Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Semesta dalam Genggaman Hawking

Buku terbaru Stephen Hawking (bersama Leonard Mlodinow), The Grand Design, segera menjadi berita dan trending topic di Twitter begitu diterbitkan awal September lalu. Hal ini terutama karena implikasi dari pencariannya untuk menjawab pertanyaan ”bagaimana semesta bermula?”—bahwa penciptaan semesta dan hal-hal lain tidak membutuhkan intervensi sesuatu yang supernatural atau tuhan. Mengapa dia sampai pada pendapat ini? Dan bagaimana sebenarnya posisi Hawking dalam rangkaian ikhtiar melalui ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan pamungkas tentang semesta dan kehidupan? Apa saja kontribusinya?

1 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak pertanyaan ”mengapa kita ada” mengusik manusia berpuluh abad silam, ikhtiar untuk mencari jawabannya tak pernah berhenti. Banyak orang berpaling ke berbagai kekuatan besar di luar manusia. Para filsuf sejak Yunani klasik menyodorkan jawaban-jawaban spekulatif dengan mengandalkan kekuatan logika. Merekalah yang mendominasi pikiran manusia.

Tapi filsafat kini mati, kata Stephen Hawking. Filsafat tak sanggup mengimbangi perkembangan sains modern, terutama fisika. Obor penerang bagi pencarian ilmu pengetahuan kini dipikul para ilmuwan. Walaupun sains modern dianggap baru bermula pada abad ke-17, sumbangannya luar biasa bagi kemajuan peradaban, meski—sayangnya—juga bagi kerusakan.

Bagi Hawking, untuk memahami semesta pada tingkat terdalam, kita perlu beranjak dari sekadar menjawab pertanyaan bernada ”bagaimana” menuju ”mengapa”. ”Bagaimana” adalah pertanyaan praktis yang lazim diajukan ilmuwan. Dengan kemajuan sains, kinilah saatnya kita mengajukan pertanyaan seperti: Mengapa sesuatu ada dan bukan tak ada? Mengapa kita ada? Mengapa hukum tertentu berlaku, dan bukan yang lain? Inilah pertanyaan pamungkas tentang kehidupan dan alam semesta yang secara ”tradisional” beredar di ranah filsafat. Hawking, bersama Leonard Mlodinow, berusaha menjawabnya dalam karya mereka yang baru terbit, The Grand Design.

Bukanlah hal baru, sesungguhnya, bahwa ilmuwan berbicara melampaui batas-batas sains. Terutama ketika mereka berbicara tentang gerak, matahari dan bumi, planet dan semesta. Juga ketika Charles Darwin menerbitkan kitabnya, The Origin of Species, Tuhan dibawa-bawa ke dalam arena perdebatan. Revolusi yang ditimbulkan oleh Teori Evolusi menyebabkan orang berdebat di manakah peran Tuhan.

Pada masa yang lama, filsuf adalah juga ilmuwan (minus eksperimentasi). Aristoteles berbicara mengenai logika, etika, dan retorika, sebagaimana ia memikirkan mekanika dan semesta (kosmos). Jika kita memahami apa yang menyebabkan gerak, menurut Aristoteles, kita akan memahami sebab adanya dunia.

Isaac Newton membaca Nicomachean Ethics, yang ditulis Aristoteles berabad-abad sebelumnya. Ia membuat catatan-catatan di bukunya mengenai filsuf Yunani ini. Ia mengajukan ”beberapa pertanyaan filosofis”. Newton bertanya: ”Dapatkah kita mengetahui, melalui kekuatan logika, apakah materi bersifat kontinu dan bisa dipecah-pecah secara tak terhingga, ataukah diskontinu dan individual?”

Newton, dalam pandangan Hawking, lebih ilmiah dalam memahami gerak. Dia diterima luas berkat hukum gerak dan gravitasinya, yang mampu menjelaskan orbit bumi, bulan, dan planet, bahkan fenomena naik-turunnya permukaan laut. Persamaan gravitasi yang memakai namanya masih diajarkan hingga kini. Newton, bersama barisan ilmuwan seperti Nicolas Copernicus, Johannes Kepler, Francis Bacon, Rene Descartes, dan Galileo Galilei, berupaya menemukan hukum-hukum yang mengatur alam. Mereka berusaha menjawab pertanyaan bagaimana alam ini bekerja.

Lewat perumusan dalam bahasa matematika (Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, 1687), para ilmuwan itu ingin menjawab pertanyaan dengan cara yang melampaui spekulasi. Mereka meninggalkan pandangan sebelumnya, yang mencari tujuan di balik berbagai fenomena, dan menganggap pertanyaan berkaitan dengan Tuhan, roh manusia, dan etika mempunyai signifikansi tertinggi.

Toh, itu bukanlah jalan yang serta-merta menafikan konsekuensi yang lebih luas: filosofis, teologis, maupun praktis. Pandangan heliosentris Copernicus dan Galileo mematahkan pandangan geosentris Ptolemeus yang diikuti Gereja, dan serangan pada keyakinan religius ini telah menimbulkan masalah serius bagi kedua ilmuwan. Bagi Gereja, pandangan heliosentris adalah bidah, meski Descartes mengatakan hukum alam adalah takdir Tuhan dan Newton meyakini sistem tata surya tidak muncul dari kekacauan semata-mata dikarenakan hukum alam. Keteraturan di semesta, kata Newton, ”diciptakan oleh Tuhan pada mulanya dan dipelihara olehnya hingga hari ini dalam keadaan dan kondisi yang sama”.

Fisika klasik dari generasi Newton juga mempengaruhi pandangan dunia, menembus wilayah di luar fisika. Selama abad ke-19 para ilmuwan terus mengembangkan model mekanistis alam dalam fisika, kimia, biologi, yang kemudian merambah area ilmu sosial dan psikologi. Fisikawan nuklir Fritjof Capra (The Turning Point) menunjukkan betapa pandangan mekanistis Cartesian-Newtonian mempengaruhi cara manusia memperlakukan alam, bukan untuk memperoleh kearifan, melainkan menguasainya. Alam dipahami dengan cara direduksi jadi bagian-bagiannya.

Dasar-dasar yang dibangun barisan raksasa itulah, seperti matematika dan metode penalaran oleh Descartes (Discourse on Method) dan metode ilmiah oleh Francis Bacon, yang memberikan keyakinan kuat kepada para ilmuwan hingga kini perihal kepastian pengetahuan ilmiah. Sebuah kepastian yang melampaui spekulasi filosofis. Sebuah keyakinan yang kemudian diwarisi Hawking, yang mengagungkan determinisme ilmiah.

l l l

Pengaruh Newton dalam fisika, khususnya, mulai terusik ketika Michael Faraday melakukan eksperimen dan James Clerk Maxwell berhasil menggabungkan gaya listrik dan magnet menjadi elektromagnetik. Maxwell pula yang menemukan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik. Inilah masa peralihan menuju fisika modern yang ditandai lahirnya pemikiran revolusioner Albert Einstein tentang relativitas. Di usianya yang baru 26 tahun (1905), Einstein mempublikasikan makalahnya tentang relativitas khusus.

Selama 11 tahun kemudian, Einstein mengembangkan teori baru mengenai gravitasi, yang ia sebut relativitas umum (November 1915). Ia mengajukan pemikiran revolusioner bahwa ruang-waktu tidak datar, sebagaimana diasumsikan sebelumnya, tapi berbentuk kurva dan ini terjadi karena distorsi oleh massa dan energi di dalamnya. Ini perombakan besar atas pemikiran Newtonian mengenai ruang dan meletakkan waktu sebagai dimensi yang sama penting di samping tiga dimensi ruang.

Dua tahun sesudah itu, Einstein menerbitkan tulisan berjudul Cosmological Considerations (Tinjauan Kosmologis). Ia menerapkan teori barunya untuk mengkaji alam semesta. Maka dimulailah era kosmologi modern. Sekali lagi Einstein memperlihatkan kepionirannya. Kosmologi mempelajari alam semesta yang sebagian besar telaahnya berdasarkan sejumlah hipotesis, dan gravitasi Einsteinian merupakan konsep terpenting dalam kosmologi.

Semula kosmologi dipandang sebagai pseudo-sains, tapi dua perkembangan penting menjadikannya tak bisa diremehkan lagi. Pertama, terobosan dalam pengamatan astronomi, yang mampu mendeteksi galaksi-galaksi terjauh, membuat semesta menjadi laboratorium untuk menguji model-model kosmologi. Kedua, teori relativitas umum Einstein telah teruji sebagai teori gravitasi yang andal dan akurat yang berlaku di seluruh alam semesta.

Namun fisika klasik Newton dan fisika Einstein kesulitan ketika harus menjelaskan fenomena di dunia atomik dan subatomik. Pada 1920-an, kemampuan para fisikawan dalam memahami alam semesta dihadapkan pada tantangan yang serius. Setiap kali mereka bertanya kepada alam tentang suatu masalah dalam eksperimen atom yang mereka lakukan, alam menjawabnya dengan paradoks, hingga fisikawan Werner Heisenberg berulang kali bertanya pada diri sendiri: ”Mungkinkah alam itu absurd sebagaimana yang tampak pada kita dalam eksperimen-eksperimen atom ini?” (Capra, The Tao of Physics, 1975).

Kegagapan menghadapi jagat subatomik itulah yang mendorong para ilmuwan semasa Einstein, seperti Heisenberg, Neils Bohr, Max Planck, Erwin Schrödinger, Paul Dirac, Louis deBroglie, dan Wolfgang Pauli, merumuskan kerangka konseptual bagi fisika baru. Materi subatom merupakan entitas sangat abstrak yang beraspek ganda, tergantung bagaimana kita memandangnya: sebagai partikel dan sebagai gelombang. Penemuan ini melumpuhkan pengertian klasik tentang obyek padat.

Dualitas partikel/gelombang itu dipahami Bohr sebagai komplementaritas, dan fisikawan Denmark ini kerap mengatakan pengertian ini mungkin juga bermanfaat dalam ilmu di luar fisika. Fisikawan Fritjof Capra termasuk perintis penafsiran yang meluas hingga wilayah spiritualitas. Karyanya yang masyhur, The Tao of Physics (1975), melihat kesejajaran dualitas ini dengan mistisisme Timur. Yin/yang dalam masyarakat Cina, misalnya.

Namun penemuan berikutnya membikin Einstein tak habis pikir. Heisenberg menemukan prinsip ketidakpastian (1926), yang menyatakan kita memiliki keterbatasan dalam mengukur secara serentak posisi dan kecepatan suatu partikel. Partikel subatom tak bisa dipahami sebagai entitas yang mandiri, tapi mesti dilihat dari interaksinya dengan partikel lain. Tercium aroma posmo, memang. Dan inilah dimulainya babak baru bagi peran penting fisika kuantum.

Apa dampak relativitas Einstein dan fisika kuantum? Bom atom yang menjadi kekuatan ampuh untuk menghentikan Perang Dunia II dan kemudian memacu perlombaan senjata antara Uni Soviet dan Amerika Serikat beranjak dari teori relativitas khusus. Teori kuantum memberi landasan kuat bagi pengembangan teknologi informatika, dan kita sehari-hari memanfaatkannya: Internet.

Tak kalah dahsyat dari itu ialah implikasinya atas pemikiran filosofis manusia mengenai diri dan alamnya. Teori relativitas berujung pada gambaran bahwa alam semesta terbatas dalam ruang dan berkembang meluas tak terhindarkan, bermula pada satu peristiwa besar ketika jagat raya lahir dalam suatu Dentuman Besar di awal semesta. Dan Einsteinlah yang membuka jalan bagi kosmologi modern.

Teori kuantum berujung pada gambaran bahwa pada skala terkecil benda-benda, termasuk jagat raya di awal hidupnya (bukan di masa sekarang), peristiwa-peristiwa fisik yang terjadi saat itu merupakan kebetulan tanpa sebab. Karena ukuran alam semesta amat-sangat kecil pada saat awal, menurut para penafsir teori kuantum, prinsip ketidakpastian Heisenberg dalam teori kuantum juga berlaku pada alam itu.

Teori relativitas berujung pada kepastian, sedangkan teori kuantum berujung pada ketidakpastian. Inilah yang membuat Einstein geleng-geleng kepala: ”(Rasanya) Tuhan tidak bermain dadu.” Di tengah kegalauannya, Einstein berusaha keras menyatukan gaya-gaya elektromagnetik (yang dipersatukan Maxwell), gaya nuklir lemah, gaya nuklir kuat, dan gaya gravitasi (yang mengatur alam semesta) dalam satu rumusan tunggal dan final, yang oleh sebagian orang disebut Theory of Everything (Teori Segala Hal). Einstein gagal.

Di antara perdebatan yang kelak kerap diceritakan ulang oleh sejarawan sains itu, Edwin Hubble mempublikasikan hasil observasinya bahwa alam semesta mengembang (1929), tiga belas tahun sebelum Stephen Hawking lahir. Hawking memasuki dunia akademis ketika riset kosmologi berbasis relativitas umum Einstein tengah mekar-mekarnya. Barangkali zaman memang menunggu kehadirannya untuk memberikan kontribusi.

Pada awal 1970-an, teori lubang hitam sedang naik daun. Lubang hitam (black hole) adalah istilah yang ditemukan kosmolog AS, John Wheeler (1969), untuk ”bintang-bintang yang mengalami keruntuhan gravitasi sempurna”. Di Moskow, Pasadena, Princeton, dan Cambridge, istilah ini pun segera populer.

Hawking, yang batal melakukan riset doktoralnya di bawah Fred Hoyle, penemu istilah Big Bang (Dentuman Besar) pada 1949, mulai bekerja di bawah arahan Dennis Sciama. Sebagai bukan matematikawan murni, Hawking menerapkan teknik matematika yang diperkenalkan Roger Penrose untuk mempelajari lubang hitam. Penrose sendiri kemudian berusaha mencari jawaban atas pertanyaan ”bagaimana kita berpikir” dan ”apa yang menjadikan kita manusia” (dua kitabnya: The Emperor’s New Mind dan Shadows of the Mind).

Menjelang kelumpuhannya, Hawking mulai menonjol dalam kosmologi, khususnya lubang hitam. Alih-alih memakai tangan untuk menulis dan menggambarkan gagasannya, Hawking mulai beradaptasi untuk menggunakan gambaran mentalnya. Ia berusaha menyatukan teori relativitas tentang gravitasi dan fenomena skala besar dengan teori kuantum mengenai partikel subatom.

Dari coretan-coretan di benaknya saja, Hawking melahirkan Hukum Pertambahan Luas pada permukaan lubang hitam. Bunyinya: ”Luas permukaan suatu lubang hitam hanya dapat tetap sama atau bertambah, tetapi tidak pernah berkurang.” Ilham tentang ide ini muncul tiba-tiba. ”Begitu hebat pengaruh ini sehingga saya terjaga hampir semalaman,” tutur Hawking.

Pernyataan ”tidak pernah berkurang” dalam rumusan Hawking itu mengingatkan pada besaran entropi dalam Hukum Termodinamika II. Entropi (ketidakteraturan) suatu sistem hanya dapat tetap sama atau meningkat, tetapi tidak pernah berkurang (jika sistem itu terisolasi dan dibiarkan mencapai kesetimbangan). Ludwig Boltzmann, fisikawan Austria, pada 1878 menyebutkan definisi entropi sebagai banyaknya kemungkinan dalam melakukan penyusunan molekul. Misalnya, jika suatu keadaan mempunyai banyak cara yang berbeda untuk menyusun molekul-molekulnya, sistem itu mempunyai entropi yang besar.

Ketika benda mencapai kesetimbangan termal, benda itu mempunyai suhu tertentu dan karenanya memancarkan radiasi serta mengalami pertukaran energi dengan lingkungannya. Tapi ketika itu umum orang berpendapat, lubang hitam tidak mungkin memancarkan apa pun. Segala sesuatu bisa jatuh ke dalam lubang hitam, tak ada yang bisa keluar darinya. Cahaya sekalipun.

Namun Jacob Bekenstein, mahasiswa pascasarjana yang dibimbing John Wheeler, berpendapat bahwa lubang hitam mempunyai entropi dan ini mungkin berkaitan dengan hukum pertambahan luas permukaan lubang hitam yang ditunjukkan Hawking. Bekenstein lalu menulis makalah singkat yang mengidentifikasi luas permukaan lubang hitam sebagai entropi lubang hitam.

Hawking menganggap mahasiswa itu telah menyalahgunakan teorinya. Namun pikirannya mulai terusik setelah bersama James Bardeen dan Brandon Carter di Pegunungan Alpen, Prancis, menemukan hukum yang mengatur evolusi lubang hitam berdasarkan relativitas Einstein. Hukum mekanika lubang hitam ini mirip dengan hukum termodinamika. Namun mereka ketika itu menganggapnya kebetulan belaka. Lain halnya bagi Bekenstein. Ia menganggap penemuan itu memperkuat pendapatnya bahwa luas permukaan lubang hitam adalah entropinya.

Kekukuhan pendapat Bekenstein mulai menggoyahkan Hawking. Ia lalu menelaah apa yang bisa terjadi di permukaan lubang hitam dengan memakai prinsip ketidakpastian Heisenberg, yang meramalkan energi muncul dan lenyap bergantian dalam skala waktu yang ditentukan oleh skala Planck (10-33). Dengan persamaan Einstein, E=mc2, energi ini diubah menjadi partikel dan antipartikel yang silih berganti muncul dan lenyap.

Dalam telaah itulah, Hawking menggabungkan mekanika kuantum dan relativitas umum dalam rumusan tunggal untuk pertama kalinya (1974). Dari sini ia berkesimpulan bahwa lubang hitam tidak sepenuhnya hitam, tapi memancarkan radiasi—Bekenstein benar, rupanya. Jadi, lubang hitam tidak hanya mempunyai entropi, tapi juga suhu, dan mematuhi hukum termodinamika klasik yang ditemukan Boltzmann pada akhir abad ke-19.

Temuan itu diakui amat penting. Hanya beberapa pekan setelah tulisan tentang radiasi lubang hitam diterbitkan, Hawking menerima gelar kehormatan akademik tertinggi Inggris. Di usia 32 tahun, ia diangkat menjadi anggota Fellow of the Royal Society. Ia diundang untuk melakukan riset di Caltech, Pasadena, AS. Ketika itulah Hawking menerima surat pemberitahuan dari Vatikan bahwa ia dipilih oleh Akademi Sains Vatikan untuk menerima medali Paus Paulus XI. Penghargaan ini mulai menggeser riset Hawking dari lubang hitam ke permulaan alam semesta, dengan Dentuman Besar sebagai tesis yang diminati Gereja Katolik Roma.

l l l

Namun sejarah kemudian mencatat Hawking bergerak menjauhi harapan Vatikan. Penafsiran Richard Feynman, jenius fisika dari AS, atas teori kuantum melahirkan apa yang disebut sebagai ”sum over histories”. Model kuantum menyebutkan partikel dikatakan tidak memiliki posisi yang pasti sepanjang waktu antara titik awal dan titik akhir dalam suatu eksperimen. Dalam tafsiran Feynman, partikel justru mengambil setiap jalur yang mungkin yang menghubungkan kedua titik itu.

Kesimpulan Feynman: suatu sistem bukan hanya memiliki satu sejarah, melainkan setiap sejarah yang mungkin. Ini gagasan radikal, bahkan bagi banyak fisikawan. Dalam teori Newtonian, masa lalu diasumsikan ada sebagai serangkaian peristiwa yang pasti. Menurut fisika kuantum, alam semesta memiliki bukan hanya satu masa lalu, melainkan banyak. Semesta bukan hanya memiliki eksistensi tunggal, tetapi setiap versi yang mungkin dari semesta ada secara simultan dalam apa yang disebut quantum superposition.

Penafsiran Feynman inilah yang membangkitkan semangat Hawking untuk memperbaiki teorinya. Dalam sejarah sains, kita telah menemukan serangkaian teori atau model yang lebih baik dan lebih baik, sejak Plato hingga teori klasik Newton sampai teori-teori kuantum modern. ”Akankah rangkaian ini akhirnya mencapai suatu titik akhir, teori pamungkas tentang semesta, yang akan mencakup seluruh gaya dan memprediksi setiap observasi yang kita lakukan, ataukah kita akan terus selamanya menemukan teori yang lebih baik, tetapi tidak pernah menemukan satu teori yang tak bisa diperbaiki lagi?” tulis Hawking dalam The Grand Design.

”Kita belum memperoleh jawaban definitif atas pertanyaan ini,” tulis Hawking, ”tapi kita sekarang memiliki calon bagi teori pamungkas tentang segala Hal, jika memang ada, yang disebut Teori-M.” Bagi Hawking, Teori-M adalah satu-satunya model yang mengandung seluruh sifat yang harus dimiliki teori yang final. Dan ini melibatkan 10 dimensi ruang dan satu dimensi waktu.

Berpijak pada penafsiran Feynman, Hawking mengatakan, menurut Teori-M, semesta kita tidaklah tunggal. Gagasan seperti ini di masa lampau pernah dilontarkan Fakhr al-Din al-Razi (1149-1209), yang menolak konsep geosentris Ptolemeus—yang berarti mendahului Copernicus maupun Kepler dan Galileo. Al-Razi juga menyebutkan alam semesta ini tidak tunggal dan sangat banyak.

Namun, berbeda dengan Al-Razi yang berpaling kepada adanya pencipta, Hawking berujung di kesimpulan bahwa penciptaan alam semesta tidak memerlukan intervensi sesuatu yang supernatural atau Tuhan. Semesta yang banyak ini muncul alamiah dari hukum fisika. ”Masing-masing semesta memiliki banyak sejarah yang mungkin dan banyak keadaan yang mungkin pada masa-masa yang kemudian, misalnya pada masa seperti sekarang, jauh sesudah terciptanya mereka. Semesta adalah prediksi sains.”

Sebuah klaim yang lebih deterministik dibanding pernyataannya 22 tahun lalu dalam A Brief History of Time. ”Apabila semesta ada titik awalnya, kita dapat mengira ada penciptanya. Namun, seandainya semesta benar-benar mandiri, tidak memiliki batas atau titik ujung, semesta tidak memiliki awal maupun akhir: semesta hanyalah ada. Kalau begitu, di mana tempat bagi Sang Pencipta?”

Scientific determinism, yang beberapa kali ditegaskan Hawking, tidak memberi tempat bagi Tuhan. Dalam sejarah perdebatan sains-agama, ini bukan hal baru. Charles Darwin telah memulainya, dan kini diwarisi dengan penuh keyakinan oleh ilmuwan Richard Dawkins (The Selfish Gen dan A Devil’s Chaplain). Dawkins menggusur peran Tuhan dalam penciptaan. Steven Weinber, fisikawan yang meraih Nobel bersama Abdus Salam, dalam Dreams of a Final Theory, menyebutkan semakin sains menukik ke dalam hakikat segala sesuatu, alam semesta ini tampaknya semakin tidak memberi tanda-tanda bahwa ia merupakan jejak Tuhan yang ”menaruh perhatian kepadanya”.

Sebagian ilmuwan enggan menarik Tuhan ke dalam arena sains, seperti diwakili Peter Woit, fisikawan dari Universitas Columbia, AS, ketika menanggapi The Grand Design: ”Saya lebih suka pada naturalisme dan tidak melibatkan Tuhan dalam fisika.” Fisikawan seperti Paul Davies memilih posisi yang berseberangan dengan Hawking (The Mind of God dan God and the New Physics). Ada banyak posisi dalam menanggapi perkembangan sains (fisika, biologi), dan posisi Hawking adalah salah satunya.

Barangkali tepat belaka pandangan Keith Ward dalam God, Chance and Necessity (1996) bahwa ini adalah perkara interpretasi. Dan Hawking memilih interpretasi materialistik.

Dian Basuki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus