Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VILLA itu paling megah di antara sekitar 20 rumah megah di jaIm
Samudera Raya, Pluit, Jakarta Utara. Bertingkat dua, lantai atas
sebelah kanan berbentuk setengah lingkaran. Di bawahnya ruang
tamu Lantai bawah sebelah kiri garasi dengan 4 pintu rolling
door. Senin pagi kemarin di halaman tampak 3 mobil Mercy putih B
1090 ZA, BMW B 2993 RA dan Corolla hijau muda B 1778 ED.
Kaca pintu dan jendelanya dari ray ban. Dilengkapi kolam ikan
hias di halaman, seluruh lantainya dari ruang tamu sampai garasi
dan dapur, dilapisi marmar putih berkilat. Pagar halaman yang
setinggi 90 cm pun dari marmar pula. Tanaman di halaman depan
teratur rapi, rumputnya halus menghijau. Ada bukit-bukitan di
halaman sebelah kiri, ditumbuhi rerumputan, disangga batu alam.
Bukit-bukitan lebih kecil juga terdapat di luar pagar di tepian
jalan.
Itulah rumah Endang Widjaja, alias Yap Eng Kui alias A Tjai,
yang hari-hari terakhir ini tampak sepi. Rumah bernomor 17 itu
menghadap ke utara. Di depannya taman dan beberapa meter lagi
pantai. Siang hari udara di sana memang agak gerah. Tapi
sorenya, angin laut berhembus nyaman. Dari lantai dua rumah itu
bisa dinikmati matahari yang terbit pagi hari di ufuk timur.
Juga sore harinya, ketika matahari tenggelam di cakrawala barat.
Malam hari, sebuah lampu sorot kekuning-kuningan menerangi
halaman. Beberapa minggu yang lalu sekelompok ibu-ibu dari
sebuah departemen memerlukan meninjau pengaturan halaman rumah
Endang Widjaja. Ketika itu mereka sedang mengikuti kursus
penataan tanaman hias.
Persis depan rumah itu ada gardu Pos Keamanan. Dua orang anggota
Hansip berjaga-jaga di sana. Malam hari, mereka berjaga sambil
menikmati pesawat televisi 14 inci, berlainan dengan Pos Hansip
lain di kompleks Pluit yang tak menyediakan fasilitas begitu.
Biasanya mereka melarang orang yang terlalu lama mengamati villa
itu. Apalagi memotret.
Sebelah kanan villa itu, nomor 18, kini ditempati oleh tim
gabungan Kejaksaan Agung dan Opstibpus. Di ruang depan, selalu
tampak seorang penjaga berseragam hijau duduk menghadapi sebuah
meja. Kabarnya itu milik bekas seorang kepala daerah tingkat I.
Di sana, minggu lalu tampak 2 mobil VW Safari putih B 1202 KE --
yang disita dari bekas Walikota Jakarta Utara -- dan sebuah
Honda Civic.
Endang Widjaja sendiri sudah 8 bulan meringkuk dalam tahanan di
Jatibaru. "Suami saya sering dijadikan sasaran kesalahan. Tapi
ia tak mau menyeret orang lain dalam perkara Pluit ini,"
tambahnya, sambil melanjutkan memasak di dapur.
Nyonya Endang mengenakan pakaian sederhana saja. Anting-anting
perak di kedua telinganya. Melangkah di lantai yang putih
berkilat itu, ia melepas alas kaki.
Siapa sebenarnya Endang Widjaja? Tak ada orang BPO Pluit yang
bersedia bercerita. Kabarnya ia seorang pengusaha "melarat"
ketika tahun 1970 datang dari Medan ke Jakarta. Tantangan
pertama baginya datang dari BPO Pluit, untuk memugar sekitar 30
rumah di sepanjang jalan Jembatan Dua. Ia menyelesaikan order
itu dengan baik dan lancar, membuat orang BPO Pluit terpesona.
Seorang bekas pejabat DKI dan pimpinan BPO Pluit bahkan
mengatakan, "yang penting, dia bisa mengerjakan sesuatu dari tak
ada menjadi ada. Ancol dan Pluit, dulu tak ada apa-apanya,
sekarang menjadi hebat."
Di kalangan bekas tetangga-tetangganya, Endang Widjaja dikenal
sebagai warga yang cukup dermawan. "Dia selalu menyumbang uang
dalam jumlah besar kalau RW mengadakan ulangtahun Jakarta
misalnya. Malah juga ada beberapa artis terkenal yang
diundangnya," kata seorang bekas tetangganya. Tapi di kalangan
Laksus, ia orang istimewa. Endang Widjaja yang ditahan sejak 13
September 1977 itu mula-mula karena tuduhan menyembunyikan
buronan PKI Sumatera Utara, P. Harahap.
Ketika para petugas menyergap rumahnya, ditemukan beberapa surat
yang ada sangkut-pautnya dengan kredit Bank Bumi Daya. Maka
kasusnya pun merembet ke masalah perbankan. Tapi kewarganegaraan
Endang Widjaja sendiri kabarnya tak jelas. Seperti kata
Laksamana Sudomo beberapa bulan lalu, ketika ia masih menjabat
Kas Kopkamtib, "mula-mula masalahnya karena soal kewarganegaraan
yang tidak jelas, tapi lalu merembet ke soal perbankan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo