Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Riwayat Immanuel Kant di Konigsberg: Bagaimana Kota Itu Menjadi Kaliningrad?

Reportase sisa-sisa peninggalan Kant, dari topeng kematian, makam, hingga Kota Kaliningrad yang memperingati kematiannya. 

28 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kota kelahiran Immanuel Kant, Königsberg, didirikan di tepi Laut Baltik oleh para kesatria Teutonik pada 1255.

  • Di kota ini Immanuel Kant dulu dengan kecerdasannya mempelajari ilmu filsafat, menjadikannya seorang filsuf yang dihormati sepanjang zaman.

  • Selain pemikiran Kant, masih tersisa jejak fisiknya di kota yang berkembang modern meski pernah rusak berat akibat Perang Dunia II itu.

IMMANUEL KANT adalah bagian dari panteon pemikir terpenting dalam sejarah filsafat Eropa, khususnya Jerman. Ia bahkan kerap disebut sebagai filsuf paling berpengaruh dari masa Aufklärung di Prusia. Namun sesungguhnya kota tempat Kant lahir dan bergiat tidak berada di Jerman. Tepatnya wilayah itu kini merupakan bagian dari sepotong tanah eksklaf seluas 15.125 kilometer persegi milik Rusia, terjepit di antara Polandia dan Lituania. Kota yang dikenal Kant sebagai Königsberg itu kini bernama Kaliningrad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana Königsberg menjadi Kaliningrad? Bagaimana kota kelahiran dan kematian salah satu pemikir terbesar Jerman itu kini berada di wilayah kekuasaan Rusia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Königsberg didirikan di tepi Laut Baltik oleh para kesatria Teutonik pada 1255 dalam perjalanan mereka membawa misi kristenisasi ke kawasan Baltik (kini wilayah Lituania, Latvia, dan Estonia). Mereka membangun sebuah benteng yang mereka namai Königsberg di atas kawasan yang dulu adalah perkampungan nelayan Prusia Lama bernama Twangste. Nama Königsberg, yang berarti “Gunung Raja”, didedikasikan kepada Raja Ottokar II dari Bohemia yang memimpin salah satu ekspedisi para kesatria Teutonik di wilayah itu. Permukiman berangsur tumbuh di sisi utara dan selatan benteng Königsberg, sampai akhirnya Königsberg diresmikan sebagai kota pada 1286. 

Kota ini berkembang pesat. Lokasinya yang strategis menjadikannya pelabuhan penting bagi sektor perdagangan dan militer. Namun bukan hanya itu. Ia juga berkembang sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, agama, dan budaya. Königsberg resmi menjadi ibu kota Kadipaten Prusia (Herzogtum Preußen) pada 1525 sampai gelar keibukotaan tersebut dipindahkan ke Berlin pada 1701. Namun sesudah itu pun Königsberg tetap menjadi lokasi upacara penobatan para pemimpin Prusia. 

Königsberg juga penting bagi perkembangan kebudayaan Polandia dan Lituania. Sesudah percetakan pertama mulai beroperasi di sana pada 1523, selain mencetak kitab suci dan buku-buku berbahasa Jerman serta Rusia, percetakan di Königsberg adalah yang mencetak kitab suci berbahasa Polandia edisi pertama (1551), juga buku katekismus yang sekaligus merupakan buku pertama yang dicetak dalam bahasa Lituania (1547). 

Universitas Albertina didirikan pada 1554. Di institusi inilah kelak Immanuel Kant menuntut ilmu, mengajar, dan mengembangkan pemikiran-pemikirannya yang kemudian menjadi pokok-pokok filsafat penting dari masa Aufklärung. 

Pada 1724, dua kota kecil di dekat Königsberg, yaitu Kneiphof dan Löbenicht, dipersatukan ke dalam kawasan kota tersebut. Pada tahun yang sama, lahirlah Immanuel Kant. Kant tumbuh dalam sebuah keluarga besar yang sederhana. Ayahnya adalah pembuat pelana kuda yang pemasukannya pas-pasan untuk menafkahi istri dan sembilan anaknya. Namun mujur bagi si bungsu Kant muda, masyarakat Königsberg yang sejahtera menghargai budaya dan intelektualitas. Kecerdasan Kant sudah mulai terlihat saat ia muda hingga menarik perhatian seorang pendeta Lutheran. Pendeta inilah yang membantu Kant mengenyam pendidikan di sekolah, kemudian lanjut ke Universitas Albertina (kemudian juga dikenal sebagai Universitas Königsberg). Di sana Kant mempelajari teologi, tapi kemudian ketertarikannya beralih ke filsafat.  

Sesudah lulus, Kant ingin langsung memulai kerja akademiknya. Pada waktu itu, jalur karier tersebut ia awali dengan bekerja sebagai pengajar muda tanpa bayaran di almamaternya. Namun, karena keluarganya tidak mampu menopang biaya pilihan karier tersebut, ia harus bekerja dulu selama sekitar delapan tahun sebagai guru privat bagi anak-anak kalangan terpandang Königsberg. Periode ini pada akhirnya juga membuahkan manfaat bagi Kant karena ia jadi mengenal dengan baik sejumlah keluarga berpengaruh di kotanya. Kant mulai membangun jejaring dan reputasi intelektualnya di kalangan para terpandang Königsberg, dan mereka pun menghargai serta mendukung perkembangan pemikiran Kant selanjutnya. 

“Kota (Königsberg) dan universitasnya merupakan pusat liberalisme Prusia dan dengan demikian dapat kita katakan bahwa sang filsuf berkontribusi besar dalam membentuknya,” ucap Profesor Doktor Ruth Leiserowitz, sejarawan dan akademikus dengan spesialisasi wilayah Polandia, Königsberg/Kaliningrad, dan Lituania barat. Pada saat ini, Leiserowitz menjabat Deputi Direktur Institut Sejarah Jerman di Warsawa, Polandia. 

“Semua yang dikatakan Kant tentang justifikasi dan keterbatasan pengetahuan, afirmasi moralitas dan hukum, ataupun pemahaman tentang keindahan didasarkan pada pemahaman tentang kebebasan pribadi dan tanggung jawab individu,” dia melanjutkan.

•••

HAMPIR semua hal yang saya ketahui tentang Königsberg dan Kaliningrad saya dapatkan dari Ruth Leiserowitz. Ia memiliki pengetahuan akan sejarah wilayah di tepi Laut Baltik, yang membentang dari Jerman, Polandia, Kaliningrad, hingga Lituania, yang sungguh sulit tertandingi. Selain menguasai bahasa Jerman, ia fasih berbahasa Polandia, Lituania, Rusia, dan Inggris. Hal ini membuatnya mampu mengakses materi dokumentasi dalam aneka bahasa yang relevan dengan area studinya, juga menerbitkan tulisan serta buku dalam bahasa-bahasa tersebut.  

Maka saya merasa demikian beruntung ketika Leiserowitz menemani saya sekeluarga dalam perjalanan pulang-hari mengunjungi Kaliningrad pada suatu hari di bulan Juli 2019. Kami berangkat dari Nida, sebuah kota nelayan yang terletak di wilayah Lituania pada Semenanjung Curonia. Dari ibu kota Lituania, Vilnius, Nida dapat dicapai lewat perjalanan darat sampai Klaipėda. Lalu kami harus naik feri untuk menyeberang ke ujung Semenanjung Curonia, baru melanjutkan perjalanan darat yang bisa ditempuh dengan bus atau mobil ke Nida. Pangkal semenanjung yang demikian panjang dan tipis ini berada di dalam wilayah Kaliningrad Oblast (semacam provinsi), Rusia. Pada waktu itu, kami baru selesai menghadiri Thomas Mann Festival yang diadakan di Nida setiap tahun. Penulis Jerman penerima Hadiah Nobel Sastra pada 1929 tersebut menggunakan dana penghargaan yang diperolehnya untuk membangun sebuah rumah musim panas di Nida bagi keluarganya, juga sebagai tempat ia menulis selama musim panas.  

Kita bisa membahas Thomas Mann dan Nida pada kesempatan lain. Untuk saat ini, perhatian tertuju pada perjalanan darat dengan bus kota menuju Kaliningrad. 

Perjalanan dari Nida ke perbatasan Lituania-Rusia tertempuh tidak sampai 30 menit. Waktu tempuh dari perbatasan ke Kota Kaliningrad juga kira-kira setengah jam dengan bus. Namun bus harus berhenti selama sekitar satu jam di perbatasan, ketika semua penumpang diminta turun dan menjalani pemeriksaan imigrasi di sisi Lituania dan Rusia. Semua penumpang bus sudah harus memiliki visa elektronik yang permohonannya wajib diajukan secara daring dan membutuhkan waktu proses sampai lima hari.

•••

KETIKA bus kami akhirnya boleh melanjutkan perjalanan menuju Kaliningrad, saya membayangkan akan menjumpai sebuah kota tua yang dapat membantu kita mengimajinasikan Immanuel Kant menelusuri lorong-lorong berbatu, mengunjungi kawan-kawannya di berbagai sudut Königsberg. Kant memang dikenal sangat rutin berjalan kaki, sampai sebagian tetangganya menggunakan kegiatannya itu sebagai penanda waktu yang dapat diandalkan. Ia mempertahankan kebiasaannya itu sampai masa tua, dan selalu tiba kembali di rumahnya tepat pada pukul 6 sore. Sesudah itu, dia akan makan malam, menulis, dan mempersiapkan materi kuliah yang akan ia berikan esoknya. 

Namun Kaliningrad yang saya saksikan untuk pertama kalinya dari atas bus antarkota itu tidak memenuhi imajinasi tersebut. Saya malah bertemu dengan gagasan saya tentang kota modern bergaya khas eks Soviet. Deretan gedung rumah susun rakyat (dalam bahasa Jerman disebut plattenbauen) dengan arsitektur yang nyaris identik dengan yang bisa ditemukan di sekitar Vilnius, Lituania, bekas Berlin Timur, atau Minsk, Belarus, juga memenuhi sepanjang ruas jalan menuju pusat Kota Kaliningrad.  

“Hampir seluruh Kota Königsberg rusak berat akibat serangan bom oleh Angkatan Udara Inggris pada tahun 1944, waktu Perang Dunia II,” tutur Ruth Leiserowitz, sementara kami sambil menatap ke luar jendela. Yang tersisa sampai sekarang dari kota tua adalah Katedral Königsberg beserta makam Kant di sisinya, juga sinagoge dan sedikit fasad bangunan bergaya Hanseatik di sekitar katedral. “Itu pun semua—katedral, sinagoge, dan fasad Hanseatik—adalah hasil pembangunan ulang. Fasad-fasad itu dibuat supaya terkesan tua, untuk dapat disaksikan para turis,” Leiserowitz menambahkan.  

Mendekati stasiun bus pusat, kami melewati sebuah lahan terbuka yang sangat luas di tengah kota. Di tengah lapangan itu berdiri sebuah gedung berukuran masif yang sungguh membingungkan saya. Arsitekturnya bergaya brutalis, tapi warna tembok luarnya biru pastel dan putih, bukannya abu-abu beton khas brutalis Soviet. Gedung itu tampak seperti kepala robot raksasa yang berwajah masygul. Yang langsung terpikir adalah, seandainya Kant masih hidup dan melihat bangunan ini, bisa jadi ia juga akan terganggu, apalagi kalau ia merujuk pada pemikirannya mengenai estetika. Segera saya tersadar bahwa saya sedang memproyeksikan reaksi saya kepada Kant. Tentu saja setiap masa dan mazhab kekuasaan memiliki estetika masing-masing. Saya mengambil gambar bangunan itu dari dalam bus yang masih melaju sambil bertanya kepada Leiserowitz tentang bangunan di lokasi yang sangat strategis tersebut.

Makam filsuf Immanuel Kant di Katedral Koenigsberg, Kaliningrad, Russia, November 2023. Reuters/Stringer

Leiserowitz tersenyum tipis. “Itu adalah Dom Sovetov atau Rumah Soviet. Rencananya, gedung itu akan menjadi pusat administrasi pemerintahan Kaliningrad Oblast,” dia menjawab. Pembangunan berlangsung sejak awal 1970, tapi terhenti pada 1985 karena kendala biaya dan sejumlah permasalahan teknis, termasuk tanah yang tidak stabil lantaran struktur setinggi 21 lantai tersebut dibangun di atas tanah rawa dan reruntuhan fondasi tua dari bangunan sebelumnya, yang tidak mampu menopang beban seberat itu. Pada akhirnya, gedung itu dinilai tidak layak pakai, tapi tetap dibiarkan berdiri di situ. Pada 2005, dalam rangka menyambut kedatangan Presiden Vladimir Putin ke Kaliningrad untuk menghadiri perayaan 60 tahun Kaliningrad dan 750 tahun Königsberg, gedung mangkrak di tengah kota itu diperpatut dengan cat biru muda dan putih. 

Ruth Leiserowitz lanjut menjelaskan bahwa di tanah luas tempat proyek Dom Sovetov itu dulu berdiri benteng Teutonik dan kemudian Kastil Königsberg. Kastil berusia 700 tahun yang memiliki perpustakaan, museum, rumah makan, gereja, dan aula penobatan itu rusak cukup berat saat berkecamuk Perang Dunia II. Menara dan sebagian temboknya masih yang berdiri. Pada 1968, pemimpin Uni Soviet saat itu, Leonid Brezhnev, memberi perintah secara khusus agar apa yang masih tersisa dari Kastil Königsberg itu diledakkan sampai tiada berbekas, selain lapangan yang tampak kosong tersebut. 

Königsberg yang berada di bawah kekuasaan Jerman berpindah menjadi bagian dari wilayah Uni Soviet seusai Perang Dunia II. Ini adalah salah satu butir kesepakatan yang ditandatangani Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman, Sekretaris Jenderal Uni Soviet Joseph Stalin, dan Clement Attlee yang bertindak mewakili Perdana Menteri Inggris Winston Churchill dalam Kesepakatan Potsdam pada Agustus 1945. Pada 1946, Stalin mengubah nama Königsberg menjadi Kaliningrad untuk mengenang Mikhail Kalinin, seorang pejuang Bolshevik. Semua penduduk yang berdarah Jerman diusir dari kota ini, berganti dengan makin banyaknya warga Rusia dan Belarus, juga sedikit penduduk beretnis Ukrainia.

Segala penanda kebudayaan Prusia dan Jerman dihapus secara sistematis dari Kaliningrad. Bahasa resminya diganti dari Jerman menjadi Rusia. Gedung-gedung tua bergaya Jerman yang masih tersisa dirobohkan, kecuali Katedral Königsberg dan makam Immanuel Kant. Kompleks tersebut direnovasi pada awal 1990-an, disusul penataan kembali wilayah kota tua di sekitarnya, sebagaimana dituturkan Leiserowitz. Fasad-fasad Hanseatik kembali terlihat. Sinagoge tua yang lama runtuh pun dibangun kembali dan diresmikan pada 2016. Dari depan sinagoge baru inilah kami menyeberangi jembatan ke pulau yang kini disebut Pulau Kant, di tengah Sungai Pregolya yang membelah Kota Kaliningrad. Katedral Königsberg dan makam Kant terletak di atas pulau ini.

•••

ATAP abu-abu dan menara gedung katedral itu sudah terlihat dari seberang Sungai Pregolya tatkala kami berdiri di depan sinagoge. Warna dominan dinding gedung bergaya Gotik-Baltik itu adalah merah bata, sesuai dengan warna bahan baku utamanya.  

Sesudah menyeberangi jembatan untuk mendekati gedung katedral, kami cukup cepat menemukan makam Immanuel Kant yang menempel pada salah satu sisi luar gedung katedral yang dibangun pada 1333 tersebut. Makam Kant dikelilingi pilar-pilar tinggi berbentuk persegi, yang dibangun menggunakan batu merah yang senada dengan warna batu bata katedral. Tidak ada pahatan apa pun pada pilar-pilar ini ataupun pada tembok di sebelah makam, kecuali tulisan berhuruf hitam “IMMANUEL KANT 1724-1804”.

Di bawah tulisan inilah terbaring jenazah salah satu pemikir besar Masa Pencerahan tersebut. Makamnya berupa batu kelabu berbentuk mirip peti mati, juga tanpa ukiran atau hiasan apa pun. Ukurannya tidak besar dan makin terlihat kecil di tengah pilar-pilar persegi itu. Terali besi berwarna hitam memagari ruangan di antara pilar-pilar sehingga pengunjung hanya dapat menyaksikan makam dari jarak tertentu. 

Di dalam salah satu ruangan dalam gedung katedral yang kini beralih fungsi menjadi museum sejarah Königsberg dan Kant tersebut terdapat sebuah lukisan tua Kant berpakaian hitam dengan renda putih dalam gaya sesuai dengan zamannya. Persis di sebelah lukisan tersebut berdiri sebuah maneken di dalam kotak kaca vitrin yang ditinggikan. Maneken ini mengenakan busana yang sama persis dengan pakaian Kant dalam lukisan tersebut. Saya menduga pakaian pada maneken itu adalah rekonstruksi pakaian asli Kant. Kalau ukurannya sungguh mengikuti ukuran pakaian Kant yang asli, maneken ini menunjukkan postur tubuh Kant kecil dan langsing. Bila benar demikian, ukuran makamnya yang ringkas itu mungkin juga cukup akurat merefleksikan ukuran peti matinya yang sebenarnya. 

Di antara sejumlah artefak peninggalan Kant yang disimpan di museum ini, ada satu obyek yang demikian menyentuh, yaitu topeng kematian Kant. Pembuatan topeng kematian tokoh-tokoh penting adalah praktik yang lazim dilakukan di Eropa pada abad ke-17 hingga ke-19, sebelum teknologi fotografi dipakai secara luas untuk menyimpan kenangan visual dari mereka yang sudah meninggal. Topeng kematian Kant berwarna putih, mungkin terbuat dari campuran gips, material yang lazim digunakan pada masa itu. Wajah orang yang baru meninggal diolesi minyak, lalu dilapisi plaster gips dan lilin untuk membuat cetakan relief wajahnya. Cetakan inilah yang kemudian dipakai untuk membuat topeng kematian. 

Cetakan wajah Kant itu diletakkan di dalam sebuah kotak kaca, di atas bantal beludru merah. Itulah wajah Kant tua berusia 80 tahun. Ia tampak kurus, ringkih, berhidung tajam sedikit bengkok, seperti tertidur dengan mulut sedikit terbuka. Itulah wajah filsuf yang demikian mencintai kota kelahirannya hingga ia sangat jarang bepergian ke luar Königsberg, sampai ajal pun menjemputnya di kota ini. Namun pemikiran-pemikirannya mampu menembus dunia dan masih dipelajari hingga kini.

•••

IMMANUEL Kant memilih tidak banyak bepergian ke luar Königsberg dan menikmati segenap konsekuensi atas kehendak bebasnya tersebut. Ironisnya, kehendak bebas bepergian dari dan ke Kaliningrad tidak semudah itu diwujudkan dewasa ini. Saya menanyakan kepada Ruth Leiserowitz mengenai hal ini beberapa hari lalu lewat pertukaran surat elektronik. Situs web resmi pemerintah Rusia menyatakan perjalanan ke Kaliningrad dapat dilakukan dengan mudah, asalkan pengunjung datang membawa visa elektronik. 

Menurut Leiserowitz, secara teoretis cukup mudah bepergian ke Rusia, sebagaimana yang dijelaskan di situs web tersebut. Kenyataannya, hal itu rumit dan sulit karena negara-negara Uni Eropa tidak lagi memiliki hubungan udara dengan Federasi Rusia. “Anda bisa berkendara dari Polandia ke Kaliningrad melalui jalur darat. Namun jalur perjalanan darat kita menyeberangi Semenanjung Curonia seperti yang kita lakukan (lima tahun lalu) tak lagi memungkinkan. Penyeberangan perbatasan di Nida telah ditutup sejak pandemi dan tidak lagi dibuka karena perang,” dia menjelaskan. 

Radio dan Televisi Nasional Lituania (LRT) memberitakan pada 26 Maret 2024 bahwa masih ada satu titik penyeberangan darat antara Lituania dan Kaliningrad Oblast, yaitu di sebuah kota kecil bernama Panemunė. Namun perlintasan perbatasan di sana hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki menyeberangi jembatan Ratu Luise. Kendaraan bermotor tidak diperbolehkan melintasi perbatasan. 

Leiserowitz menambahkan, “Kami pergi ke sana (dari Polandia) sesekali karena saya adalah kurator Museum Yahudi di sinagoge di Kaliningrad dan saya banyak berhubungan dengan museum di sana, yang merupakan sebuah lembaga nonpemerintah. Saya tidak akan pergi ke Kaliningrad untuk urusan resmi karena saya tidak bisa dan tidak ingin berhubungan dengan institusi negara yang direktur dan stafnya mendukung perang (Rusia-Ukraina). Pergi ke Rusia juga tidak menyenangkan. Putin ingin berpura-pura senormal mungkin di hadapan rakyatnya dan itu termasuk mengizinkan orang asing masuk ke negaranya. Jadi, ketika saya pergi ke sana, saya sebenarnya menuruti permainan Putin.” Namun ia merasa harus melakukan kompromi tersebut karena perannya yang sangat penting di museum itu. 

Leiserowitz juga menginformasikan bahwa Pemerintah Kota Kaliningrad sebenarnya telah berupaya mempersiapkan serangkaian acara internasional untuk merayakan ulang tahun ke-300 Immanuel Kant, tapi semuanya batal kecuali sebuah kongres mengenai pemikiran Kant bertajuk “World Concept of Philosophy International Kant Congress” yang terjadwal berlangsung pada 22-25 April 2024. Namun acara dan panel-panel presentasi yang tertera di situs web kongres internasional tersebut menunjukkan sedikit sekali peserta internasional. Ada satu akademikus dari India, satu dari Irlandia, tiga dari Jerman, dan dua dari Amerika Serikat. Sekitar separuh dari peserta asing ini akan membawakan paper-nya secara daring. Puluhan peserta lain berasal dari Rusia sendiri dan sebagian besar panel tersebut berlangsung dalam bahasa Rusia. 

Leiserowitz menginformasikan bahwa sejumlah orang tertentu dilarang masuk ke sana oleh pemerintah Rusia, termasuk Gerfried Horst, ketua organisasi Freunde Kants und Königsbergs e.V. alias perhimpunan pemerhati Kant dan Königsberg, yang berkedudukan di Jerman. Alasan pelarangan tersebut tidak diumumkan.  

“Saya juga ingin menyebutkan secara singkat dua aspek yang merupakan dampak perang Rusia-Ukraina terhadap situasi terbaru di Kaliningrad,” kata Leiserowitz. Hal pertama adalah awalnya Museum Kant Kaliningrad, yang baru saja menerima koleksi pameran baru, berencana membuat semua papan penjelasan dalam bahasa Inggris untuk mengantisipasi banyaknya wisatawan yang akan datang. “Namun kini mereka memutuskan tidak melakukan hal tersebut dan menghemat dananya karena mereka tak lagi berharap banyak turis asing akan datang.” 

“Hal kedua, Kaliningrad dan benteng-benteng di dekat kota itu telah menjadi tujuan yang sangat penting bagi para wisatawan Rusia karena mereka tak mungkin berlibur ke Krimea,” ujar Leiserowitz. Itulah sebabnya pariwisata Rusia berkembang pesat di Kaliningrad. Di sana, para wisatawan dari dalam negeri Rusia merasa aman dari drone Ukraina.

•••

DALAM surat elektroniknya itu, Ruth Leiserowitz juga mengirimkan sebuah foto yang ia ambil dalam kunjungannya yang mutakhir ke Kaliningrad. Ia menyertakan keterangan ini:

“Saya melampirkan foto yang menunjukkan pembongkaran Dom Sovetov, yang dibangun di atas reruntuhan kastil. Bangunan itu tak pernah digunakan dan kini dibongkar setelah lama dibiarkan kosong. Di sebelahnya, Anda bisa melihat baliho perayaan ulang tahun Kant yang tersebar di seluruh kota.”

Benar saja. Bangunan di foto itu terlihat jauh lebih pendek daripada bangunan yang saya lihat lima tahun lalu. Leiserowitz mengambil gambar ini pada Maret lalu. Ia menjelaskan bahwa keputusan pembongkaran bangunan kosong itu diumumkan oleh gubernur baru Kaliningrad yang muda dan energetik, Anton Andreyevich Alikhanov, yang lahir pada 1986. Menurut dia, Gubernur Alikhanov menyatakan bahwa ia tidak lagi menginginkan “perusak pemandangan” itu di pusat kota. Maka, 300 tahun sesudah kelahiran Kant, Dom Sovetov, robot masygul itu, perlahan menghilang dari Kaliningrad.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini ditulis oleh Nelden Djakababa Gericke, kontributor Tempo di Berlin. Di edisi cetak artikel ini berjudul "Immanuel Kant, Königsberg, dan Kaliningrad".

Nelden Djakababa

Nelden Djakababa

Kontributor Tempo di Jerman

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus