Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sikap represif aparat tak mengurangi semangat seniman jalanan dalam berkarya.
Mereka merespons kondisi terkini dengan gaya menggelitik dan menohok.
Tidak hanya menanggapi persoalan di sekitar, sebagian dari mereka juga menyuarakan aspirasi terhadap situasi global.
Di sisi Jalan Jenderal Sudirman, Kota Bandung, tiga sosok orang tampak sedang mengikuti upacara bendera. Di pucuk tiang yang pendek, sehelai bendera putih berkibar. Tiga baris deretan kata pada gambar di tembok rumah toko itu mempertegas makna dan peristiwanya: “Bendera Putih di Hari Merah Putih”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mural bergaya stensil atau digambar dengan cetakan itu diwarnai cat semprot hitam. Latarnya putih kusam disertai dengan sisa coretan grafiti sebelumnya di tembok. Pembuatnya, bernama alias Terorski, ikut memasang kertas pengumuman bergaya sertifikat dalam bingkai kaca di samping karya itu. Isinya menyatakan gambar itu cuma hiburan dan permintaan agar karyanya tidak dihapus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gambar yang dibuat dengan salah satu teknik seni grafis itu merupakan karya terbaru Terorski pada sekitar Hari Kemerdekaan RI. “Merespons kejadian pedagang di Yogyakarta yang mengibarkan bendera putih waktu pembatasan kegiatan,” kata dia, Rabu lalu.
Sejak 2017, dia menanggapi situasi sosial politik yang diketahuinya dari berita dengan menggambar di jalan. Sebelumnya, ketika mulai berkiprah pada 2014 bersama teman-temannya, tema gambar Terorski sering berkaitan dengan Persib Bandung.
Mural karya Terorski di Jalan Jenderal Sudirman, Bandung, Jawa Barat, 26 Agustus 2021. TEMPO/Prima mulia
Perubahan sikap sang Bobotoh Persib itu juga dipengaruhi oleh bacaan buku dan pergaulannya dengan aktivis mahasiswa. Karya perdananya pada 2017 terkait dengan pemilihan umum. Selain di jalan, gambarnya dipajang di akun Instagram (IG) miliknya. "Saat muncul di IG, penyebarannya menjadi lebih cepat.”
Fungsi lain media sosial adalah mendokumentasikan mural di jalan yang berumur pendek. Dari pengalaman sendiri, gambarnya ada yang bertahan selama sepekan dan yang tersingkat cuma tiga jam akibat dihapus orang atau ditimpa gambar seniman jalanan lain.
Padahal, untuk membuat mural bergaya stensil, Terorski harus menyiapkan modal Rp 1-2 juta untuk 1-3 gambar. Selain untuk membeli cat semprot kaleng, cetakan untuk gambarnya harus diperbesar. Kemampuan maksimalnya mencapai ukuran 2 x 3 meter, lalu disayat-sayat untuk ruang warna bagi cat.
Ketika jerih payahnya itu lenyap dalam waktu singkat, dia menerimanya sebagai konsekuensi yang lazim. “Game-nya begitu, dihapus atau ditimpa. Kalau mau aman, mah, gambar di kosan aja,” ujar dia.
Seniman Mural, Terorski. Dok. Terorski
Pengalaman lain Terorski adalah menggambar di lokasi penggusuran rumah warga yang akan dibangun rumah deret di daerah Taman Sari, Kota Bandung. Di sebuah tembok belakang rumah yang masih utuh, dia mengecat seluruhnya dengan warna pelangi.
Tanpa tulisan, gambarnya berupa ilustrasi pepohonan dengan kepalan tangan di pucuknya sambil membelit sebidang tapak perumahan. “Kalau itu dihapusnya sama alat berat langsung, bukan sama cat lagi,” kata Terorski. Karyanya itu ikut hilang bersama bangunan yang dirobohkan.
Selain itu, muralnya pernah mendampingi masalah kasus tanah dan penggusuran di daerah Dago Elos, Bandung utara. Adapun lokasi gambar mural lainnya tersebar di daerah Antapani, Cicaheum, Buah Batu, Kosambi, Babakan Siliwangi, dan terkadang sampai Cimahi.
Target muralnya antara lain tembok pabrik, toko, dinding jembatan, dan dinding yang terbengkalai atau sudah jelek. Waktu aksinya sering kali dilakukan pada malam hari ketika sepi dan hawanya adem. “Sejauh ini, tidak ada teror atau pihak yang mengancam,” kata Terorski.
Walau begitu, polisi yang berpatroli pernah menyita cat kaleng yang dibawanya di sekitar jembatan layang Pasteur-Surapati pada 2018. Saat itu, dia hendak memasang karya stensil di sehelai kertas atau semacam poster yang ditempel dengan lem kanji (wheatpaste). Gambarnya berupa wajah Presiden Joko Widodo yang terbelah dan Soeharto.
Mural di atas lahan proyek rumah deret di Tamansari, Bandung, Jawa Barat, 1 Agustus 2019. TEMPO/Prima Mulia
Tulisan dengan huruf kapital di bagian atasnya berbunyi “Tunggu apa lagi? Ayo turun ke jalan”. Gambar itu dipasang berulang pada lain waktu, termasuk saat dipamerkan bersama seorang rekannya di sisi jalan area car-free day Dago. Selain untuk menggambar, jalanan menjadi tempat pameran singkat (showcase) karyanya mengenai pelarangan mudik Lebaran lalu.
Maret lalu, Terorski menggelar pameran tunggal perdananya di sebuah galeri di Bandung dengan tamu undangan khusus. Karya gambarnya juga menjadi sampul buku dan konsumsi band. Menurut Terorski, mural atau grafiti bukanlah suatu kejahatan atau kriminalitas dan tidak merugikan orang banyak. Tudingan seperti itu kerap kali ditujukan oleh polisi kepada seniman jalan.
“Alasan polisi menindak menjadi pertanyaan. Kalau dianggap vandalisme, apa yang kami rusak?” ujarnya. Di lokasi seperti pertokoan sepeda di daerah Kosambi, aksi menggambar seniman jalanan seperti yang dilakukan Terorski itu justru disambut antusiasme warga sekitar.
***
Rentetan penghapusan mural terus terjadi di berbagai kota. Mural karya seniman street art Yogyakarta, Digie Sigit, juga tak luput dari aksi represif aparat. Waktunya tak jauh dari peristiwa penghapusan beberapa mural di Tangerang, yang salah satunya bergambar wajah Jokowi bertulisan “404:Not Found”, dua pekan lalu.
Mural bertulisan “Save Palestine, Apa pun Agamamu” di kawasan perempatan Tugu Yogyakarta itu ditutup dengan blok hitam pada 15 Agustus 2021. “Penghapusan ini maksudnya apa?” kata Sigit saat dihubungi Tempo, Kamis lalu. Mural itu dibuat Sigit pada Mei 2021 untuk merespons agresi Israel terhadap Palestina. Lewat mural, Sigit ingin menyampaikan bahwa persoalan Palestina bukanlah persoalan muslim semata, tapi juga masalah kemanusiaan.
Seniman Street Art, Digie Sigit dan karya Muralnya di Yogyakarta, 26 Agustus 2021. Arnold Simanjuntak untuk TEMPO
Di sisi lain, Sigit melanjutkan, Palestina merupakan negara Timur Tengah pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Tanpa peran Palestina, negara-negara Timur Tengah lain tak turut memberikan pengakuan tersebut. “Aparat negara tak hanya represif, tapi juga ahistoris.”
Pengalaman serupa dialami seniman yang bergabung dalam Forum Yogya Street Art. Mural bertulisan “Dibungkam, Stop Represi” di bawah jembatan Kewek di timur kawasan Malioboro juga diblok dengan cat putih. Mural itu dibuat pada 21 Agustus 2021 dengan melibatkan lebih dari sepuluh seniman. Mereka antara lain Anagard, UR-Galaxi, Hi Hava, Juange Culture, Kinky20, Hello Pelangi, dan Bumi Aku.
“Padahal kami membuatnya dari pagi sekitar pukul sepuluh sampai tiga sore,” kata seniman street art yang biasa menggunakan nama Anagard. Saat ia dan kawan-kawannya membuat mural itu, sebuah mobil berisi aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Yogyakarta sempat lewat.
Anagard dan teman-temannya sempat waswas. Dia lalu menyambangi mobil aparat yang tengah berhenti di dekat lampu lalu lintas itu. Petugas, menurut kisah Anagard, juga menanyakan identitas seniman-seniman tersebut. “Saya bilang, 'Kan biasa kami berkarya di Yogya, Pak.' Dan bapak itu tertawa, ngobrol. Terus mereka pergi,” kata Anagard.
Seniman Street Art, Anagard dan karya muralnya di Yogyakarta, 26 Agustus 2021. Arnold Simanjuntak untuk TEMPO
Namun esok harinya, tak kurang dari 24 jam dari waktu pembuatan, mural berukuran jumbo itu sudah tak tampak. Anagard mendapat kiriman foto proses penghapusan mural oleh tiga petugas. “Berarti ini ada perintah atasan. Aparat Satpol PP sendiri enggak ada reaksi sebelumnya kan.”
Anagard mengakui bahwa komunitasnya membuat mural tersebut untuk merespons tindakan represif aparat yang menghapus karya-karya seniman street art di berbagai daerah. Baik Sigit maupun Anagard menyadari bahwa karya-karya street art di ruang-ruang publik memang rentan dihapus.
Penghapusan karya biasa dilakukan siapa saja, baik aparat maupun masyarakat umum. Masyarakat umum menghapus suatu karya apabila substansinya melanggar norma yang berlaku, seperti seksisme atau sadisme. Sebab lainnya, mereka berkeberatan temboknya dijadikan media corat-coret seniman.
Karya-karya street art pun tak berumur panjang karena media yang digunakan akan diganti dengan karya seniman lain secara bergantian. “Tapi kalau yang menghapus aparat negara, ini masalah. Berarti ini politis,” tutur Sigit dan Anagard senada.
Pengendara melintas dekat mural stensil di Yogyakarta, 27 Agustus 2021. Arnold Simanjuntak untuk TEMPO
Bagi mereka, berkarya di ruang publik merupakan bagian dari hak berekspresi. Penghapusan karya-karya itu, menurut mereka, adalah tindakan represif karena melanggar hak publik. Kebebasan berekspresi pun dilindungi konstitusi Undang-Undang 1945. Sigit menekankan, “Street art adalah bentuk ekspresi, tak ada tendensi, tak ada kooptasi ruang publik, tak merampas ruang publik.”
Sebaliknya, Sigit melanjutkan, ketika ruang publik dipenuhi sampah-sampah reklame komersial, partai politik, dan politikus, aparat negara malah membiarkannya. Sedangkan karya-karya street art dianggap merusak. Senimannya dicari dan dikriminalkan karena tak berizin. “Negara tak perlu berlebihan menyikapi,” ujar Sigit, yang sering melanglang buana ke berbagai negara, seperti Malaysia, Cina, Taiwan, Vietnam, danAustria, untuk berpameran.
Menurut mereka, tak sedikit masyarakat yang merasa terhibur dengan konten-konten mural. Apalagi di tengah situasi krisis akibat pandemi Covid-19 yang membuat publik lapar, miskin, dan tak berdaya, tapi diminta untuk tetap sehat. Seniman pun terkena dampak pandemi. Salah satunya adalah penyelenggaraan pameran dibatasi dan berlangsung secara virtual. “Karya street art itu bentuk kejujuran. Gagasan seniman muncul ketika mereka mengalami peristiwanya,” kata Anagard.
Karena hal itu pula, karya-karya street art bersifat global. Mengingat setiap senimannya merespons kondisi di lingkungan sekitar ataupun negaranya atas apa yang dialami. “Kalau seniman-seniman street art ditangkap, akan ada respons secara global,” kata Anagard, yang memenangi kompetisi seni lukis UOB tingkat Asia Tenggara di Singapura pada 2019.
Seniman Street Art, Kinky 20 dan karyanya di Yogyakarta, 26 Agustus 2021. Arnold Simanjuntak untuk TEMPO
Meski terus dihapus, baik Sigit maupun Anagard menyatakan tak kapok berkarya. Bahkan komunitas-komunitas seniman street art di Yogyakarta kian bersemangat membuat karya yang kritis. Sigit, misalnya, ikut serta dalam pembuatan mural bersama seniman-seniman lain untuk menyikapi kasus perusakan lingkungan di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, pada 28-29 Agustus 2021.
Sigit dan Anagard juga mengaku mendukung lomba mural #GejayanMemanggil yang digelar secara kolektif pada pekan ini. Gerakan itu, bagi Anagard, sebenarnya merupakan cara satire dalam menyatukan suara untuk menentang tindakan represif pemerintah. Bukan untuk mencari pemenang atas karya-karya yang dihapus lebih cepat.
“Tanpa itu (lomba), saya juga tetap akan membuat karya juga,” kata Anagard. Ia bersama teman-temannya berkomitmen tetap membuat karya-karya street art yang provokatif, kreatif, dan progresif untuk merespons persoalan lokal, nasional, hingga global.
Lomba mural #GejayanMemanggil memang diadakan untuk menanggapi penghapusan mural di sejumlah tempat. "Perlombaan ini merupakan respons terhadap situasi makin reaktifnya aparat saat ini," kata juru bicara Gejayan Memanggil, yang meminta disebut sebagai Mimin Muralis, seperti dikutip Tempo.co, 26 Agustus lalu. Menurut dia, lomba ini menjadi ruang bagi masyarakat untuk berekspresi merespons kebijakan pemerintah, khususnya dalam penanganan pandemi Covid-19.
Mural berisi respon terhadap penghapusan mural di Taman Monju, Bandung, Jawa Barat, 27 agustus 2021. TEMPO/Prima mulia
Ada sejumlah hal yang dinilai dalam lomba yang berlangsung pada 23-31 Agustus itu, antara lain pemilihan lokasi strategis, semangat melawan, tidak menyinggung SARA, apresiasi masyarakat, dan dihapus atau tidaknya karya tersebut oleh aparat. "Kalau sampai dihapus, itu kandidat (pemenang). Karena kalau sampai dihapus, artinya dianggap mengancam," ujar Mimin.
Hadiahnya berupa eksposur, merchandise, serta kemungkinan pemasaran karya mereka dengan pembagian keuntungan. Separuh hasil penjualan untuk pemenang, sebagian lagi disalurkan buat gerakan #rakyatbanturakyat.
PRAGA UTAMA | ANWAR SISWADI (BANDUNG) | PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo