Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEPATAH "tikus mati di lumbung padi" menjadi relevan bagi hidup Sumirah. Demi memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, warga Desa Lubuk Sawah, Kecamatan Sungai Pinang, Samarinda, Kalimantan Timur, ini sampai harus menumpuk utang. Gara-garanya, ibu empat anak ini kehilangan sumber penghasilan utama dari bercocok tanam sejak lahannya dikuasai perusahaan tambang batu bara.
Sudah sepuluh tahun terakhir, Sumirah hanya mendapat ganti rugi lahan Rp 500 ribu per bulan. Padahal, ketika masih menjual sayur-mayur, ia bisa membawa pulang uang Rp 50-70 ribu per hari. Uang itu bisa digunakan untuk kebutuhan makan lima orang, sekaligus disisihkan untuk membayar listrik. "Sekarang terpaksa saya ngebon ke warung, kira-kira sampai Rp 900 ribu per bulannya," ujar Sumirah saat ditemui di rumahnya, Kamis dua pekan lalu.
Amat, anak pertama Sumirah, sebetulnya mendapat berkah dari keberadaan perusahaan-perusahaan batu bara di sekitar rumahnya. Tapi, sebagai lulusan sekolah dasar, lelaki 40 tahun ini hanya menjadi penjaga malam di perusahaan batu bara dengan bayaran Rp 2,8 juta per bulan. Uang itu, menurut Sumirah, tak bersisa lantaran dibagi-bagi untuk membayar listrik, kredit televisi, dan cicilan sepeda motor.
Mujiono, tetangga Sumirah, mengalami kerugian yang sama. Satu-satunya penghasilan dari menanam palawija menguap lantaran tanah di sekitar rumahnya tak lagi subur. "Lubang-lubang tambang di sekitar tempat tinggal kami membuat lingkungan jadi tercemar," kata Mujiono.
Semula Mujiono sempat legawa. Ia menduga keberadaan perusahaan tambang bakal mengubah nasibnya meski ia tak lagi bisa bertani. Namun, karena tak memiliki kemampuan memadai, Mujiono hanya bisa menjadi buruh angkut di perusahaan batu bara tersebut sejak 2009. Bapak dua anak ini memutuskan keluar pada 2015 setelah sadar waktu kerjanya dengan penghasilan yang diperoleh tak sepadan. "Namanya juga orang kecil, tidak bisa berharap apa-apa," ujarnya.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur, Pradarma Rupang, mengatakan bisnis pertambangan memang selalu menggiurkan di awal. Menurut dia, keberadaan pertambangan ini dalam jangka panjang justru membuat masyarakat di dekat wilayah konsesi kian miskin. Setiap kali wilayah pertambangan dibuka, masyarakat di sekitar daerah konsesi terpaksa menyerahkan tanahnya.
Padahal, kata Pradarma, kebanyakan masyarakat di daerah penghasil tambang seperti di Kalimantan Timur menyandarkan hidupnya dengan bertani. Meski mendapat ganti rugi, masyarakat kehilangan mata pencarian utama dari sektor pertanian. Seperti yang sudah terjadi pada Sumirah dan Mujiono, kalaupun masih tersedia lahan, lingkungannya sudah tidak memungkinkan untuk bercocok tanam. "Akibatnya, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin," ujar Pradarma, Kamis malam dua pekan lalu.
Peneliti Yayasan Auriga, Hendrik Siregar, berpendapat serupa. Menurut dia, proses pemiskinan masyarakat sesungguhnya terjadi sejak kehilangan lahan. Sebab, pembayaran ganti rugi selama ini hanya menghitung nilai tanah. Padahal masyarakat punya kewajiban memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Mereka melepas tanah produktif, dan ketika mendapat ganti rugi, uang hanya cukup untuk beli tanah," kata Hendrik, Selasa pekan lalu.
Perkara tak lantas rampung setelah mereka membeli tanah. Menurut Hendrik, para petani memulai kembali usahanya dari nol karena lahannya pindah. Artinya, dibutuhkan lagi uang untuk membeli pupuk, benih, bibit, dan alat pertanian. Ujung-ujungnya, masyarakat meminjam ke tengkulak. Masalahnya, masyarakat harus menunggu lahan kembali produktif. "Nah, selama menunggu masa produktif, bagaimana masyarakat di sekitar tambang memenuhi kebutuhan sehari-hari kalau tidak mengutang?" ujarnya. "Begitulah lingkaran setannya."
Persoalan lain yang melanggengkan kemiskinan di sekitar daerah pertambangan adalah tidak meratanya perolehan dana bagi hasil pertambangan umum. Anggota kelompok organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu kelestarian sumber daya alam dan lingkungan ini mengatakan daerah penghasil mendapat jumlah yang tak jauh berbeda dengan daerah sekitarnya. Akibatnya, masyarakat di daerah penghasil tak serta-merta merasakan manfaat dari keberadaan tambang.
Di Kalimantan Selatan, perkataan Hendrik menjadi kenyataan. Keberadaan tambang batu bara di pedalaman provinsi itu tak berdampak apa pun pada kondisi di sekitarnya. Di Desa Gunung Raya, Kecamatan Mantewe, Kabupaten Tanah Bumbu, misalnya, akses infrastruktur jalan masih rusak berat.
Anjang, tetua masyarakat adat di Mantewe, mengatakan warga Desa Gunung Raya selama ini bersandar pada hasil tani, berkebun pisang, dan berladang. Justru keberadaan pertambangan menghapus seluruh sumber penghidupan masyarakat. "Kami tak pernah menikmati hasil tambang," ujar Anjang. "Sebagian warga desa buktinya belum menikmati listrik."
Area pertambangan batu bara sebetulnya tersebar di Kecamatan Mantewe. Tapi masyarakat setempat satu suara bahwa pertambangan tidak memberikan manfaat apa pun terhadap kesejahteraan suku Dayak Meratus yang mendiami daerah itu. Bukannya untung, masyarakat menanggung buntung. Bukannya membuka lapangan pekerjaan, tambang merenggut sumber rezeki masyarakat desa dan malah meninggalkan kerusakan lingkungan.
Menurut Kepala Seksi Sosial Badan Pusat Statistik Tanah Bumbu, Irfan Azam Fikri, peningkatan angka kemiskinan di daerah yang kaya akan hasil tambang ini didorong penurunan harga batu bara sepanjang dua tahun terakhir. Selama ini, pertambangan batu bara berkontribusi menyumbang 50,9 persen dari produk domestik regional bruto Tanah Bumbu, yang pada 2012 sebesar Rp 13,4 triliun. Namun, dari total PDRB pada 2015 sebesar Rp 16 triliun, kontribusi tambang batu bara hanya 41 persen.
Meski demikian, Irfan menduga kontribusi batu bara kepada pemerintah itu tak serta-merta dirasakan masyarakat lokal. Terutama soal potensi lapangan kerja, yang tertutup bagi penduduk setempat. Penyebabnya, perusahaan tambang biasanya membawa para pendatang dan hanya melibatkan segelintir masyarakat. "Sumber daya manusia di sini tidak begitu bagus, belum siap," kata Irfan. Walhasil, perusahaan mempekerjakan karyawan seperti insinyur dan ahli pertambangan dari luar Tanah Bumbu.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Bumbu mencatat angka pengangguran di Tanah Bumbu berturut-turut menyentuh level 8,43 persen pada 2012, 7,14 persen pada 2013, 4,76 persen pada 2014, dan melonjak ke level 8,44 persen pada 2015. Fakta ini menunjukkan angka pengangguran di Tanah Bumbu yang tertinggi dari 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. Adapun angka kemiskinan di Tanah Bumbu melonjak dari 5,2 persen pada 2013 menjadi 5,5 persen pada 2015.
Ditemui terpisah, Bupati Tanah Bumbu Mardani H. Maming mengatakan potensi tambang batu bara memang belum berhasil mengungkit tingkat kesejahteraan masyarakat lokal. Namun Mardani berkukuh sektor tambang paling berkontribusi menyumbang pendapatan daerah lewat royalti. Menurut dia, royalti batu bara dari Tanah Bumbu pada 2014 mencapai Rp 260 miliar. "Pemasukan banyak, tapi saya mengakui adanya soal SDM dan pengangguran karena warga Tanah Bumbu tidak punya SDM spesialis tambang," ujarnya.
Mardani sadar akan kondisi sosialdidaerahnya. Itu sebabnya, menurut dia, politeknik swasta yang menawarkan ilmu pertambangan telah dibangun sejak dua tahun lalu. Pemerintah daerah telah menyiapkan lahan seluas 50 hektare dengan dana sekitar Rp 135 miliar. Proyek ini bakal digarap Kementerian Perindustrian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo