Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BALAI Kota Jakarta didatangi sepuluh tamu asing pada Kamis pekan lalu. Mereka duduk berderet di ruang tunggu ruang kerja Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada pukul 13.30. Setengah jam kemudian, protokoler menyilakan mereka masuk ke ruang Gubernur.
Basuki mengundang mereka, para kontraktor pasir dan pejabat perusahaan pemegang izin reklamasi, untuk menjelaskan dugaan pencurian pasir di Kepulauan Seribu. Warga Pulau Pari melaporkan kapal Cristobal Colon berbendera Luksemburg menyedot pasir dan merusak terumbu serta bubu nelayan yang dipasang di kedalaman 20 meter.
Cristobal disewa oleh PT Energy Marine Indonesia, yang dikontrak oleh PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group, yang sedang menguruk Teluk Jakarta untuk membangun lima pulau seluas 1.331 hektare. Di antara sepuluh tamu itu, terlihat perwakilan perusahaan-perusahaan ini. "Kami diminta menjelaskan soal pencurian pasir," kata Direktur PT Moga Abadi Cemerlang, pemasok pasir untuk Kapuk Naga.
Seusai pertemuan, Gubernur Basuki mengatakan melacak pencuri pasir sangat gampang dengan melihat global positioning system kapal. "Kalau terbukti mencuri pasir, hukum saja," ujarnya kepada Erwan Hermawan, Hussein Abri Yusuf Muda, dan Yolanda Ryan Armidya dari Tempo.
Anda sudah menerima laporan tentang pencurian pasir di Kepulauan Seribu?
Bupati yang dulu sudah menerima laporan, tapi dia tidak mengerti. Karena itu, dia saya ganti Tri Djoko. Dia melaporkan ada kapal mengeruk pasir. Saya tidak tahu perkembangan terakhirnya.
Mengapa tidak dilacak pencuri pasir itu?
Kalau melacak sebenarnya mudah. Saya mantan orang tambang, setiap kapal memiliki global positioning system, yang semua jalur pelayarannya bisa terlacak. Anda tinggal mewawancarai pihak kapal dan minta data jalur pelayarannya, sehingga tuduhan masyarakat ada pasir hilang bisa terbukti karena ada koordinatnya.
Bagaimana kalau terbukti mencuri?
Hukum. Kalau urusan seperti ini, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang berwenang. Kalau kamu merusak lingkungan, bisa didenda puluhan miliar rupiah.
Siapa terhukumnya?
Perusahaan penyedia kapal. Tapi saya tak bisa memberi mereka sanksi. Itu wewenang Menteri Lingkungan Hidup.
Kapal itu disewa perusahaan reklamasi. Bisakah izin reklamasinya dicabut?
Enggak mungkin. Itu bukan salah dia, dan dia bisa menggugat kami ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Saya sih enggak mau batalin. Kalau kalah, bayar Rp 400 triliun, bagaimana?
Bagaimana kalau ada yang menggugat?
Jika ada yang mau batalin reklamasi, saya senang. Kalau saya yang batalin, bisa dihajar orang. Berdasarkan Keputusan Presiden Tahun 1995, pemerintah Jakarta hanya mendapat 5 persen dari luas total lahan pulau, yang bisa dijual. Saya maunya 70 persen. Aturan reklamasi iu tidak fair.
Bukankah pemerintah ingin meninjau ulang reklamasi?
Saya mau memberi kewajiban tambahan. Kami tidak minta uang, tapi kontribusi terhadap pencegahan banjir di Jakarta, seperti pasang pompa, bersihin sungai di Jakarta Utara. Caranya, buat bendungan, waduk, dan pompa. Paksa mereka berkontribusi menangani banjir sebagai bagian dari kewajiban tambahan.
Proyek reklamasi masih tumpang-tindih, terutama di zona tengah. Satu pulau ada dua pengembang.
Iya, itu yang paling kacau. Karena PT Pelindo tanpa izin kami, dia bangun. Dia uruk terus. Kami tak bisa menyetop dia karena alasannya untuk kepentingan nasional. Boleh tidak? Itu bisa dipidana menguruk pulau tanpa izin IMB dan reklamasi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mempermasalahkan reklamasi...
Saya ini melanjutkan reklamasi. Kementerian Kelautan teriak-teriak saya melanggar aturan. Kalau lu mau cabut reklamasi, cabut dulu dong Keppres 1995. Aturan itu dibuat dengan pertimbangan para menteri juga.
Gara-gara reklamasi, perairan Kamal jadi dangkal sehingga tak bisa dilalui nelayan...
Kewajiban pengembang pulau untuk mengeruk. Budi daya kerang hijau terancam akibat reklamasi? Kami memang akan memindahkan budi daya kerang hijau agak ke depan. Di lokasi sekarang, lautnya sudah tercemar berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo