Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIR pekan lalu, Manado Beach Hotel dipadati asap dan bau kretek. Dari lobi, lorong-lorong, kamar-kamar, restoran, sampai ke ruang Manguni, bau sigaret cengkeh yang terbakar mengambang. Di situ, pekan lalu, Seminar Cengkeh Nasional berlangsung selama dua hari. Ke sinilah Tommy Soeharto -- panggilan akrab Hutomo Mandala Putera -- datang setelah satu hari sebelumnya menjatuhkan "bom" dalam dengar pendapat dengan DPR RI di Jakarta. Bom itu berupa usul yang kontroversial. Setelah menguraikan kelebihan suplai cengkeh. Tommy mengusulkan dua hal. Pertama, agar dilakukan konversi tanaman cengkeh dengan menciutkan lahannya sebesar 25-30%. Kedua, agar petani membakar 50% dari panen cengkeh tahun 1992. Selang dua hari, atas pertanyaan wartawan, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo memberi komentar tentang usul Tommy mengenai konversi dan pembakaran itu. "Sebagai ilmuwan, saya tidak bisa menghindar atau tidak membicarakan masalah-masalah betapapun peliknya jika itu menyangkut kepentingan masyarakat," kata guru besar ekonomi yang wanti-wanti mengingatkan agar keterangannya jangan salah kutip. Yang pepting dari keterangan Sumitro ialah bahwa tugas menguasai produksi atau menentukan harga tidak bisa dilakukan secara bersamaan. Dalam kata lain, jika tugas BPPC adalah menstabilkan harga, maka berapa banyak pun cengkeh yang dihasilkan petani, tetap harus dibeli oleh badan penyangga ini. Sebaliknya, bila tugas BPPC adalah mengatur produksi cengkeh, petani cengkeh harus diberi kebebasan untuk menentukan harganya. Pesan Sumitro ini ternyata tidak bergema dalam Seminar Cengkeh Nasional yang berlangsung di Manado itu. Mengapa? Karena dalam kesimpulannya, yang disimbolkan sebagai tiga kristal, pesan Sumitro tersebut sama sekali seperti tak di perhitungkan. Tiga kesimpulan yang utama adalah: 1.50% produksi cengkeh tahun 1992 harus dimusnahkan, 2. sekital 30% kebun cengkeh harus diubah (dikonversi) menjadi kebun tanaman lain 3. BPPC (Badan Penyangga & Pemasaran Cengkeh) dipandang masih perlu diteruskan. Dengan diterimanya kesimpulan itu berarti semua pihak yang terlibat dalam tata niaga cengkeh -- yang hadir atau diwakili dalam seminar tersebut -- telah memberi dukungan kepada usul konversi dan bakar cengkeh yang diajukan Tommy Soeharto di DPR pekan silam. Di balik usul Tommy yang kontroversial itu tersembunyi masalah yang cukup memusingkan BPPC, yakni kelebihan stok cengkeh. Seperti diungkapkan Tommy, pemasokan cengkeh luar biasa besar. Tahun lalu, BPPC membeli cengkeh 117.000 ton. Ditambah stok lama milik PT Kerta Niaga dan PT Konsorsium Cengkeh Nasional (cikal-bakal BPPC), total menjadi 205.000 ton. Sedangkan yang terjual sampai akhir tahun 1991 hanya 36.000 ton. Berarti, stok yang ada hampir 170.000 ton. BPPC memperkirakan pabrik-pabrik kretek tahun ini akan membeli sekitar 70.000 ton, namun cengkeh produksi tahun 1992 mau tak mau harus diserap. Praktis akhir tahun ini BPPC masih akan mengalami kelebihan cengkeh 170.000 ton. Jumlah ini baru habis dikonsumsi oleh pabrik kretek dalam waktu dua tahun. Salah satu peserta seminar, Putera Sampoerna -- sehari-hari bos PT Hanjaya Mandala Sampoerna -- ikut menanggapi gagasan Tommy. "Saya yakin Ketua BPPC memang sengaja melontarkan pernyataan itu di DPR, sehari sebelum berlangsung seminar ini. Maksudnya ingin mengajak semua pihak bicara terbuka, tidak bermain wayang lagi," katanya kepada TEMPO dalam sebuah wawancara di Manado. Seminar itu ternyata gamblang dan terus terang. Argumentasi maupun pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kadang cukup panas dan tajam. Termasuk pertanyaan kepada Tommy, yang datang dengan pesawat terbang carter ke Manado. Tak kurang dari 12 orang yang bertanya maupun menanggapi makalah Ketua BPPC dengan tajam. Pertanyaan keras antara lain dikemukakan oleh Ketua Kadin Sulawesi Utara, Johnny Rempas. Ia mempertanyakan mengapa BPPC telah menyimpang dari SK Menteri Perdagangan yang menetapkan bahwa semua pembelian dari petani harus dibayar tunai (cash & carry). Ia juga mengimbau supaya BPPC kembali pada sistem PT Kertaniaga tempo hari sebagai buffer stock, yakni hanya menyerap semua produksi petani yang belum dibeli pabrik rokok. Sejumlah pertanyaan yang tajam juga dilontarkan oleh pengamat ekonomi Jack C. Parera, S.E., M.A. Ia berpendapat bahwa sistem tata niaga cengkeh ini sudah terlambat dan tak mampu mengalahkan teori pasar. "Buktinya, negara komunis bisa buyar menantang mekanisme pasar, dan OPEC selalu ribut untuk mencari keseimbangan permintaan dan penawaran," kata Jack Parera. Katanya lagi, cengkeh sebagai komoditi pertanian selalu akan lebih rendah (pertumbuhannya) daripada industri. Fluktuasi harga sebaiknya dibiarkan saja mengikuti perkembangan yang alami. Disarankannya agar campur tangan pemerintah dalam tata niaga sebaiknya dikurangi semaksimal mungkin, dan petani diharuskan mampu menyesuaikan diri. "Karena adanya BPPC sekarang ini, tiga pasar dalam ekonomi sudah terganggu, yakni pasar barang, pasar tenaga kerja, dan pasar modal (perbankan)," Parera menandaskan. Tommy menanggapi pernyataan itu dengan tenang. Ia mengakui masih banyak kelemahan dalam diri BPPC. "Memang ada KUD yang belum dibayar karena ada masalah dengan cabang-cabang BPPC lama (Januari lalu sebagian agen BPPC telah diganti). Kewajiban BPPC kepada KUD-KUD akan kami selesaikan secepatnya," Tommy berjanji. Namun, ia tak setuju jika tata niaga dikembalikan ke sistem bebas. "Tetap saja petani yang akan dirugikan. Harga akan jatuh lagi, dan butuh waktu lama baru bisa naik kembali," kata Ketua BPPC itu. Seakan memperkuat pendapat itu, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kumhal Djamil menambahkan bahwa teori-teori liberal tidak relevan dengan kondisi ekonomi Indonesia yang berdasarkan UUD'45 serta Trilogi Pembangunan (pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas). Namun, gejala "mencari untung sementara yang lain biarkan buntung", seperti yang disinyalir oleh Johnny Rempas, tidak mudah pula disembunyikan. "Tata niaga cengkeh ini telah menimbulkan banyak OKB (orang kaya baru), baik dari lingkungan koperasi, oknum-oknum Sucofinco, sampai pengurus BPPC," kata Johnny Rempas. Mengenai pengurus BPPC itu ada beberapa kasus, di antaranya di Aceh. Sejak PT Putera Inti, tahun lalu, ditunjuk BPPC sebagai agen, Direktur Makmur S.E. sering terlihat di atas mobil BMW 520i, Chevrolet Trooper terbaru, atau Taft GT. Beberapa KUD yang dihubungi TEMPO di Aceh menuturkan bahwa untuk bisa menjual cengkeh kepada agen BPPC PT Putera Inti, mereka dipaksa membayar Rp 1.000 per kg. Tentang ini Makmur tidak mau menanggapi. "Tunggu saja kalau masalah sudah selesai, kami akan panggil wartawan," kata Makmur kepada koresponden TEMPO di Aceh. Sistem tata niaga ini juga telah merusak pasar komoditi dan pasar modal. Dulu cengkeh biasa dipakai petani maupun pedagang sebagai tabungan emas cokelat, yang sewaktu-waktu bisa dicairkan. Tapi kini hanya bisa dijual kepada koperasi, itu pun belum tentu bisa segera cair. Kelebihan suplai yang terjadi sekarang telah dipacu oleh tata niaga itu. Akibatnya, tak ada yang mau menabung emas cokelat ini."Semua mau cepat-cepat mengubahnya menjadi uang, dan disimpan dalam tabanas atau deposito. Semua pihak ingin melepas stok. Agaknya inilah yang menyebabkan BPPC tak bisa menampung lagi," kata Johnny Rempas. Contoh lain rusaknya pasar komoditi cengkeh dialami Gusti Putu Warna, petani cengkeh dari Kabupaten Jembrana, Bali. Putu mengaku pernah menjual cengkehnya sebanyak lima ton, hasil produksi kebonnya sendiri, ke KUD Tegalcangkring. Setelah menunggu empat bulan, cengkehnya baru dibayar Februari lalu. Kendati mendapatkan harga Rp 7.000 per kg, Putu kurang gembira. Sebab yang dibayar KUD ternyata hanya 50%. Ia terpaksa menjualnya kepada pedagang penadah dengan harga hanya Rp 3.500-Rp 4.000 per kg. Rusaknya pasar uang juga tak terhindarkan. Dipertanyakan, mengapa pembayaran oleh BPPC kepada KUD atau petani tidak disertai bunga. Padahal jika pihak KUD terlambat membayar kreditnya ke BRI, mereka harus menanggung bunga. BPPC sendiri telah bertindak seperti bank, yang setiap hari menghitung bunga serta biaya penyusutan, yang semua dibebankan kepada pabrik~-pabrik kretek. Di Sulawesi Utara, tahun 1991, BPPC telah menyerap 27.000 ton cengkeh dari KUD-KUD. Tapi dari pembelian ini masih banyak yang belum dilunasi BPPC. Nilainya Rp 20 milyar sampai Rp 30 milyar. Akibat sistem tata niaga ini, petani yang terpojok mulai "menyelundup" ke luar daerah. Sumber TEMPO di Polres Jembrana mensinyalir sebagian dari 700.000 ton cengkeh produksi daerah Jembrana diselundupkan ke Jawa. "Ini sulit dideteksi karena jumlah yang dibawa serba sedikit," kata sebuah sumber TEMPO. Tata niaga cengkeh diakui Prof. Dr. A.E. Sinolungan sebagai salah satu upaya pemerintah untuk melaksanakan pemerataan. "Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pendapatan petani semakin ketinggalan," kata Sinolungan. Bekas rektor IKIP Manado itu berpendapat bahwa kehidupan petani cengkeh kian mundur secara kualitatif. Diakuinya kini telah terjadi kelebihan suplai. Namun, ia mengimbau, "Jika mau ditebang, berikanlah ganti rugi yang menarik. Atau kalau mau dikonversikan, biarkan saja berkembang secara alami. Minahasa, dulu penghasil kopra sekarang menjadi penghasil cengkeh," kata Sinolungan. Seorang petani cengkeh dari Kecamatan Tenga, Minahasa, menyatakan bahwa tindakan pembakaran ~boleh saja dilakukan asalkan diberi ganti rugi oleh pemerintah. "Kalau cuma bakar begitu saja, jelas mau memelaratkan kami petani yang sudah lama menderita," kata Umpel, Ketua Kelompok Tani dari Tenga tadi. Peluang untuk ganti rugi konversi memang bisa saja dilakukan. Tommy menunjuk SRC (sumbangan rehabilitasi cengkeh) yang selama ini dipungut pemerintah daerah. Masalahnya, apakah pemerintah daerah tidak berkeberatan? Kesimpulan hasil seminar cengkeh yang dipandu oleh Hermawan Kartajaya ini akhirnya melenceng jauh dari harapan Gubernur Sulawesi Utara C. J. Rantung. Gubernur menyatakan bahwa forum ini sangat penting, khususnya bagi pembangunan dan peningkatan taraf hidup petani. Jika panen tahun 1992 harus dibakar dan sebagian sumbangan rehabilitasi cengkeh harus disisihkan untuk konversi, berarti pendapatan petani maupun pemerintah daerah akan tergunting. "Tidak, ini tidak akan menjadi beban petani. Diskusi panel menyimpulkan bahwa pemusnahan sebagian produksi cengkeh dibantu juga oleh Pemerintah dan pabrik rokok," kata Hernawan Kertajaya. Pernyataan itu didukung Ketua Gappri, Soegiarto Prajogo. Namun, keputusan akhir tentu berada di tangan Pemerintah. Menurut Menteri Muda Perdagangan Soedrajad Djiwandono, usulan BPPC oke-oke saja. "Kita selalu melakukan assessment, apakah usul dari BPPC, DPR, atau dari masyarakat, untuk penyempurnaan. Badan Cengkeh Nasional akan mengkaji semua masukan," kata Soedrajad. Beberapa instansi memang tidak tampil dalam seminar di Manado. Dirjen Perkebunan dari Departemen Pertanian memang mengirim makalah tapi menjadi bulan-bulanan karena data produksinya dianggap tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi BPPC. Namun, Menteri Pertanian Wardoyo yang ditemui TEMPO Sabtu sore di Bandar Udara Soekarno-Hatta, justru meragukan data BPPC. "Kalau ada kelebihan produksi sampai 50%, memang ada kebun cengkeh yang perlu dikonversikan. Tapi saya belum percaya, bahwa sudah terjadi kelebihan sebesar itu," kata Wardoyo sambil tertawa. Bagaimana kalau 50~% cengkeh petani harus dibakar? "Tidak, saya tidak setuju!" ujar Menteri Wardoyo. Max Wangkar, Jalil Hakim, Phill M. Sulu (Manado), Liston P. Siregar, Biro Surabaya, Biro Medan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo