Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Komisi Kode Etik Polri (KKEP) telah menyidangkan perkara Inspektur Jenderal Ferdy Sambo dalam dugaan pelanggaran kode etik penanganan awal kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Namun sidang yang digelar hingga dinihari tadi tersebut menyisakan kekecewaan di kalangan sejumlah pakar hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pangkal soalnya ada pada tertutupnya persidangan yang digelar di gedung Transnational Crime Center (TNCC), Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, tersebut. Publik memang bisa melihat sebagian dari proses pemeriksaan KKEP terhadap Ferdy Sambo dan para saksi secara visual via layar televisi yang dipasang di luar ruangan persidangan. Namun gambar bergerak itu tanpa suara. “Ini komitmen yang setengah hati karena yang dibuka hanya video bisu. Itu pun hanya sesaat,” kata pakar hukum pidana dari Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, Rony Saputra, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komitmen yang dimaksud Rony merujuk pada pernyataan Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Sejak kasus ini menjadi perhatian nasional, termasuk memancing komentar Presiden Joko Widodo, Kapolri berikrar bahwa lembaganya bakal transparan mengusut kematian Brigadir Yosua, ajudan Ferdy Sambo.
Rony mengingatkan, sidang KKEP kemarin merupakan bagian dari upaya Polri membongkar kematian Brigadir Yosua. Semula, Yosua diumumkan tewas akibat insiden adu tembak dengan ajudan Ferdy lainnya, yaitu Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu. Kasus pelanggaran kode etik profesi mencuat belakangan setelah kronologi tersebut diduga kuat merupakan rekayasa Ferdy. Rekayasa kasus di awal kematian Brigadir Yosua ditengarai melibatkan sejumlah anggota Polri untuk mengaburkan tindak pidana pembunuhan berencana.
Menurut Rony, publik berhak mengetahui materi persidangan, terutama peran Ferdy Sambo dan jaringan polisi yang membantunya dalam menyusun skenario menyembunyikan peristiwa pembunuhan. Apalagi dalam beberapa pekan terakhir publik juga dirisaukan desas-desus beking bandar judi yang turut menuding keterlibatan Ferdy dan sejumlah perwira Polri. “Pengusutan kasus Ferdy Sambo, baik dalam dugaan pelanggaran etika maupun pidana, ini sebenarnya pertaruhan bagi kredibilitas Polri,” kata Rony. “Cara Polri menuntaskan kasus-kasus itu akan menentukan cara pandang publik terhadap institusi kepolisian.”
Kemarin, KKEP menggelar sidang dugaan pelanggaran kode etik profesi Ferdy Sambo sejak 09.00 WIB. Sidang dipimpin Komisaris Jenderal Ahmad Dofiri, Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri. Dia didampingi Kepala Inspektorat Pengawasan Umum, Komisaris Jenderal Agung Budi Maryoto; Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan, Inspektur Jenderal Syahardiantono; serta Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Inspektur Jenderal Rudolf Alberth Rodja.
Pimpinan sidang hanya mengizinkan awak media untuk melihat dan mengabadikan momen pembukaan persidangan. Setelah itu, sidang pemeriksaan yang berlangsung selama lebih dari 12 jam ini digelar tertutup. Sejak sore, layar televisi di gedung TNCC Mabes Polri yang sempat menyiarkan jalannya pemeriksaan telah beralih menayangkan iklan layanan masyarakat kepolisian.
Suasana sidang tertutup Komisi Kode Etik Polri terhadap mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo. di gedung Transnational Crime Center Divisi Propam Mabes Polri, Jakarta, 25 Agustus 2022. Tangkapan layar Tvradio.polri.go.id
Rabu lalu, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, sempat menyatakan proses sidang etik Ferdy Sambo dimungkinkan untuk digelar terbuka. “Karena ruangannya sempit, nanti kami siapkan layar di luar. Kalau perlu, kami siapkan tenda biar bisa diliput,” kata Dedi kepada awak media. Walau begitu, Dedi juga menyatakan bahwa ketua sidang yang akan memutuskan apakah persidangan dibuka untuk publik atau tidak.
Benar saja, beberapa saat sebelum sidang dimulai, Dedi mengumumkan materi persidangan tidak akan dibuka untuk publik. Jurnalis hanya diperkenankan meliput pembacaan keputusan KKEP terhadap Ferdy Sambo. “Materi sidang tentu tidak bisa diliput, tapi pada saat keputusan sidang komisi atau vonis akan saya berikan kesempatan kepada teman-teman dengan visual dan audio, jadi lengkap semuanya,” kata Dedi, kemarin.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, juga mempersoalkan persidangan tertutup yang digelar oleh KKEP. Selain bertentangan dengan komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, keputusan menyidangkan dugaan pelanggaran etik Ferdy Sambo secara tertutup juga tak beralasan. “Kecuali menyangkut kesusilaan dan yang menjadi obyek adalah anak-anak. Di luar itu, seharusnya persidangan bisa dibuka ke publik,” kata Fickar.
Menurut Fickar, kasus yang menjerat Ferdy Sambo telah diketahui luas oleh publik. “Sidang tertutup justru menimbulkan kecurigaan baru karena Kapolri sudah ada niatan baik untuk terbuka. Apalagi ada perintah Presiden bahwa ini harus dibuka seluruhnya,” kata Fickar.
Kuasa hukum Ferdy Sambo, Arman Hanis, irit bicara ketika dimintai konfirmasi ihwal jerat dalam persidangan etik terhadap kliennya. Arman hanya menjawab ihwal surat pengunduran diri sebagai anggota Polri yang sempat diajukan Ferdy Sambo. “Benar beliau sudah mengajukan pengunduran diri sejak 22 Agustus 2022,” kata Arman tanpa menjelaskan alasan kliennya.
Sidang kemarin juga diramaikan oleh beredarnya surat yang ditulis tangan dan ditandatangani di atas meterai oleh Ferdy Sambo. Dalam surat tertanggal 22 Agustus 2022 itu, Ferdy Sambo menyampaikan permohonan maaf kepada sejawatnya yang ikut terkena dampak dari perbuatannya. “Atas perbuatan yang saya telah lakukan, saya meminta maaf kepada para senior dan rekan-rekan semua yang secara langsung merasakan akibatnya,” tulis Ferdy Sambo. “Saya juga siap menerima tanggung jawab dan menanggung seluruh akibat hukum yang dilimpahkan kepada senior dan rekan-rekan yang terkena dampak.”
Pengunduran diri dinilai sejumlah kalangan sebagai siasat Ferdy Sambo untuk menghindar dari ancaman sanksi berat pelanggaran etik. Hingga kemarin, Kapolri belum mengambil keputusan terhadap permohonan pengunduran diri Ferdy Sambo. Dedi Prasetyo menegaskan bahwa adanya pengunduran diri tak akan mempengaruhi penanganan dugaan pelanggaran kode etik. "Mengundurkan diri merupakan hak individu, tapi pelaksanaan sidang kode etik ini membuktikan ketidakprofesionalan yang bersangkutan dalam tugas," kata Dedi, kemarin.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, mengapresiasi sikap kepolisian yang tak merespons permohonan pengunduran diri Ferdy Sambo. Dengan begitu, proses pemberlakuan sanksi berat dapat dikenakan. “Pengunduran diri FS dari anggota Polri harus dikesampingkan. Kapolri seyogianya memang menolak permintaan tersebut,” kata Sugeng. Senada dengan pandangan sejumlah pakar hukum, Sugeng juga mengkritik keputusan KKEP yang menggelar sidang pelanggaran etik Ferdy Sambo secara tertutup.
AVIT HIDAYAT | EKA YUDHA | EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo