Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pegiat antikorupsi dan ahli hukum mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terpidana Syafruddin Arsyad Temenggung. Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menilai putusan itu aneh karena menganulir sekaligus tiga putusan pengadilan sebelumnya, yakni praperadilan, pengadilan tingkat pertama, dan pengadilan tingkat banding.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Padahal, tiga putusan pengadilan itu memberi konfirmasi bahwa langkah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) membawa kasus ini ke ranah pidana adalah benar," kata Kurnia di Jakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Syafruddin, terpidana perkara korupsi penerbitan surat keterangan lunas BLBI untuk pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim. Majelis hakim kasasi menyatakan perbuatan Syafruddin terbukti merugikan negara sebesar Rp 4,58 triliun. Namun majelis hakim berpendapat perbuatan itu bukan tindak pidana.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim, sebagai tersangka.
Majelis hakim kasasi tidak satu suara dalam putusan tersebut. Ketua majelis hakim, Salman Luthan, berpandangan perbuatan Syafruddin merupakan tindak pidana. Sedangkan Syamsul Rakan Chaniago berpendapat tindakan itu merupakan perbuatan perdata. Adapun Mohamad Askin menilai tindakan Syafrudin merupakan kekeliruan administrasi.
Putusan kasasi ini menganulir putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menghukum Syafruddin 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta. Putusan kasasi juga mementahkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang memperberat hukuman atas Syafruddin menjadi 15 tahun kurungan dan denda Rp 1 miliar.
Kurnia berpendapat majelis hakim kasasi tidak memiliki landasan hukum yang kuat untuk menilai kasus BLBI berada dalam ranah hukum perdata atau administrasi. Masuknya perkara ini ke ranah pidana, menurut dia, terjadi lantaran adanya kesengajaan atau mens rea dari Sjamsul Nursalim untuk menjaminkan aset yang seolah-olah bernilai. Penjaminan aset itu dilakukan melalui Master of Settlement Acquisition Agreement (MSAA), sebuah perjanjian penyelesaian kewajiban debitor BLBI dengan penyerahan aset ketika Indonesia menghadapi krisis di sektor keuangan dan perbankan pada 1997.
Faktanya, kata Kurnia, aset milik Nursalim yang menjadi jaminan itu bermasalah. Perkara ini bisa dibawa ke ranah perdata bila, selama pemenuhan kewajiban dalam MSAA, pihak yang memiliki utang memang tidak mampu melunasinya. "Bukan justru mengelabui pemerintah dengan jaminan yang tidak sebanding," kata dia.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan perbedaan pendapat tiga hakim kasasi juga aneh. Menurut dia, selain menghasilkan ketidakpastian hukum apakah tindakan Syafruddin masuk dalam pidana, perdata, ataukah administrasi majelis hakim tidak memperhitungkan aspek kerugian negara dalam putusannya. "Syafruddin dinyatakan melanggar hukum, tapi unsur pidananya tidak terpenuhi. Artinya, proses BLBI memang melanggar hukum," kata dia.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Dadang Trisasongko, mengatakan hal senada. Perbedaan pendapat tiga hakim kasasi, menurut dia, membuat landasan hukum dalam putusan ini tidak jelas. "Kejanggalan ini dilengkapi dengan dalil kerugian negara yang diakui, tetapi korupsinya ditolak."
Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah, tak ambil pusing ihwal pendapat sejumlah kalangan yang menilai adanya kejanggalan dalam putusan kasasi. Ia menyilakan masyarakat untuk membahas, mengkaji, dan menilai putusan itu. "Proses dialektika akan menghasilkan pemikiran yang out of the box," kata Abdullah. MAYA AYU PUSPITASARI | ARKHELAUS WISNU
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo