Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sekolah Lambat si Pelari Cepat

Tak secepat di lintasan, dalam urusan sekolah, Sarengat tersendat-sendat. Dua kali tak lulus ujian sekolah menengah atas.

15 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMUSATAN latihan Olimpiade Roma berlangsung menjelang ujian sekolah menengah atas. Saat itu, pertengahan 1960, Mohamad Sarengat tinggal di mes Direktorat Pembinaan Masyarakat Desa Departemen Dalam Negeri di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Saban hari ia berlatih. Di sela-sela latihan, ia menumpang ujian di SMA Negeri 1 Boedi Oetomo-sekarang SMAN 1 Jakarta, Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Dia masuk kelas ireguler," kata Salamun Sastrawikarta, teman satu sekolah Sarengat, saat ditemui pada akhir Juli lalu. Hampir semua siswa Boedoet-julukan SMAN 1 Boedi Oetomo-mengenalnya sebagai atlet daerah berprestasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nyatanya, Sarengat gagal berangkat mewakili Indonesia di Olimpiade Roma. Ia kalah bersaing dengan Jotje Gozal dan Karnah. Yang membuatnya terpukul, Sarengat juga tak lulus ujian akhir SMA.

Ini bukan pertama kali Sarengat tak lulus sekolah menengah atas. Tahun sebelumnya, ia tak lulus dari SMA II Wijayakusuma, Surabaya. Padahal Sarengat telah lolos tes pendidikan Akademi Militer Nasional (AMN), yang digelar di Malang. Gara-gara tak lulus SMA, impiannya menjadi tentara berantakan. "Apalah artinya lulus AMN bila SMA saja tak dapat dilalui?" tulis Sarengat dalam otobiografinya, Namaku Sarengat.

Kegagalannya lulus SMA membuat orang tua asuhnya di Surabaya, Moerhadi Danoewilogo, naik pitam. "Kamu terlalu banyak membuang waktu. Terlalu mementingkan olahraga dan tidak belajar dengan benar," ujar Moerhadi, yang juga kakak ibunya. Gagal lulus sekolah adalah pukulan terberat Sarengat. Apalagi ia baru saja meraih medali emas trilomba antar-SMA di Surabaya.

Patah hati karena tak lulus untuk kedua kalinya, Sarengat enggan kembali ke Surabaya. Ia memilih menetap di rumah pamannya, Moersanyoto, di Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.

Sarengat lalu mengulang sekolah di kelas reguler Boedi Oetomo. Ia satu kelas dan sebangku dengan mantan Menteri Transmigrasi, Siswono Yudo Husodo. Keduanya sama-sama punya hobi olahraga. Menurut Siswono, selain doyan atletik dan sepak bola, Sarengat jago basket.

Mereka sering berlatih di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Monumen Nasional). "Karena tinggi, dia bisa layup, slam dunk tanpa loncat tinggi-tinggi," kata Siswono saat ditemui di rumahnya, akhir Juli lalu. Siswono dan Sarengat kerap mewakili sekolah dalam pertandingan.

Resmi menjadi murid Boedoet di jurusan B (matematika dan teknik), Sarengat menjadi idola. Banyak perempuan naksir kepadanya. "Badannya tinggi besar, bicaranya lancar dan ganteng," kata Salamun.

Dalam otobiografinya, Sarengat menuturkan, perempuan yang mengajaknya makan-minum di kantin hanyalah teman. "Aku sadar banyak gadis yang berusaha mendekatiku, tetapi aku tidak tergiur oleh semua itu," ujarnya. Engak-sebutan akrab Sarengat-ingin cepat menyelesaikan sekolah sesuai dengan pesan ayahnya. Namun, kata Siswono, Sarengat sempat memacari beberapa perempuan.

Semasa sekolah, Sarengat tak hanyut dalam dunia gemerlap Jakarta. Meski tak melulu berlatih lari, ia rajin jalan-jalan seusai subuh di sekitar Cikini, Gondangdia, dan Menteng. Ia tidak suka merokok dan tidak suka dansa atau jalan-jalan malam. Padahal siswa-siswi Boedoet gemar jalan-jalan ke Bioskop Senen, Garden Hall Taman Ismail Marzuki, atau Metropole. Siswono mengenang, "Jam 19.00 dia akan permisi, sementara kami masih akan begadang."

Di sekolah, Sarengat membentuk kelompok belajar dengan Siswono dan Salamun. Ia juga belajar bersama Edi Pardede, Raldiyanto, Amru Hidari, dan Piping Sumadipraja. Amru kerap menjadi guru matematika bagi Sarengat lantaran pernah bersekolah di Swedia. "Terkadang hari Ahad kami ramai-ramai belajar di sekolah," ucap Salamun.

Sarengat akhirnya berhasil lulus ujian sekolah pada pertengahan 1961. Ini ketiga kalinya dia mengikuti ujian akhir selama lima tahun belajar di SMA. Usianya 21 tahun. Ia berniat melanjutkan sekolah di Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung. Hasrat itu terhenti saat ia menerima undangan dasalomba untuk persiapan Asian Games 1962.

Sarengat putar setir mendaftar ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia harus masuk pemusatan latihan di Jakarta sehingga tak bisa kuliah di lain kota. Ia memecahkan rekor nasional dasalomba sehingga berhak pula menerima beasiswa dari Perguruan Tinggi Ilmu Pendidikan (PTIP).

Pada awal kuliah, otak dan pikiran Sarengat betul-betul tertuju di lintasan lomba. Ia sibuk dengan persiapan Asian Games hingga memecahkan rekor sebagai pelari 100 meter tercepat di Asia, dengan waktu 10,4 detik.

Dari prestasi itu, Sarengat sempat dijanjikan hadiah oleh pejabat Kementerian Olahraga untuk kuliah kedokteran gratis di University of Oregon, Amerika Serikat. Tapi Sarengat gagal berangkat. Ia mengandalkan dana beasiswa untuk membiayai kuliahnya. Belakangan, beasiswa Pendidikan Dokter Angkatan Darat, yang jumlahnya lebih tinggi daripada beasiswa PTIP, bisa ia dapatkan.

Sarengat sering berlatih di Lapangan Ikada. Di lapangan itulah ia berjumpa dengan Nani Supadmiani Titi Utari, putri Abdulrachman Setjowibowo, bekas Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia dan Direktur Jenderal Agraria, pada 1962. Nani-yang juga atlet bola voli-terpikat pada karisma Sarengat.

Selisih usia Sarengat dan Nani terpaut enam tahun. Ketika Sarengat menjadi mahasiswa kedokteran, Nani masih mengenakan seragam putih-abu-abu Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Jakarta. Setelah melewati proses makclombang dari beberapa teman, keduanya berpacaran cukup lama hingga menikah pada 1968.

Kawan Nani di SMA 6 Jakarta, Rinie Amaluddin, sering melihat Sarengat menemui Nani di belakang sekolah. "Belakangan baru aku ketahui, pemuda jangkung itu seorang atlet pelatnas yang apel di SMA 6 menjenguk Nani, sahabat dan teman sebangku di kelas 3A," kata Rinie dalam otobiografi Sarengat.

Kuliah Sarengat sempat terbengkalai. Prestasi kuliahnya tak secerah medali yang ia kumpulkan di lintasan lomba. Namun, berkat dorongan Nani, Sarengat kembali meneruskan kuliah.

Saat menemui Presiden Sukarno di Istana Merdeka, Sarengat mengadu, "Saya tidak boleh ikut ujian." Ia sering meninggalkan bangku kuliah karena berlatih menghadapi perlombaan. Bung Karno tertawa mendengar cerita Sarengat. Presiden mengenal Sarengat sejak ia masuk Pelatnas Asian Games 1962.

Meski harus menghadapi kemarahan Rektor UI Syarif Thayeb, rengekan Sarengat di depan Sukarno membuahkan hasil. "Hanya karena seperti itu kamu melapor kepada Bung Karno!" kata Syarif. Sarengat menjawab, "Pikiran saya sudah butek, Pak."

Diberi dua pekan untuk belajar, Sarengat bisa ikut ujian. Ia juga tak perlu mengulang semua mata kuliah. Sarengat menghabiskan enam tahun untuk menyelesaikan kuliah tingkat I hingga tingkat III. Pada 1970, ia akhirnya berhak menyandang gelar dokter.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus