Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Undang-undang perampasan aset memudahkan kerja Satgas BLBI.
DPR menolak memasukkan RUU Perampasan Aset ke Prolegnas Prioritas 2021.
Saat ini, perampasan aset baru bisa dilakukan setelah perkara memiliki keputusan hukum yang tetap.
JAKARTA - Kehadiran undang-undang perampasan aset tindak pidana kian diperlukan seiring dengan bergulirnya proses penagihan dan pengejaran aset debitor dan obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai hak kekayaan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Dian Ediana Rae, menuturkan pengesahan aturan tersebut diyakini dapat menuntaskan kasus BLBI dengan lebih efektif dan optimal karena akan melegitimasi proses perampasan kekayaan para pengemplang BLBI. "Indonesia sangat butuh undang-undang perampasan aset. Kami berharap dapat diundangkan dalam waktu sesegera mungkin," ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dian menjelaskan, rancangan aturan perampasan aset merupakan regulasi yang disusun untuk mengatasi sulitnya perampasan dan penyelamatan aset negara, yang secara nyata telah dicuri atau dikuasai tanpa hak oleh koruptor atau pelaku tindak pidana ekonomi.
Namun, sejak dibahas oleh pemerintah pada 2012, RUU Perampasan Aset tak juga bisa menembus Dewan Perwakilan Rakyat. Rabu pekan lalu, Badan Legislasi DPR lagi-lagi menolak memasukkan RUU Perampasan Aset, yang diusulkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, ke Program Legislasi Nasional Prioritas 2021.
Pelantikan Tim Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Kementerian Keuangan, Jakarta, 4 Juni 2021. ANTARA/Sigid Kurniawan
Menurut Dian, pendekatan yang digunakan dalam RUU Perampasan Aset adalah pendekatan in rem, yaitu negara versus aset yang terkait dengan tindak pidana. Pendekatan ini akan menjadi solusi holistik karena penyelamatan aset melalui RUU Perampasan Aset tidak dikaitkan secara langsung dengan kesalahan pelaku kejahatan yang mungkin sulit dibuktikan di pengadilan. "Pendekatan yang dilakukan didasarkan pada kerugian negara yang secara nyata telah terjadi."
Dian mengimbuhkan, berdasarkan fakta yang kerap ditemukan PPATK, banyak pelaku tindak pidana pencucian uang yang bersembunyi di balik harta kekayaan berbentuk aset yang tidak dapat dikembalikan kepada negara.
Adapun pengejaran aset oleh Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI atau Satgas BLBI, menurut Dian, dilakukan dengan cara negara menagih seluruh piutang secara perdata berdasarkan data serta upaya negosiasi dengan debitor dan obligor BLBI. Penagihan dilakukan melalui proses pemanggilan oleh kelompok kerja Satgas BLBI, sehingga diperoleh kesepakatan antara Satgas dan obligor.
"Langkah keperdataan yang diambil oleh Satgas selanjutnya adalah berupa penguasaan aset yang telah dilakukan terhadap beberapa aset para pihak," katanya.
Dian menyatakan PPATK, yang juga anggota Satgas BLBI, akan terus mempersiapkan data serta informasi yang dibutuhkan untuk mendukung penerapan RUU Perampasan Aset. "Dengan mengetahui nama, jumlah, serta status terkini para obligor dan debitor BLBI, kami dapat memulai analisis dan pemeriksaan yang bersifat proaktif, apalagi kalau ditemukan indikasi adanya tindakan pencucian uang."
Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi mengamini pengesahan RUU Perampasan Aset bakal menjadi solusi penyelesaian kasus hak tagih negara dana BLBI yang selama ini berlarut-larut. Tak hanya untuk perkara BLBI, ia mengungkapkan, aturan tersebut juga dapat mempermudah aparat hukum mengejar harta pelaku kejahatan. "Ini akan menjadi dasar bagi penegak hukum untuk mengejar harta kekayaan sebelum, selama, dan setelah proses persidangan," katanya.
Terlebih, selama ini terdapat kendala yang dihadapi dalam penyelesaian hak tagih BLBI, yaitu keberadaan aset para debitor dan obligor di luar negeri. Menurut Untung, penagihan utang dan penguasaan aset perlu dilaksanakan secara komprehensif, termasuk dengan pendekatan hukum, perpajakan, kerja sama internasional, dan upaya pendukung lain.
"Di antaranya pembukuan aset, baik di dalam maupun luar negeri, termasuk perusahaan, sekaligus memaksimalkan mutual legal assistance dan perjanjian ekstradisi yang masih jarang dilakukan," ujar Untung.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan selama ini proses pengembalian aset negara yang berasal dari penagihan dan pengejaran harta para pengemplang BLBI secara yuridis tidak mudah dilakukan. Pasalnya, perampasan aset baru bisa dilakukan setelah melalui proses persidangan dan memiliki keputusan hukum yang tetap.
"Kalau sudah ada undang-undang perampasan aset, negara bisa langsung merampas secara paksa kepada mereka yang proses pengembaliannya lambat atau bahkan tidak ada pengembalian sama sekali," ucapnya.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo