Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Yahya Dwi dan kawan-kawannya menggelar pameran serta riset terkait dengan klitih.
Pameran seni yang digelar pada 6 Maret-6 April 2021 di Galeri Lorong dihadiri oleh lebih dari 700 pengunjung.
Pelaku klitih pada dasarnya manusia yang juga memiliki masa depan.
KETERTARIKAN perupa Yahya Dwi Kurniawan terhadap masalah klitih mendorongnya menggelar beragam acara dengan melibatkan mantan pelakunya. Pada 14-16 Agustus 2020, misalnya, ia dan kawan-kawannya mengadakan focus discussion group dengan menghadirkan mantan pelaku klitih, korban, hingga sosiolog. “Tempatnya di Galeri Lorong,” tuturnya kepada Tempo, Selasa lalu. Galeri itu berlokasi di daerah Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka mendapatkan pendanaan dari Prince Claus Fund for Culture and Development untuk melakukan penelitian tentang kekerasan jalanan yang dilakukan remaja itu. Dana tersebut sebagian digunakannya untuk membuat pameran bertajuk "The Museum of Lost Space". Pameran itu juga digelar di Galeri Lorong pada 6 Maret-6 April 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yahya menyediakan tembok sepanjang 8 meter untuk dicoret-coret oleh mantan pelaku klitih maupun korban kekerasan jalanan tersebut. Seniman itu juga membuat mural yang berisikan peta, nama geng kampung, dan geng sekolah. Pengunjung pun bisa menambahkan keterangan jika masih ada nama geng kampung dan sekolah yang belum tertulis di sana.
“Wani Rusuh”, mural interaktif, karya Yahya DK.
Yahya juga memamerkan beragam senjata yang dipakai mantan pelaku klitih, antara lain gergaji pemotong es, kampak, dan gir. Ada pula pertunjukan teater berjudul Dalam Pencarian Ruang yang Hilang. Penonton bisa menyelami sejarah kekerasan dan ruang sosial di Yogyakarta yang memproduksi sadisme, lalu membentuk subyek klitih.
Menurut Yahya, sadisme dalam klitih tidak dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk secara sosial, baik di ruang keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Sebetulnya, ia mengatakan, para pelaku klitih bisa diajak untuk melakukan kegiatan positif. “Kami ingin mengedukasi dan memunculkan perspektif baru terkait dengan klitih,” katanya. Ia mengklaim pengunjung pameran The Museum of Lost Space lebih dari 700 orang.
Yohanes Marino merupakan salah satu peneliti klitih yang ikut dalam proyek The Museum of Lost Space. Menurut dia, pelaku kekerasan jalanan itu pada dasarnya juga manusia. Mereka memiliki masa depan sama seperti remaja lainnya. “Tidak adil rasanya kalau hanya menyalahkan mereka (pelaku klitih) sendiri,” tuturnya.
Penelitian tentang klitih dan pameran tersebut juga dibukukan dengan judul In Search of Lost Space. Buku tersebut disusun oleh Marino, Arham Rahman, Febrian Adinata Hasibuan, dan Habiburrahman.
Yahya Dwi Kurniawan. Arnold Simanjuntak
Yahya dan Marino berencana terus berkarya dengan melibatkan para remaja serta pelajar agar mereka terhindar dari klitih. Dua sekawan ini segera membuat podcast dengan mewawancarai pelaku klitih. Setelah itu, pelaku klitih akan menjadi host untuk mewawancarai narasumber lainnya. “Monetisasinya akan diserahkan kepada mereka,” kata Yahya. “Mau dibuat kegiatan apa juga terserah mereka.”
Sosiolog kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada, Soeprapto, menuturkan perlu integrasi antara sekolah, kepolisian, dan keluarga untuk mencegah klitih. Orang tua bisa mengecek isi tas anaknya dan melarang anaknya keluar rumah pada malam hari tanpa alasan yang jelas. “Kalau mengandalkan sekolah saja, berat,” ujarnya.
Hal serupa dikatakan Kepala Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Kota Yogyakarta, Sylvi Dewajani. “Diperlukan sebuah koneksi kerja yang lebih terintegrasi saat menangani kasus kejahatan jalanan ini.”
GANGSAR PARIKESIT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo