Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH dua jam lebih fajar meninggalkan Sidoarjo. Ratusan penduduk Desa Besuki Timur, Kecamatan Jabon, memenuhi bekas ruas jalan tol Porong. Poster dan spanduk bertuliskan bertuliskan keluh-kesah mereka gelar. Tuntutan mendapat ganti rugi atas luapan lumpur PT Lapindo Brantas dikumandangkan. Ketika matahari naik setapak, tiga kelompok massa ikut berbaur. Mereka dari Desa Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi.
Acara unjuk rasa pada Senin pekan lalu itu berubah menjadi doa bersama. Massa menganggap dampak luapan lumpur sudah sedemikian parah. Saking gentingnya keadaan, gelar permintaan kepada Tuhan pun dinamai istigasah. ”Semoga pemerintah segera sadar untuk memperjuangkan kami,” kata Ali Mursyid, koordinator demo.
Ini aksi kesekian kalinya sejak tahun lalu. Mereka merasa hidup sebatang kara. ”Peta” tak menganggap keberadaan mereka sebagai korban. Padahal separuh desanya diakui dalam ”peta terdampak luapan lumpur”. Denah yang didasari Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 ini menentukan wilayah yang berhak mendapat bantuan dan ganti rugi, apakah dari Lapindo atau dari pemerintah.
Tanggul Lapindo di Desa Besuki yang jebol tahun lalu mengawali cerita ini. Kampung itu bersama Desa Pejarakan dan Kedungcangkring menjadi tak layak huni. Lumpur menjalar. Semburan api bermunculan. Walau demikian, karena desa mereka tak tercantum dalam ”peta area terdampak”, tak ada sepeser pun uang Lapindo yang membantu mereka. Sejak itulah mereka unjuk rasa ke mana-mana.
Angin segar bertiup ketika tim ahli yang dibentuk Gubernur Jawa Timur menyatakan tiga desa tadi tak layak huni. Biarpun bukan Lapindo yang mengurus, pada 17 Juli lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan semua kerusakan di wilayah itu akan ditanggung oleh anggaran pendapatan dan belanja negara.
Kepala Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Soenarso mengatakan skema pembayaran dan nilainya mengikuti PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan kasir Lapindo Brantas. Satu meter tanah dihargai Rp 1 juta, sawah Rp 250 ribu, dan bangunan Rp 1,5 juta. Untuk itu pemerintah sudah menyiapkan Rp 1,1 triliun. ”Yang sudah direalisasi 20 persen, sekitar Rp 220 miliar,” kata Soenarso.
Nah, perlakuan inilah yang membuat warga Desa Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi iri hati. Menurut Ketua Tim Jatirejo Barat Abdul Faqih, istilah barat-timur ini hanya mengacu pada posisi wilayah itu dari tanggul Lapindo. Padahal yang di wilayah barat juga mengalami dampak buruk. Sebelum Ramadan lalu, secara bersamaan tujuh warga RT 1 jatuh sakit. ”Keracunan gas metan,” katanya.
Untuk itu, ia menganggap dua rukun tetangga yang tersisa di Jatirejo layak dimasukkan ke dalam ”peta terdampak” untuk mendapat bantuan dan ganti rugi. Demikian juga dengan Siring Barat dan Mindi. Bambang Kuswanto, koordinator warga Siring Barat, mengatakan tanah ambles dan retak di sana-sini. Air tak lagi bisa digunakan untuk minum karena tercemar rembesan lumpur Lapindo.
Agar kuping pemerintah terbuka, unjuk rasa kerap digelar. Tak hanya di Sidoarjo, di Ibu Kota, kelompok ini sudah lima kali mengadukan nasibnya. Mereka mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan sejumlah lembaga nonpemerintah. Namun keinginan itu kelihatannya masih lama tercapai. Walau mengakui luapan lumpur berpengaruh pada tiga desa tersebut, Soenarso tak bisa berbuat banyak. ”Itu wilayah kebijakan,” katanya.
Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah juga menegaskan tak ada lagi ganti rugi bagi wilayah yang tak masuk ”peta terdampak”. Menurut dia, pemerintah sudah cukup baik dengan memberikan bantuan ke penduduk yang asetnya rusak, seperti ganti rugi saat gagal panen. ”Sudah cukuplah. Dahulu kan sudah diganti,” kata Bachtiar kepada Dianing Sari dari Tempo.
Pintu revisi baru sepertinya sulit terbuka. Juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng mengatakan, pemerintah tak akan melalaikan kewajiban membayar ganti rugi. Tapi tetap, hanya desa yang ada di peraturan presiden. Dia tidak bisa memastikan apakah aturan tersebut akan direvisi atau tidak. ”Yang saya tahu, ya, tiga desa itu,” kata Andi.
Meskipun demikian, dalam Peraturan Presiden Nomor 14, mereka mestinya juga mendapat ganti rugi dari pemerintah. Repotnya, luberan lumpur terus meluas. Bukan tidak mungkin, akan ada lagi desa di luar ”peta terdampak” yang bakal terkena luberan lumpur. Pemerintah mestinya menghitung lagi kemungkinan itu.
Muchamad Nafi, Rohman Taufik (Sidoarjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo