Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sepatu Lars Terakhir Gie

Ia berkawan dengan Soe Hok Gie. Tapi mereka berbeda dalam memandang demokrasi.

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Remaja 18 tahun itu diam dan merenung dalam perjalanan menuju Bandar Udara Kemayoran, Jakarta, 24 Desember 1969. Anak muda itu adalah Prabowo Subianto. Ia ikut menjemput jenazah Soe Hok Gie, karibnya. Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Indonesia ini meninggal bersama Idhan Loebis ketika mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur pada 16 Desember 1969.

Jusuf Abraham Rawis, aktivis mahasiswa 66 yang kini terjun di bidang bisnis, mengisahkan Prabowo berbaur dengan ribuan mahasiswa dan pelajar pencinta alam menyongsong jasad Hok Gie dan Idhan Loebis yang diangkut pesawat Antonov milik TNI Angkatan Udara. "Prabowo bilang sedih karena Hok Gie seorang idealis tapi meninggal di usia muda," kata Jusuf A.R. kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu.

Prabowo dan Hok Gie berkawan akrab. Saking dekatnya, Prabowo tak pelit meminjamkan sepatu lars kepada Hok Gie untuk mendaki Semeru. Ternyata itu pendakian terakhir Hok Gie. Kisah sepatu ini dikenang kembali oleh aktivis 66 yang juga mantan wartawan, Jopie Lasut. Ia kini masuk tim Bravo untuk memenangkan calon presiden Prabowo Subianto. Menurut Jopie, Hok Gie membutuhkan sepatu berkualitas untuk naik gunung. Tak banyak orang punya. Salah satu yang memiliki adalah Prabowo.

Menurut Jopie, Prabowo dan Hok Gie dekat karena sama-sama menyukai bidang sosial-politik. Mereka juga gemar membaca buku dan mengagumi tokoh pergerakan kiri Tan Malaka. Saat masih berumur 14 tahun, Prabowo juga mengagumi Che Guevara. Jopie menjadi saksi, pada umur 14 tahun Prabowo sudah memasang poster Che Guevara di kamarnya.

Hok Gie tahu Prabowo berminat pada sosialisme. Sebagai sahabat kental, Hoek Gie tak canggung menasihati Prabowo agar jadi sosialis yang ideal. Jurnalis senior Aristides Katoppo, yang berkawan dengan Hok Gie dan Prabowo, menyimpan memori tentang hal ini. Buat Hok Gie, bila ingin jadi sosialis sejati, pemimpin harus dekat dengan rakyat, terutama golongan bawah.

Menurut Aristides, apa yang disampaikan Hok Gie merupakan paham kiri atau sosialis kiri. "Padahal banyak orang sosialis saat itu menduduki jabatan di pemerintahan. Mereka disebut sosialis kanan," kata Aristides. Dia menambahkan, Hok Gie pernah mengatakan kepada Prabowo bahwa proses sosial-politik berakar pada sejarah. Karena itu, Prabowo mendapat saran supaya banyak membaca literatur sejarah.

Pergaulan Prabowo dengan Hok Gie semakin akrab pada Mei-Juli 1969. Penyebabnya adalah gagasan Prabowo membentuk Corps Pioneer, gerakan yang melibatkan pemuda dan organisasi pelajar-mahasiswa untuk membantu rakyat kecil. Corps Pioneer inilah yang kemudian dikukuhkan menjadi Lembaga Pembangunan. Lembaga ini merupakan lembaga swadaya masyarakat pertama di Indonesia.

Cerita tentang Lembaga Pembangunan juga ada dalam catatan harian Hok Gie. Ia berpendapat, secara ekonomis, lembaga ini tidak akan dapat berbuat banyak. "Jumlah desa di Indonesia beribu-ribu dan jumlah mahasiswa yang bisa dikerahkan paling hanya beberapa ribu," kata Hok Gie dalam catatan harian yang dibukukan dengan judul Catatan Seorang Demonstran. Dalam programnya, lembaga ini menyediakan bibit tanaman dan ternak. Ada juga program menggagas penyediaan layanan bagi orang miskin.

Prabowo membentuk Lembaga Pembangunan menggandeng Jusuf A.R., yang saat itu Ketua Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia se-Jakarta Raya. Prabowo dikenalkan kepada Jusuf oleh Ketua Umum KAPPI Maher Algadri. Belakangan, Maher menjadi pengusaha dan mendirikan Kodel Group. Menurut Jusuf, ada beberapa pengusaha yang menyumbang uang untuk LSM ini, antara lain Hasjim Ning, William Soeryadjaya, dan Liem Sioe Liong.

Program pertama LSM ini adalah membangun poliklinik untuk masyarakat di Gunungkidul, Yogyakarta, yang terkena busung lapar. Prabowo mencarikan warga Gunungkidul bibit kambing perah. "Kambing diperah susunya, lalu dibagikan kepada penderita busung lapar," kata Jusuf. Selain di Yogya, LSM ini menjalankan program di Subang, Jawa Barat, dan Badung, Bali. LSM ini hanya bertahan dua setengah tahun karena Prabowo masuk Akademi Militer Nasional.

Persahabatan Prabowo dengan Hok Gie berawal dari kedekatannya dengan Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo. Hok Gie adalah aktivis sosialis yang tergabung dalam Gerakan Pembaruan bentukan Sumitro. Saat itu Sumitro mentor politik bagi mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis atau Gemsos. Hok Gie masuk Gemsos bersama Henk Tombokan, Boeli Londa, Jopie Lasut, Edie Londa, dan Max Lumangkun dalam Grup 164.

Ketika Gerakan Pembaruan dideklarasikan, Hok Gie dan sejumlah aktivis Gemsos diundang ke rumah Sumitro. Mereka menyaksikan Prabowo berpidato. Mereka berbincang dengan Prabowo serta mendengarkan lontaran tentang perlunya gerakan dan lembaga kemasyarakatan di Indonesia.

Hok Gie juga menyaksikan Prabowo membaca jurnal Indonesia terbitan Cornell University. Ketika itu Prabowo baru lulus SMA dan usianya belum 17 tahun. Hok Gie menuangkan kesannya terhadap Prabowo dalam catatan harian 25 Mei 1969. "Ia cepat menangkap persoalan dengan cerdas tapi naif. Kalau ia berdiam dua-tiga tahun dalam dunia nyata, ia akan berubah."

Hok Gie juga mencatat ia mengajak Prabowo berkunjung ke rumah teman pada Kamis, 29 Mei 1969. "Dari pagi keluyuran dengan Prabowo ke rumah Atika, ngobrol dengan Rachma, dan membuat persiapan-persiapan untuk pendakian Gunung Ciremai." Atika belakangan menjadi istri praktisi hukum Nono Anwar Makarim. Sedangkan Rachma adalah putri Mohammad Sardjan, Menteri Pertanian dari Partai Masyumi pada Kabinet Wilopo.

Kakak Hok Gie, Arif Budiman, menyatakan perkenalan Prabowo dengan adiknya bermula dari aktivitas dalam gerakan sosialis ini. Arif tidak kenal dekat tapi tahu Prabowo. Menurut Arif, Hok Gie menjadikan Sumitro sebagai kawan diskusi. Di mata Arif, Prabowo dan Hok Gie sama-sama punya komitmen anti-komunisme, tapi Prabowo sangat pragmatis. Prabowo yakin bahwa persoalan bangsa lebih penting dari sekadar demokrasi. Ini yang membedakan Prabowo dengan Hok Gie. "Buat Hok Gie, demokrasi tegak dengan memperhatikan hak orang lain," kata Arif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus