Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya Fatimah. Ke dalam tangannya, sejumlah keluarga di Hay Khan Younis?sebuah kota di wilayah Gaza?mempercayakan anak-anak mereka. Hadanah (Taman Kanak-Kanak) al-Huda wa al-Nur adalah tempat wanita berusia 28 tahun itu mengisi hidupnya sebagai ibu guru. Menyempil dari Jalan Shalahuddin al-Ayyubi, dalam sebuah bangunan bercat putih bersih, saban pagi Fatimah membariskan murid-muridnya ke dalam kelas, memimpin mereka menyanyikan Bilada Biladi (lagu kebangsaan Palestina), dan mengucapkan doa-doa bagi para syuhada Palestina sebelum memulai pelajaran.
Ketika menginjak kompleks sekolah itu suatu hari pada April silam, TEMPO melihat dinding-dinding ruangan sekolah yang sederhana itu dihiasi lukisan murid-murid Hadanah di atas kertas HVS. Di antara gambar-gambar pemandangan, terselip satu coretan yang berbeda: gambar sebuah tank dengan bendera Israel melawan seorang pemuda Palestina yang bersenjatakan batu.
Kisah klasik si lemah melawan si kuat rupanya tak perlu diajarkan kepada kanak-kanak di negeri itu. Bahkan, Daud, leluhur bani Israel, kini menjadi pujaan sebagian pemuda di sana karena, ?Israel adalah Goliath yang kejam, yang harus kami usir dengan batu seperti yang pernah dilakukan Raja Daud,? ujar Abdul Hussein, seorang remaja berusia 15 tahun di Kota Gaza. Kanak-kanak di Gaza menyaksikan adegan ?si kuat melawan si lemah? nyaris saban pagi dan petang di gang-gang kampung, di tanah lapang dekat rumah mereka, di jalanan kota. Berbagai mozaik peristiwa itu melesak ke dalam kepala mereka, lalu memancar entah melalui secoret lukisan di Hadanah al-Huda wa al-Nur atau lemparan batu ke pos-pos penjagaan Israel.
Pekan ini, Israel membuldoser ratusan rumah di Jalur Gaza untuk melebarkan kawasan patroli tentara Israel. Belasan nyawa meninggal hanya pada pertengahan pekan lalu. Dan di antara gambar-gambar yang ditayangkan di televisi, adegan yang dilukis murid Taman Kanak-Kanak al-Huda wa al-Nur terpampang dengan jelas: di antara desing peluru, asap tebal, dan derap lari para lelaki yang mengangkut jenazah korban, beberapa remaja melemparkan batu dan lari melenyapkan diri ke dalam labirin gang, menghindari peluru Israel.
Lemparan batu adalah ceritera panjang tentang suatu misi bernama intifadah dengan Hamas sebagai tulang punggungnya. Lahir dari kepala Syekh Ahmad Yassin (pemimpin spiritual Hamas yang dibunuh Israel pada Maret silam), intifadah yang bermula dengan lontaran batu adalah bentuk perlawanan terhadap represi Israel. Bertahun-tahun kemudian, intifadah bermodal batu menemukan bentuk yang lebih ?berdaya bunuh? ketika Yassin meneguhkan anak-anak muda Palestina untuk menjalani istishada: syuhada yang dipilih sendiri. Mereka melekatkan bom-bom ke punggung, kaki, atau perut, lalu berjalan ke ?target yang perlu diamankan? (begitulah Divisi Sekuriti Israel menyebut titik-titik yang perlu dihancurkan di Israel).
Yassin, si tua yang lumpuh di atas kursi roda, adalah duri bagi Sharon selama bertahun-tahun. Sharon membunuhnya. Tapi ideologi istishada yang ia wariskan tidak pupus. Istishada, di Palestina, bukan hanya memikat anak-anak muda yang menganggur di gang-gang kota. Bahkan Ibu Guru Fatimah, wanita berjilbab yang sabar dan lembut, dengan tegas menyatakan kesediaannya bila ?dipilih?. ?Saya siap lahir-batin. Saya akan berikan nyawa karena ini perjuangan suci, membela kebenaran yang hakiki,? ujarnya kepada TEMPO di beranda sekolah.
Lama Fatimah memendam niat masuk Hamas. Kecemasan kedua orang tuanya membuatnya menunda niat itu dan baru kesampaian saat dia pindah dari Nusyairat, mengikuti suaminya ke Hay Khan Younis. Ia mengajar di taman kanak-kanak milik Hamas dan menemani murid-muridnya merapalkan doa?yang barangkali terasa giris di kuping: ?Ya Allah, jadikan kami seperti pejuang-pejuang kami yang syahid di jalan-Mu.? (Lihat, Doa Kanak-Kanak di Khan Younis).
Apa yang diucapkan para kanak-kanak itu tak sulit pula dipetik dari mulut penghuni Gaza, kota yang telah melahirkan Hamas dan menggerakkan intifadah (lihat Kota Intifadah, Semangat Palestina). Syekh Ahmad Yassin mendaftarkan organisasi ini secara legal di Israel pada 1978. Pemerintah Israel ketika itu membiarkannya karena toh cuma sebuah Mujama al-Islami, organisasi sosial Islam. Titik perhatian Hamas memang berawal dari kegiatan sosial, moral, dan pendidikan. Di masa itu, PLO (Palestine Liberation Organization) pimpinan Yasser Arafat adalah musuh Israel nomor wahid.
Untuk meredam kekuatan PLO, Tel Aviv mengizinkan Yassin mengembangkan Hamas agar ?memecah kekuatan? organisasi perjuangan pimpinan Yasser Arafat tersebut. Model yang mereka jadikan teladan adalah Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim), gerakan sosial yang didirikan Hasan al-Banna di Mesir pada 1928. Hamas ingin menjadi organisasi sosial dan menampilkan wajah Islam yang memikat: penuh kasih dan menebarkan persaudaraan.
Kepada koresponden The New York Times di Yerusalem, David K. Shipler, Brigadir Jenderal Yitzhak Segev yang menjabat Gubernur Militer Israel di Gaza mengaku membantu Mujama untuk menyaingi popularitas PLO. Bantuan uang disediakan oleh pihak militer Israel, dan dialah yang mendistribusikannya ke berbagai masjid dan sekolah. Hamas mulai mendirikan Jam?iyyah Khairiyah (Kelompok Kebajikan), semacam organisasi kedermawanan yang beroperasi di berbagai kantong pengungsi untuk membagikan bahan makanan dan uang, begitu pula untuk kaum miskin. Tapi itu semua baru awalnya.
Celaka bagi Israel, Hamas ternyata telah mendua rupa dari awal. Sejak 1978, sebetulnya Ahmad Yassin telah menempa organisasi yang menjadi cikal-bakal Hamas itu dari dua sisi. Di satu sisi, urusan sosial dan kebajikan. Di sisi lain adalah sayap militer Mujahidun ila Falasthin, Pejuang Islam Palestina. Sayap militer ini mengemban amanah Yassin akan sebuah ?negara Palestina merdeka berdasarkan syariat Islam?. Cita-cita ini yang kemudian melahirkan gerakan intifadah (lihat, Antusiasme pada Sekepal Batu).
Rahasia yang telah ditutupi Yassin selama bertahun-tahun tentang gerakan perlawanan yang ?bertopeng? kegiatan sosial itu akhirnya pecah. Pada 13 Desember 1987, di antara suara gemuruh batu yang membentur kendaraan lapis baja Israel di Jalur Gaza, Harakat Muqawama al-Islamiya atau Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) mempermaklumkan diri kepada dunia.
Delapan orang Islam Sunni membidani kelahirannya: Syekh Ahmad al-Yassin, seorang guru yang kelak menjadi pemimpin spiritualnya, dokter spesialis anak Abdul Aziz al-Rantissi, Abdul Fatah Dukhan dan Muhammad Shamaa?keduanya guru?dua insinyur mesin Isa Nashar dan Abu Marzuq, Sheikh Salah Silada yang profesor, dan seorang farmakolog bernama Ibrahim al-Yazuri. Dua yang pertama tewas di tangan tentara Israel awal tahun ini, sisanya hidup dalam penyamaran menghindari kejaran agen rahasia Israel, Mossad.
Setahun kemudian, 18 Agustus 1988, Manifesto Hamas dimaklumatkan. Dan Israel seperti tersengat kalajengking raksasa. Manifesto itu menyatakan tujuan Hamas adalah melenyapkan bangsa Israel dari Palestina dan menggantikannya dengan sebuah negara Islam. Hamas merasa Israel tak punya niat memerdekakan Palestina. Karena itulah mereka banting setir. Mati dalam berjihad adalah pengorbanan tertinggi seorang muslim, begitu bunyi manifesto. Mereka juga mengatakan Palestina ditakdirkan hanya untuk orang muslim hingga tibanya hari akhir. Penulis buku Berperang demi Tuhan, Karen Amstrong, menyatakan bahwa pendirian itu telah memberikan Palestina dimensi nihilisme Islam, seperti juga Rabi Meir Kahane memberikan nihilisme Yudaisme kepada Israel.
Tapi, Yassin dari atas kursi rodanya tahu benar bahwa perjuangan itu akan sia-sia bila tidak memiliki soko guru yang kuat: sokongan segenap anak negeri Israel. Tumbuh menjadi organisasi militan Islam Palestina yang paling besar, Hamas tetap menjunjung pesan Pak Tua Yassin agar ?jangan sampai senjata meninggalkan kebajikan?. Di tengah kemiskinan yang meruap di jalan-jalan sepanjang Gaza, wajah Hamas yang berwelas asih dapat disaksikan entah sekadar di kedai bahan makanan di Jalan Omar Moukhtar Kota Gaza atau di Klinik As-Shifa di Hay Rafah.
Di As-Shifa, Ali Musa Muhammad, 37 tahun, seorang dokter, dengan setia mengurun jihadnya sendiri: melayani warga setempat tanpa memungut bayaran sepeser pun. Tapi Ali Musa bisa mendadak bergelora bila berbicara tentang gerakan perlawanan: ?Selama ada pendudukan Israel, Hamas akan berperang untuk melenyapkan jejak-jejak Yahudi dari negeri ini,? ujarnya dengan berapi-api. Jauh dari Rafah, Zahra, 70 tahun, ibu empat anak, baru saja meninggalkan kedai bahan makanan di Omar Moukhtar. Wajahnya berseri-seri menenteng kantong plastik berisi beberapa kilo beras, kentang, dan ayam: ?Tidak banyak, tapi cukup untuk beberapa hari,? ujarnya kepada TEMPO. Makanan itu baru saja dibagikan secara gratis oleh petugas Hamas.
Zahra adalah janda dengan empat anak yang telah dewasa dan berkeluarga. Suaminya mati ditembak Israel. Dia mengaku telah menjadi anggota Hamas sejak anak-anaknya masih di sekolah dasar. ?Hamas membantu warga Palestina melawan Israel dan membantu warga yang miskin,? tutur Zahra. Membantu kaum papa adalah kegiatan Hamas di tahun-tahun pertama.
Di masa itu, Hamas cuma berdakwah di masjid dan sekolah, mendirikan tempat ibadah serta pusat-pusat kajian Quran, membantu kesehatan penduduk dan mengumpulkan dana bagi kaum duafa. Akar Hamas harus dicari di dalam sosok sang pendiri, Syekh Ahmad Yassin. Dialah penggerak dan motor di belakang seluruh aktivitas Hamas: dari kegiatan kebajikan hingga gerakan politik radikal.
Di awal pecahnya intifadah, Yassin terang-terangan menegaskan wajah gerakan radikal Hamas?yang membuat organisasi ini akhirnya menuai julukan teroris dari Israel, Amerika, dan para sekutu Barat-nya. Dia berkata: ?Hanya Allah yang mengetahui berapa lagi korban yang harus kami persembahkan dalam perjuangan ini.? Ucapan pemimpin spiritual Hamas itu dikutip Al-Siyasah, risalah yang diterbitkan pada 1989.
Dia dibekap polisi Israel tak lama setelah mengeluarkan pernyataan itu. Maka, era kekerasan Hamas pun kian berbentuk. Yassin dituduh mendalangi aneka aktivitas sayap militer Hamas di Jalur Gaza. Penculikan, pembunuhan, penghancuran ladang-ladang orang Yahudi, dan perusakan kendaraan militer Israel. Tujuan Hamas yang digariskan oleh Yassin tidak mengenal kompromi untuk satu hal: mendirikan negara Islam. Dia mengakui Palestina sebagai tanah suci bagi umat Nasrani dan Yahudi, tapi ?patut didirikan sebuah negara Islam di tanah ini karena mayoritas penduduknya adalah pemeluk Islam?. Dan agama mana pun yang hidup di tanah Palestina harus diperlakukan sesuai dengan ajaran Quran
Di sinilah Hamas bersimpang jalan dengan PLO. Yasser Arafat, pemimpin PLO dan kini Presiden Otoritas Palestina, mengupayakan sebuah negara independen tanpa berdasar agama tertentu, dan dalam tahap tertentu?pada dekade belakangan?menerima sejumlah kompromi dengan Israel dan Amerika. Maka, Hamas pun tampil sebagai kontras yang memikat hati anak negeri Palestina. Dianggap tegas menampik musuh, berani memberi nyawa, dan merangkul kaum yang bersusah, Hamas akhirnya memanen ribuan anak-anak muda yang menyodorkan nyawa gratis dalam gerakan intifadah maupun istishada.
Yassin bahkan telah mengatur bahwa nyawa anak-anak muda itu harus ditebus dengan kebajikan bagi keluarga yang telah mengikhlaskannya. Hamas mengganjar keluarga-keluarga para pelaku bom bunuh diri dengan kompensasi uang dan jaminan sosial. Dalam kekuatan akar rumput itu, organisasi ini terus menghirup napas dengan kedua wajahnya, bahkan ketika Israel kian gencar memapas akarnya satu demi satu dalam lima tahun terakhir. Ahmad Yassin tumbang pada Maret lalu. Abdul Rantissi mati sebulan kemudian. Tapi Hamas masih jauh dari selesai.
Dua tahun silam, dari Tepi Barat, sebuah keluarga dengan bangga memasang sebuah iklan di koran lokal ketika putra mereka memilih untuk mati syahid: ?Abdel Jawad dan Assad beserta seluruh keluarga di Tepi Barat dan di tanah perantauan dengan ini menyampaikan kesyahidan putra kami, Ahmen Hafez Sa?adat.?
Hermien Y. Kleden, I G.G. Maha Adi (Jakarta), Zuhaid el-Qudsy (Gaza, Palestina)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo