Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Siasat Jitu Nomor Satu

Jenderal Soedirman menunjuk Letnan Kolonel Soeharto sebagai komandan lapangan Serangan Umum 1 Maret 1949. Kontroversi yang tak kunjung reda hingga puluhan tahun.

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPUCUK surat tiba di tangan Jenderal Soedirman awal Februari 1949. Saat itu, Panglima Besar tengah bergerilya di Pacitan, Jawa Timur. Pengirimnya orang yang sangat ia hormati: Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Seorang kurir membawa surat itu dengan berjalan kaki dari Yogyakarta. Dalam surat itu, Sultan menyatakan dunia internasional harus mengetahui bahwa Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia masih ada.

Raja Yogya itu memberi alasan. Dalam empat bulan terakhir, sudah tiga kali TNI menggelar serangan umum ke tangsi-tangsi tentara Belanda di Yogyakarta. Namun peristiwa itu tak kunjung menyedot perhatian internasional. Penyebabnya, kata Sultan, serangan dilakukan saat malam hari sehingga radio di belahan dunia lain tidak menerima kabar ada perlawanan ini lantaran perbedaan zona waktu.

"Panglima setuju dan langsung membalas surat itu," kata Mayor Jenderal Purnawirawan Sukotjo Tjokroatmodjo, 85 tahun, kepada Tempo. Sukotjo saat itu berpangkat letnan dua dan bertugas di Kesatuan Polisi Militer Kepresidenan Istana Negara Yogyakarta.

Belanda melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Serangan ini dipimpin Letnan Jenderal Simon Spoor, panglima KNIL, yang diperintahkan merebut Yogyakarta dengan sandi Operasi Kraai, yang berarti burung gagak. Tujuannya: menghabisi kekuatan Indonesia yang bertumpu di Yogyakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia Serikat. Indonesia berbentuk RIS setelah perjanjian Renville pada 17 Januari 1948.

Dwitunggal Sukarno dan Mohammad Hatta saat itu ada di Yogyakarta. Sekitar 20 ribu prajurit TNI juga berkumpul di Yogyakarta dan Jawa Tengah. "Yogyakarta harus kita taklukkan," kata Spoor kala itu kepada pasukannya. Serangan berpusat di lapangan terbang Maguwo dan hanya berjarak delapan kilometer dari Yogya. Sukarno-Hatta bahkan akhirnya ditawan.

TNI juga dipukul mundur ke pinggir Yogyakarta. Serangan ini memaksa Jenderal Soedirman mengeluarkan Perintah Siasat Nomor 1 Bulan November 1948, yang intinya memerintahkan semua anggota pasukan mengungsi sambil membentuk kantong pertahanan dan tidak menyerang pasukan Belanda secara frontal.

Strategi ini dikenal dengan nama wehrkreise—taktik yang pernah digunakan tentara Jerman. Wehr artinya pertahanan, kreise artinya wilayah. TNI mengadopsi istilah ini sebagai nama kesatuan wilayah. Strategi ini diperkenalkan Kolonel T.B. Simatupang, yang kala itu menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Letnan Kolonel Soeharto, yang kala itu menjabat Komandan Brigade X Yogyakarta, menjadi Komandan Wehrkreise III.

Siasat Nomor 1 sebenarnya sudah dijalankan setelah penyerbuan Belanda ke Maguwo. Atas perintah Soedirman, Soeharto memimpin pasukan di Yogya dan tiga kali melakukan serangan umum dengan kekuatan ala kadarnya. Cara ini justru dinilai tepat karena, dengan begitu, perlahan-lahan pasukan yang tersisa menyatu ke kantong pertahanan hingga membentuk kompi sendiri. "Soeharto sendiri yang mengumpulkan pasukan yang tercerai-berai dengan jalan kaki mengelilingi Yogyakarta," kata Sukotjo, yang juga ikut dalam serangan umum itu.

* * *

Menurut Sukotjo, begitu menerima surat dari Sultan pada Februari 1949, Jenderal Soedirman lalu mengirim balasan lewat kurir yang membawa surat tersebut. Suko-tjo tahu soal ini karena temannya melihat kurir itu keluar dari Keraton. Perihal surat tersebut juga diceritakan Sultan dalam biografinya, Takhta untuk Rakyat. "Panglima sangat setuju dan meminta Sultan berkoordinasi dengan komandan TNI setempat," ujar Sukotjo.

Kala itu Jenderal Soedirman juga memanggil Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, yang ketika itu berada di markas gerilyawan di Pacitan. Hutagalung adalah perwira teritorial yang bertugas di Jawa Tengah dan dokter. Ia ikut memeriksa kesehatan Jenderal Soedirman, yang terkena sakit paru-paru. "Kamu kan orang pinter, kamu harus bantu bangun strategi serangan," demikian kata Soedirman kepada Hutagalung.

Sang Jenderal juga memanggil Panglima Divisi III, yang membawahkan Pulau Jawa, Kolonel Bambang Sugeng, ke Pacitan. Soedirman berdiskusi dengan Bambang dan Hutagalung. Mereka akhirnya sepakat menunjuk Soeharto menjadi komandan lapangan serangan umum besar-besaran. Bambang menulis surat perintah kepada Soeharto untuk memimpin penyerangan, dan surat itu dibawanya ke Yogyakarta. Pada akhir Februari, Soeharto, Bambang, Hutagalung, dan Simatupang bertemu di sebuah pematang sawah di Desa Brosot, Yogyakarta, membicarakan rencana serangan tersebut.

Adapun Sultan, yang sudah menerima surat balasan dari Soedirman, pada 14 Februari 1949 sekitar pukul 23.00 memanggil Soeharto ke Keraton. Soeharto datang dengan cara menyamar, memakai pakaian biasa. Dari kejauhan, sejumlah anak buahnya mengawasi. Sultan dan Soeharto bertemu empat mata membahas strategi serangan umum. Di wilayah Yogyakarta, Belanda kala itu menerapkan jam malam. Mereka yang berkeliaran tak jelas ditangkap atau bahkan bisa ditembak.

Kepada Soeharto, Sultan meneruskan pesan Soedirman agar ia memimpin serangan umum. Serangan akan dilakukan pukul 06.00 saat sirene di samping Pasar Beringharjo berbunyi. Seluruh prajurit akan memakai janur kuning yang diikat di leher, kepala, atau tangan—sebagai simbol keselamatan—seperti diceritakan dalam cerita wayang Anoman Obong.

Soeharto menyanggupi hal ini. "Sebelum berpisah, Sultan menegaskan kembali kepada Soeharto bahwa serangan ini tak boleh gagal," kata Marsoedi, yang kala itu berpangkat letnan satu dan bertugas sebagai perwira intel yang mengawal Soeharto menuju Keraton, dalam buku Warisan (daripada) Soeharto.

Serangan Umum 1 Maret memang berhasil dengan gemilang. Sebenarnya serangan ini akan dilakukan pada 28 Februari, tapi gagal karena informasinya bocor. Selama enam jam TNI menguasai kota dan berhasil "mengunci" Yogyakarta dari pasukan bala bantuan Belanda yang mencoba masuk dari luar Yogya. Jumlah korban yang jatuh di kedua pihak simpang-siur. Belanda menyebutkan pasukannya mengha-bisi 300 nyawa prajurit TNI dan hanya kehilangan belasan nyawa tentaranya.

Keberhasilan TNI ini disiarkan lewat RRI dan diteruskan ke pemancar Radio Rimba Raya, Aceh, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. "Siaran radio ini ide Simatupang," kata Sukotjo. Mata dunia kembali melihat Indonesia. Dampak lainnya, delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa semakin berapi-api mengobarkan keberadaan dan perjuangan bangsa Indonesia.

Bertahun-tahun sejak serangan ini, sejarah mulai dibengkokkan. "Selama Orde Baru, buku-buku dan film dibuat untuk mengkultuskan Soeharto dalam SU 1 Maret," kata sejarawan Asvi Warman Adam. Di buku Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI AD yang diterbitkan Dinas Sejarah Militer TNI Angkatan Darat pada 1972, misalnya, ditulis Soeharto merupakan inisiator serangan tersebut.

Soeharto bahkan membantah pertemuan di Keraton pada 14 Februari atas permintaan Sultan. Julius Pour dalam bukunya, Doorstoot Naar Djokja, menulis, Soeharto menjelaskan pertemuan itu berdasarkan inisiatifnya yang selama ini hanya berhubungan lewat kurir dengan Sultan. "Sri Sultan tak banyak berhubungan langsung dengan saya, selalu lewat kurir," ujar Soeharto. Dia diceritakan memprakarsai serangan itu setelah mendengar siaran radio luar negeri yang tak lagi menganggap Indonesia masih ada. Soal ini juga dibantah Sukotjo. "Pak Harto itu enggak ngerti bahasa Inggris, apalagi Belanda," katanya. Sukotjo yakin "SU 1 Maret" merupakan insiatif Sri Sultan.

Sukotjo juga pernah menyatakan soal ini langsung kepada Soeharto. Ketika itu, pada 6 Maret 1999—saat itu Soeharto sudah lengser dari kursi kepresidenan—dia menemui bekas komandannya tersebut di kediamannya di Jalan Cendana, Jakarta. "Saat saya tanya siapa sebenarnya inisiator serangan umum itu, Pak Harto hanya tersenyum dan tak menjawab sepatah kata pun," ujar Sukotjo, yang kini menjabat Wakil Legiun Veteran RI.

Menurut Sukotjo, apa pun kontroversi perihal "SU 1 Maret", yang pasti kehebatan Soeharto dalam memimpin serangan militer tersebut memang tak terbantahkan. Soeharto, kata dia, mampu membangkitkan moral ribuan prajurit yang sudah tercerai-berai dari kesatuannya. Soedirman, ujar Sukotjo, juga memuji ketangguhan Soeharto. Soedirman, Hamengku Buwono IX, dan Soeharto, kata dia, memiliki satu kesamaan: tak banyak bicara. "Sebab, bagi mereka, kala itu yang penting Indonesia bisa merdeka."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus