Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika Yogyakarta masih lelap, tepat pukul dua dinihari, Herbert Feith sudah memulai hari dengan membaca. Dengan tekun dan teliti, Herbert membuat catatan pada kertas kecil. Setelah itu, tidur lagi. Subuh, Herbert bangun lagi untuk lari pagi di sekitar Bulaksumur, dekat kampus Universitas Gadjah Mada.
Itulah yang dicatat Dominggus Elcid Li, pemuda Nusa Tenggara Timur, kini mahasiswa doktoral sosiologi University of Manchester, Inggris, tentang Herbert Feith. Pada 1999, setelah jajak pendapat Timor Timur, Elcid masih kuliah S-1 di Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan untuk beberapa lama menginap di rumah Herbert dan istrinya, Betty. Pada saat yang sama pula, Herbert dan Betty menampung sebuah keluarga Timor Timur prokemerdekaan.
"Beta agak ngeri juga. Soalnya, rumah yang prointegrasi ada di depan," kata Elcid pekan lalu kepada Tempo.
Bagi para sahabatnya, Herb Feith adalah orang sederhana yang bergaul dengan siapa saja. Saat ia tinggal di Yogyakarta, rumah dinasnya di kawasan Bulaksumur menjadi tempat singgah anak sekolah, mahasiswa, dosen, peneliti, wartawan, dan aktivis. Karena Herb selalu menekankan kesederhanaan, ketika ke Jakarta mengunjungi sahabat-sahabatnya, para wartawan senior, diplomat, dan sesama peneliti, dia dikenal jarang mau menggunakan tisu. Herb selalu siap dengan selampe kumal yang warnanya sudah memudar yang dia kantongi.
Di Yogyakarta, Herb identik dengan sepeda ontel tua. Dengan mengenakan batik lusuh dan menaruh tas cokelat di jok belakang, "Dia mengayuh pedalnya ke mana saja untuk mengajar, menghadiri seminar, mengunjungi kenalan, atau berbelanja pisang," ujar Elcid.
Herb tiba di Yogyakarta pada 1986. Dia mengajarkan ilmu politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada dan aktif di Pusat Studi Perdamaian UGM. Adalah Ichlasul Amal, ketika itu Rektor UGM, yang mengundangnya. "Saya minta dia mengajar di Indonesia setelah dia pensiun dini pada 1984," kata Ichlasul. Herb memutuskan pensiun dini karena peminat mata kuliah tentang Indonesia di Australia terus berkurang.
Ichlasul mengenal Herb saat mengerjakan skripsinya di UGM, berjudul "Partai Politik dan Politik Luar Negeri Indonesia", pada 1966. Dia banyak menggunakan buku karya Herb sebagai referensi. Belakangan, ketika Ichlasul melanjutkan sekolah ke Monash University di Melbourne, Victoria, Australia, pada 1972, Herb menjadi pembimbing disertasinya. Sejak itu, keduanya menjadi sahabat.
Pertama kali tiba di Yogyakarta, Herb berdiam di rumah Ichlasul selama dua bulan. Hal yang selalu Ichlasul ingat adalah tali jam tangan kulit milik Herb yang sudah sangat kumal dan banyak tambalan serta bajunya yang tipis-tipis karena terlalu sering dipakai, dicuci, dan disetrika. "Pembantu saya sampai takut mencucinya, takut sobek," ceritanya sembari tergelak.
Rekan Ichlasul, Yahya Muhaimin, juga tak bisa melupakan arloji Herb. Dia melihat arloji itu pertama kali sewaktu mereka bertemu di UGM. Menurut Yahya, tali jam tangan itu telah mengelupas hampir jadi dua bagian. Jamnya sendiri sudah sangat kuno. Yahya mengaku ingat, dia sempat berbisik kepada Ichlasul, "Mal, dosenmu kok melarat banget, ra patut nganggo jam ngono kui, mbok ditukokke."
Yahya, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, pernah bertemu dengan Herb pada 1980. Saat itu, Yahya dan Ichlasul ke Australia dan singgah ke rumah Herb. "Waktu itu saya betul-betul kaget," kata Yahya. Sama sekali tak terbayangkan seorang profesor yang begitu terkenal tinggal di apartemen yang kusam, muram, dan sangat sederhana.
Di kediamannya itu, Herb bahkan tak punya rak buku. Jadi, ketika dia menunjukkan koleksi bukunya, buku-buku itu diambil dari kardus-kardus yang tergeletak begitu saja di ruang tamu. Sebelum kembali ke Australia pada 1999, dia menyumbangkan sebagian bukunya ke beberapa perpustakaan di Yogyakarta.
Menurut Elcid, sikap Herb itu bukan karena tak punya cukup uang, melainkan karena mudah jatuh kasihan. Herb selalu memberikan uang tambahan untuk tukang becak dan tukang tambal ban sepeda langganannya.
Kesederhanaan pula yang membuat Herb memilih mengendarai sepeda ontel ketimbang mobil. Tapi, naik mobil ataupun sepeda, menurut Ichlasul, Herb bukan pengendara yang baik. "Dia sembrono!" kata Ichlasul. Ichlasul ingat benar, suatu ketika mereka keluar bareng naik mobil dengan seorang teman. Herb yang menyetir. "Tiba-tiba dia menoleh ke teman di samping saya, tidak lihat ke depan."
Barangkali kesembronoan itu pula yang mengantar Herbert Feith pergi pada usia 71 tahun, mendahului para sahabatnya. Pada 15 November 2001, dalam perjalanan dari Monash University pulang ke rumahnya di Glen Iris, dia dan sepeda ontelnya ditabrak kereta api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo