Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tim forensik melakukan autopsi ulang jenazah Brigadir Yosua.
Butuh empat pekan untuk mengetahui hasilnya.
Tim forensik berjanji bakal independen.
JAMBI – Tangis Rosti Simanjuntak pecah ketika makam putranya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, mulai dibongkar. Perempuan itu meraung sambil berkali-kali menyebut nama Yosua. Ia baru terlihat tenang setelah dibawa menjauh dari makam anaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rosti dan keluarga sejak pagi sudah berkumpul di permakaman umum Simpang Yanto, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muarojambi. Mereka kompak mengenakan kaus hitam dengan foto Yosua di bagian belakang. Mereka ingin menyaksikan langsung pelaksanaan ekshumasi yang dilakukan tim khusus kepolisian. Pembongkaran makam disaksikan juga oleh anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan pengacara keluarga Yosua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Brigadir Yosua Hutabarat adalah ajudan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri (nonaktif) Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Ia tewas di rumah dinas Ferdy di Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan, pada 8 Juli lalu. Versi polisi, Yosua terlibat baku tembak dengan rekannya, Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu. Insiden itu pecah setelah Yosua melakukan pelecehan seksual terhadap istri Ferdy Sambo, Putri Chandrawati.
Keluarga ragu akan keterangan polisi ihwal kematian Brigadir Yosua itu. Apalagi mereka menemukan sejumlah luka yang mencurigakan di tubuh Yosua. Sebab, luka-luka itu lebih mirip bekas sayatan benda tajam dibanding bekas peluru. Sehingga muncul dugaan bahwa hasil autopsi yang disampaikan polisi telah direkayasa.
Kejanggalan-kejanggalan itulah yang kemudian membuat Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk tim khusus untuk mengusut kematian Yosua. Kemudian tim ini memutuskan untuk mengautopsi ulang jenazah Yosua.
Rohani Simanjuntak, bibi Yosua yang mengikuti pelaksanaan ekshumasi, mengatakan jasad Yosua terlihat masih utuh. "Kondisinya masih sama seperti awal dimakamkan," kata dia. Petugas memang memberi kesempatan kepada keluarga untuk melihat langsung kondisi jenazah. “Tadi penutup peti sempat dibuka sebentar.”
Ibu Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Rosti Simanjuntak (tengah), sebelum pelaksanaan autopsi ulang di Sungai Bahar, Muarojambi, Jambi, 27 Juli 2022. TEMPO/M Ramond Eka Putra Usman
Janji Independen dan Parsial
Autopsi ulang jenazah Yosua dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Sungai Bahar oleh tim forensik gabungan. Tim ini membutuhkan waktu sekitar enam jam untuk menjalani proses itu. "Sesuai dengan apa yang kami perkirakan sebelumnya, autopsi ini memiliki beberapa kesulitan," kata Ketua Umum Perhimpunan Dokter Forensik, Ade Firmansyah Sugiharto.
Ade mengatakan, kesulitan itu muncul karena beberapa bagian jenazah telah mengalami pembusukan. Meski demikian, tim dokter telah merampungkan pemeriksaan. "Beberapa tempat yang memang diduga sebuah luka harus kami konfirmasi juga melalui pemeriksaan," kata Ade.
Menurut Ade, sebelum autopsi, tim dokter sudah bertemu dengan keluarga untuk meminta keterangan seputar kondisi jenazah. Keterangan itu kemudian dicocokkan langsung dengan jenazah. “Kami di sini bekerja secara independen dan parsial," Ade menjelaskan.
Ade memastikan autopsi ini dilaksanakan secara transparan. Ada pemantau dari pihak keluarga yang diwakilkan dokter RSUD Sungai Bahar, sehingga tidak semua hasil autopsi bisa disampaikan kepada keluarga. “Selama tidak mengganggu penyidikan, akan kami sampaikan (kepada keluarga),” kata dia. “Untuk meyakinkan keluarga dan penasihat hukum, saat autopsi ada pengamat.”
Hasil kerja tim forensik di Jambi itu, kata Ade, akan dibawa ke Jakarta. Beberapa sampel masih akan diperiksa lagi di laboratorium Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. “Hasilnya akan diketahui beberapa pekan ke depan, antara empat sampai delapan minggu," kata dia. “Nanti kami sampaikan kepada penyidik.”
Kuasa hukum keluarga Yoshua, Kamaruddin Simanjuntak, mengatakan, pada awalnya keluarga meminta agar proses autopsi ditayangkan langsung melalui kamera CCTV. Namun permintaan itu tidak bisa dikabulkan karena dinilai melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia. "Benar, awalnya direncanakan demikian,” kata dia. “Dibatalkan atas pertimbangan kode etik kedokteran."
Menurut Kamaruddin, untuk pengawasan selama autopsi, pihaknya sudah meminta bantuan dari dokter keluarga dan pengamat kesehatan. "Yang boleh melihat autopsi tersebut adalah yang ahli di bidangnya,” kata dia. “Kami dari pengacara tidak bisa juga.”
IMAM HAMDI | RAMOND EPU (JAMBI) | ANT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo