Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA itu seperti berasal dari dunia lain. Gemerincing, tajam
mendenting, mengalir dan terhempas dari jeram khayali -- yang
entah di mana.
Ada asap dupa. Rangkaian kembang dan permata. Keluh dan dendang.
Mimpi-mimpi marijuana. Bagi kalangan yang kurang akrab dengan
musik India, Ravi Shankar mungkin tak lebih dari seorang tokoh
1960-an, yang sedang beringsut surut dari panggung sejarah.
Empat malam di akhir April lalu, maestro sitar yang tak ada
tolok bandingnya itu muncul sebagai solis bersama Orkes
Philharmonic New York pimpinan Zubin Mehta. Ia tetap
mengagumkan.
Tanpa canggung sedikit pun, Ravi Shankar yang sudah
bersitar-sitar hampir ke seluruh pelosok jagat mengambil
tempatnya di tengah setting orkes Barat yang formal itu. Ia
menghidangkan Raga Malla, alias Untaian Raga. Raga ialah salah
satu acuan dalam musik India. Jumlahnya ribuan.
Dalam waktu bersamaan, perusahaan rekaman Deutsche Gramophon di
Jerman menerbitkan piringan hitam, LP Ravi Shankar terbaru.
Didampingi oleh Alla Rakha, penabuh tabla (sebangsa ketipung)
yang sudah belasan tahun menyertainya ke mana-mana. Ravi mengisi
ph itu dengan Jogeshwari, sebuah raga dengan warna tradisional
yang pekat.
Sementara itu sebuah penerbitan Amerika bersiap-siap memasarkan
paket "perkenalan dengan musik India". Sasarannya ialah para
siswa pemula, dan kaum awam yang merasa tertarik. Paket ini
terdiri dari sebuah buku 76 halaman berjudul Mempelajari Musik
India, dan tiga kaset berisi 'petuah' Ravi Shankar. Kaset
tersebut merekam pelajaran yang diberikan Ravi pada City College
New York.
Puncak kegiatan pesitar ini menjelang tengah tahun 1981 agaknya
ialah penampilannya di Carnegie Hall, New York. Dalam acara 30
Mei lalu itu, Ravi memperdengarkan serangkaian resitasi.
Rangkaian acara tersebut seolah 'pekan perayaan' menyambut ulang
tahun ke-61 pesitar dan komponis terkemuka India ini -- Ravi
Shankar dilahirkan 7 April 1920. Untuk waktu yang panjang ia
bagaikan simbol 'lumpur dan mutiara' yang muncul dari pertemuan
kutub kebudayaan Timur dan Barat.
Di kalangan pemusik 'puritan' India, nama Ravi tak seberapa
disukai. "Di sana saya pernah dinamakan perusak," ujarnya
beberapa tahun silam. "Soalnya, mereka mencampuradukkan
identitas saya sebagai pemain dan komponis."
Sebagai seorang komponis, Ravi mengaku "telah mencoba
segalanya." Bahkan musik elektronik dan media avant-garde. Tapi
sebagai seorang pesitar, "percayalah," katanya meyakinkan, "saya
menjadi lebih klasik dan lebih ortodoks, melindungi dengan
cemburu warisan kebudayaan yang telah saya pelajari."
Sitar adalah instrumen musik khas yang berasal dari India bagian
utara. Umurnya ditaksir paling tidak 700 tahun. Ditilik dari
nama dan bentuk, alat ini banyak berpengaruh pada instrumen yang
kini kita kenal sebagai gitar. Tentu saja sitar jauh lebih
kompleks. Dilengkapi dengan dawai utama dan dawai pelengkap,
instrumen baheula ini mampu menghasilkan dengung dan denting
warna nada yang khas dan kaya.
Ravi Shankar mulai akrab dengan alat musik ini melalui Ustaz
Alauddin Khan dari Maihar, 1938. Tapi jauh sebelum itu ia sudah
bersentuhan dengan kebudayaan Barat, dan pengaruhnya terasa kuat
pada jejak karirnya kemudian.
Pada umur 10 tahun Ravi Shankar menginjakkan kakinya di Paris,
'mekah' kebudayaan dunia masa itu. Ia melawat ke sana dalam
rombongan tari Uday Shankar, kakak kandungnya sendiri. Selama
delapan tahun selanjutnya Ravi menetap di Paris. "Banyak musisi
Barat terkemuka berkunjung ke rumah kami ketika itu," ujar Ravi
mengenang masa kanaknya. "Eunesco, Segovia, I oscanini,
Paderewski," sambungnya sekedar menyebut beberapa nama. "Sungguh
fantastis."
Dari Alauddin Khan, Ravi ternyatatak hanya menerima latihan
sitar. Tetapi juga tuntunan batin, yang memmemberi arah pada
perkembangan kepribadiannya di kemudian hari.
Sebagai pemetik sitar, Ravi tampil pertama kali di depan umum 25
tahun lalu. Ketika itu belum seorang pun berbicara mengenai
hippies. Tapi pada saat kaum remaja Barat tergila-gila kepada
India, sekitar tahun 1960-an, Ravi satu-satunya pemusik India
yang dikenal dan dikagumi Barat. Ia segera menjadi idola.
Ravi sendiri tampaknya tidak keberatan. Ia bahkan mengambil
George Harrison -- salah seorang dari The Beatles -- sebagai
murid. Muncul dalam pertunjukan bersama di Woodstock dan
beberapa festival lain, Ravi seperti mengukuhkan kedudukannya
sebagai 'anggota kehormatan' keluarga hippies.
Setelah masa itu berlalu, Ravi tampak tak bersenang hati.
"Banyak di antara mereka tidak benar-benar tertarik pada musik
sitar," ujarnya mengenai anak-anak muda yang berada di
sekitarnya, "tetapi pada suasana di mana mereka dapat saling
berpelukan, mengisap ganja dan fly -- alasan yang tidak saya
sukai selama mereka mendengarkan suara sitar."
Ia kembali menggiatkan eksperimennya di luar tradisi improvisasi
yang bertolak dari musik India. Ia bahkan meninggalkan sekolah
musik yang didirikannya di Los Angeles. Ia menggubah sejumlah
komposisi untuk orkes India dan Barat, menulis musik untuk film,
berduet dengan Yehudi Menuhin. Tahun 1970 Ravi menggubah dan
memainkan konser sitarnya yang pertama, bersama Orkes Simfoni
London di bawah pimpinan Andre Previn.
PUBLIK Jakarta sempat menyaksikan Ravi Shankar muncul di Teater
Arena TIM, 23 Oktober 1976. Kebetulan ia, bersama penabuh tabla
Alla Rakha dan pemain tampoura Kamala Chakarawati dalam
perjalanan libur menuju Bali. "Saya sudah mendengar musik Bali
sejak lama, sekarang saya akan menyaksikan sendiri di
tempatnya," kata Ravi setelah memukau penontonnya.
"Dulu," katanya, "semua pemusik Barat yang pernah datang ke
rumah kami selain menyatakan kagum terhadap musik India, juga
berpendapat musik itu terlalu monoton." Ravi lalu berpikir.
"Saya mulai menggubah musik yang-menjembatani musik kami dan
musik mereka," katanya. Ia mendirikan All-Indian Orchestra
sebagai salah satu usaha.
Dan dalam penampilannya bersama Orkes Philharmonic New York dan
Zubin Mehta April lalu itu, banyak pengamat cenderung melihatnya
dari segi usaha 'penjembatanan' tadi. Seperti diketahui, Zubin
Mehta adalah seorang Parsi kelahiran Bombay. Ayah Zubin, Mehli,
dikenang sebagai pemimpin orkes Barat pertama di kota itu.
Tapi "ini bukan pertemuan Timur dan Barat," ujar Mehta menjelang
pertunjukan. "Ini adalah dua bagian India yang dipersatukan."
Namun ia mengaku, bahwa konser sitar pertama Ravi Shankar
memberi keyakinan padanya bahwa Timur dan Barat bisa bertem u di
dalam musik. Sejak beberapa tahun lalu, Mehta juga
memperkenalkan Ravi dengan pemusik-pemusik jazz di sekitar Los
Angeles.
Berbicara mengenai dunianya, Ravi Shankar menyebut musik klasik
India sebagai tradisi yang hidup. "Tapi perubahan datang begitu
cepat," katanya, "musically and politically". Dan ia mengeluh,
"saya sendiri kadang-kadang khawatir. "
Sementara itu ia mulai membina generasi penerus. Di samping Ravi
Shankar, terdapat juga guru musik lain yang sangat
diperhitungkan di India, seperti Ali Akbar Khan dan Vilayat
Khan. "Kami sudah mempunyai sekelompok pemusik muda yang
sungguh-sungguh mencengangkan," ujar Ravi.
Ia sendiri mendirikan Institut Riset untuk Musik dan Seni
Pertunjukan di Benares. Lembaga ini lebih bersifat wadah
festival, ketimbang sebuah sekolah formal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo