu untuk mendeteksi adanya racun. Termasuk urusan perempuan," ujar Eko.
Rentang peran yang luas itu dimainkan Eko dengan alami dan baik. Dia berhasil menjadi seorang tokoh dengan beragam peran dalam Sunya. Hal inilah yang menjadi pertimbangan kami memilih Eko Supriyanto sebagai aktor pendukung terbaik dalam Film Pilihan Tempo 2016.
BAGI Eko, berakting di depan kamera tak banyak berbeda dengan menari di atas panggung. Triknya agar tampil alami adalah dengan banyak berdiskusi dengan sutradara. Pertanyaan seperti di mana kamera, berapa langkah dia harus berjalan, berapa derajat dia harus berputar, apa yang dirasakan Rohman saat itu, dan apa yang harus dia tampilkan kerap dilontarkan Eko kepada Harry Dagoe, terutama adegan Eko yang harus tampil tanpa busana . "Untuk adegan itu, saya bertanya lebih detail lagi. Sebab, saya enggak mau berkali-kali take," ujar Eko. Adegan itu hanya diulang satu kali.
Eko butuh beberapa hari untuk memikirkan bersedia-tidaknya dia tampil bugil dalam film ini. "Saya sempat menawar untuk adegan itu, tapi Mas Harry menantang saya," katanya. Begitu Eko setuju, adegan itu dilakukan tanpa ragu. Hanya, ketika melihat hasil akhir, Eko sedikit kaget. "Aku kira adegan itu pakai efek buram, durasinya hanya dua detik, paling lama lima detik. Ternyata tidak," ucapnya.
Menurut Eko, adegan tersulit yang dilakoninya adalah saat Bejo harus menentukan nasib Rohman. "Rohman tidak boleh melawan, tidak juga pasrah. Dia harus menerima bahwa ini adalah sesuatu yang harus dilakukan," ujarnya. Sebelum adegan itu dimainkan, Eko berdiskusi banyak dengan Harry tentang definisi pasrah untuk mendalami peran.
Diskusi soal definisi ini juga terjadi saat adegan dialog di pematang sawah pada malam hari. Untuk adegan ini, Eko harus ekstra dalam menghafal dialog berbahasa Jawa yang panjang-panjang. "Tapi sebenarnya yang paling melelahkan itu adalah latihan dan persiapannya," ucap Eko.
Seluruh adegan yang melibatkan Eko diambil dalam waktu tiga pekan di Kota Magelang dan sekitarnya pada 2012. Namun, secara umum, proses pembuatan film ini memakan waktu hampir empat tahun.
Peran dalam Sunya bukan peran pertama Eko dalam dunia perfilman. Sebelumnya, ia bermain sebagai Ludiro dalam Opera Jawa (2006) dan sebagai Momon dalam Negeri tanpa Telinga (2014). "Memilih peran itu sama seperti memilih koreografi. Harus ada tantangannya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo