Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUASANANYA semrawut." Itulah ungkapan Kwik Kian Gie tentang kantor PDI Perjuangan setelah pemilu presiden putaran pertama usai. Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan ini mencatat sudah tiga kali rencana rapat batal diadakan selama sepekan lalu.
Hari Selasa biasanya ada rapat rutin di Lenteng Agung. Tapi 6 Juli lalu, sehari setelah pemilu, kantor pusat Partai Banteng di Jakarta Selatan itu sepi senyap. Beberapa pengurus partai berdatangan, tapi begitu mendengar kabar bahwa Ketua Umum PDIP Megawati tak hadir, satu per satu menghilang.
Dua hari kemudian, Kamis, 8 Juli, ada rencana rapat bakal diadakan untuk mengevaluasi hasil sementara pemilu presiden. Kwik heran. Ia tahu hari itu Megawati memimpin sidang kabinet di Istana. "Ini gimana, sih? Kok, pengurus tidak berkoordinasi dengan protokol presiden?" ujar Kwik kesal. Benar saja, rapat pun gagal.
Sabtu akhir pekan kemarin, undangan rapat datang lagi ke meja Kwik. Tapi aneh. Biasanya yang menandatangani undangan adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PDIP, tapi kali ini Ketua PDIP Roy B.B. Janis yang mencoretkan tanda tangan. Kwik mendapat informasi hari itu Megawati berlibur ke Bali. Ia pun memutuskan absen. "Kalau tidak ada Ibu, rapat tidak ada gunanya," kata Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional itu.
Tapi mungkin Mega lebih perlu berlibur, mengingat kegiatan kampanye yang lumayan padat. Para petinggi partai pun belum kelihatan memenuhi kantor Lenteng Agung atau markas Mega Center di Jalan Teuku Umar, Jakarta. "Kita bernapas dululah," kata Heri Akhmadi, Sekretaris Mega Center. Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung melalui telepon mengaku sedang berada di Singapura untuk general check-up.
Para petinggi partai itu memang perlu "bernapas", sambil merenungkan hasil pemilu. Suara pasangan Megawati-Hasyim Muzadi jauh dari target yang dicanangkan. Berkali-kali Megawati mengucapkan keinginan untuk memenangi pemilu presiden dalam satu putaran saja. Ini berarti pasangan itu memerlukan suara 50 persen plus satu, dengan lebih dari 20 persen suara di 16 provinsi pemilihan. Faktanya, sampai Sabtu malam pekan kemarin, Mega-Hasyim hanya mengantongi 26,16 persen suara. Keduanya berada di peringkat kedua, di bawah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, yang mengumpulkan 33,56 persen suara.
Kurang derasnya dukungan ini sudah mulai dirasakan Megawati pada Senin malam, beberapa jam setelah pencoblosan. Ia segera memanggil Sekjen Sutjipto dan Wakil Sekjen Pramono ke rumah pribadinya di Teuku Umar. Di sanalah, menurut sebuah sumber TEMPO, Mega menumpahkan kekecewaannya. Meski membenarkan soal pertemuan itu, Sutjipto mengaku bosnya tidak marah-marah. "Suasananya santai. Kami berbincang-bincang sambil makan malam," ujarnya.
Sutjipto mengakui Mega bertanya soal perolehan suaranya yang tertinggal dari SBY-JK sejak awal. "Tolong dikaji secara cermat di daerah-daerah terpencil mana Partai Demokrat masih belum kuat tapi perolehan suara Yudhoyono besar," kata Sutjipto mengutip perintah Mega. Mega pun mengkritik mesin organisasi PDIP yang belum jalan secara optimal.
Taksiran perolehan suara yang meleset ini bukan yang pertama kali sebenarnya. Pada pemilu legislatif 5 April lalu, PDIP memasang target perolehan suara 42 persen, tapi yang diraih hanya 19 persen. Kali ini malah targetnya tinggi, menang dalam satu putaran. Hasilnya, Mega-Hasyim di urutan kedua sampai akhir pekan lalu. Inilah yang disesalkan Kwik Kian Gie. "Siapa yang ngasih masukan enggak bener seperti itu?" tanya Kwik dengan kesal.
Kwik jengkel dengan angka-angka di atas kertas yang fantastis. Padahal, di lapangan, justru di kantong-kantong PDIP perolehan suara Mega-Hasyim tidak memuaskan. Di Bali, mereka menang, tapi target meraih 70 persen suara luput. Keduanya hanya mengantongi 56 persen dari 2,5 juta suara pemilih. "Kegagalan meraih target itu disebabkan oleh larinya massa PDIP," kata ketua tim kampanye Mega-Hasyim Bali, Ida Bagus Surjatmadja, kepada Rofiqi Hasan dari TEMPO.
Di Jawa Timur, perolehan suara Mega-Hasyim malah lebih kecil dibandingkan dengan perolehan suara PDIP dalam pemilu legislatif lalu. Suara Mega terutama menurun jauh di wilayah Mataraman?Jawa Timur sebelah selatan yang berbatasan dengan Yogyakarta dan Jawa Tengah. Karena itu, Heri Akhmadi diterjunkan langsung ke sana untuk meneliti penyebabnya. "Besok saya berangkat," ujar Heri, Kamis pekan lalu.
Di Sumatera Utara, Mega tak terusik. Di "tambang suara" Partai Banteng ini, pasangan Mega-Hasyim unggul dibandingkan dengan lawan-lawannya. "Pencapaian suara 50 persen adalah fakta yang menyenangkan," kata ketua tim kampanye Mega-Hasyim Sumatera Utara, H. Ahmad Azhari, kepada Bambang Soedjiartono dari TEMPO. Semula mereka hanya menargetkan perolehan 20 persen.
Ada daerah yang jaya, ada yang jeblok. Maka yang diperlukan adalah persiapan lebih rapi untuk babak final 20 September. Rencananya, pekan ini PDIP akan menggelar rapat kerja nasional. "Tapi waktunya belum ditentukan," kata Sutjipto.
Selain barisan dirapatkan, lobi politik mulai dijalankan. Suami Presiden, Taufiq Kiemas, setelah berminggu-minggu diminta "bertapa membisu", terlihat mulai turun gunung. Jumat pekan lalu, Taufiq kelihatan melakukan salat Jumat bersama Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung di Masjid Baiturrahman di Kompleks MPR/DPR, Senayan.
Biasanya Taufiq Kiemas melakukan salat Jumat di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta. Tapi rupanya pertemuan dengan Akbar, sekaligus menunaikan ibadah, penting untuk dilakukan. Menggalang koalisi dengan Golkar? "Belum ada langkah konkret," ujar Akbar Tandjung. Taufiq pun mengelak dengan mengatakan, "Kali ini tidak ada komentar. Saya sakit gigi."
Golkar belum pasti. Tapi mungkin Partai Persatuan Pembangunan bisa diajak oleh Mega-Hasyim. "Kalau dilihat dari kedekatan, tentu kita pilih Megawati," kata Ketua PPP Arief Mudatsir Mandan kepada Jobpie Sugiharto dari TEMPO. Selama ini, menurut Arief, PPP telah bekerja sama cukup erat dengan PDIP di pemerintahan Mega-Hamzah Haz.
Upaya memperpanjang gerbong pendukung juga dilakukan di berbagai daerah. Ketua tim kampanye Mega-Hasyim Jawa Timur, Sirmadji, mengaku sudah membentuk tim lobi walaupun belum ada instruksi khusus dari Jakarta untuk bergerak. Tim Jawa Timur telah mulai menggarap massa pendukung Amien Rais, Hamzah Haz, dan Wiranto?tiga calon presiden yang sudah dan hampir kehilangan peluang maju ke babak kedua.
Cara lain mencari pendukung adalah mendekati "golput-wan" dan "golput-wati". Menurut Sri Untari, Sekretaris PDIP Malang, di wilayahnya golongan yang tidak mencoblos itu berjumlah 26,81 persen dari total pemilih. Itu sebabnya Untari bermaksud mendekati kelompok ini.
Hasyim Muzadi tidak kalah sibuk. Menurut seorang anggota tim suksesnya, pekan lalu Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu telah bertemu dengan Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafi'i Ma'arif. Tentu Hasyim berharap dukungan Muhammadiyah untuk Amien Rais akan beralih kepada pasangannya di putaran kedua.
Selain itu, basis NU di Jawa Timur akan digarap lebih serius. Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, K.H. Ali Maschan Moesa, yakin bahwa warga NU Jawa Timur akan berbondong-bondong mendukung Hasyim. Persaingan kuat antara kubu Mega-Hasyim dan Wiranto-Salahuddin Wahid pada pemilu 5 Juli lalu, menurut dia, menyebabkan sebagian suara NU justru loncat ke pasangan Yudhoyono-Kalla. Kata dia, warga NU menerapkan kaidah usul fikih al khuruj minal khilaf mustahaqqun. Artinya, menghindari dua pertentangan lebih dianjurkan. Tapi, di babak kedua, "Otomatis NU milih Pak Hasyim," ujar Ali Maschan.
Pernyataan Ali Maschan dinilai Kwik Kian Gie terlalu menyederhanakan masalah. Kwik melihat ada faktor Abdurrahman Wahid yang memilih golput pada pemilu lalu, dan Abdurrahman diikuti sebagian warga NU. Sebagian lain warga NU, menurut Kwik, tak gampang diarahkan begitu saja. Mereka akan memilih siapa yang mendekati mereka. Dalam hal ini, pendekatan tim Yudhoyono-Kalla dinilai Kwik sangat efektif.
Kiat inilah rupanya yang membawa SBY-JK menang dalam putaran pertama. Persentase suara Mega memang hanya sedikit berubah dibandingkan dengan perolehan PDI Perjuangan pada pemilu 5 April. PDIP meraih 18,53 persen suara. Kini Mega-Hasyim mendapat 26 persen, hanya bertambah 7,5 persen. Itu sebabnya seorang anggota tim Mega-Hasyim di Solo menilai kontribusi suara warga NU belum maksimal, selain kenyataan bahwa Solo bukan basis kaum sarungan.
Selain belum maksimal, Kwik menilai, konsolidasi internal tim sukses Mega-Hasyim belum padu, dari tingkat pusat sampai daerah. Menurut dia, seharusnya tim sukses Mega-Hasyim dititikberatkan pada tim Mega for President, bukan pada Mega Center, yang dinilainya sebagai "konsultan" saja.
Tapi, menurut Kwik, justru Mega Center yang seolah-olah menjadi pilar pemenangan Mega, dan orang-orang yang berada di jajaran struktural partai cenderung memilih diam karena takut disalahkan. Dengan semua ini, "Saya pesimistis Ibu Mega menang di putaran kedua," ujar Kwik Kian Gie.
Pernyataan yang terdengar "terlalu pagi" diucapkan. Tapi berbenah tak ada salahnya. Dan langkah itu bisa dimulai dengan mengadakan rapat yang tepat waktu.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Imron Rosyid (Solo), Kukuh S.W. (Surabaya), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo